Kebersamaan Itu Rakhmat
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Senin, 28 Juli 2014 . in Dosen . 652 views

Pada hari Senin, tangal 28 Juli 2014, umat Islam merayakan Idul Fitri 1435 H secara bersama-sama. Sekalipun pada saat mengawali berpuasa berbeda, tetapi berhari raya bersamaan. Pada tahun ini, sebagian umat Islam menjalanan puasa genap 30 hari, sementara itu sebagian lainnya hanya selama 29 hari. Perbedaan itu seringkali terjadi oleh karena posisi bulan letaknya samar-samar. Perbedaan kecil itulah yang menjadikan orang berbeda pula pendapatnya.

Kebersamaan dalam penetapan jatuhnya hari raya, ternyata disyukuri oleh banyak orang, terutama bagi masyarakat kelas bawah. Umat atau jama'ah biasanya mengikuti saja para pemimpinnya. Masyarakat biasanya juga menghendaki sesuatu yang lebih simpel atau yang tidak melahirkan masalah. Mereka lebih memilih bersama-sama. Kerukunan dan kebersamaan diangap indah, dan karena itu ditunggu-tunggu. Namun sayang, para pemimpinnya belum terlalu peduli pada aspirasi umat yang sebenarnya lebih indah itu.

Adanya perbedaan, oleh sementara orang, disebut membawa rakhmat, termasuk perbedaan dalam penetapan jatuhnya awal bulan Ramadhan atau hari raya. Namun, ternyata tidak semua orang berhasil merasakan rakhmat itu. Perbedaan dalam melaksanakan hari raya, bagi sementara orang, dirasakan sebagai sesuatu yang tidak mengenakkan, dan berpotensi menganggu hubungan antar orang yang berafiliasi pada organisasi atau faham keagamaan yang berbeda.

Pada hari-hari biasa, perbedaan itu dianggap hal biasa, tetapi pada saat harus berbeda di dalam menjalani hari raya, dirasa sedikit banyak terganggu. Sebagian orang sudah berhari raya sementara lainnya masih menunggu lagi pada hari berikutnya. Tradisi masyarakat pada umumnya, setelah menjalankan shalat Id, mereka saling berkunjung dari rumah ke rumah. Kegiatan itu dirasakan kurang mengenakkan ketika jatuhnya hari raya ternyata berbeda.

Selama ini banyak cara dilakukan agar kebersamaan itu bisa dicapai. Para ilmuwan di bidang astronomi dari kampus-kampus dilibatkan untuk mencari titik temu, tetapi juga belum mendapatkan hasil. Alat modern juga didatangkan untuk melihat dan atau menghitung posisi bulan. Tetapi usaha itu ternyata belum sepenuhnya berhasil menyamakan pendapat. Perbedaan itu masih saja sering terjadi, dan anehnya sementara pemimpin umat belum merasakan bahwa hal itu sebenarnya, sedikit banyak, menjadi masalah bagi masyarakat bawah.

Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah kunjungan bersama beberapa pimpinan perguruan tinggi ke Riyad, rombongan di bawa ke pusat pengembangan teknologi, di antaranya adalah ke tempat yang digunakan untuk mengamati posisi bulan. Peralatan yang digunakan itu memang cukup modern dan canggih. Lewat alat modern itu bisa diketahui secara tepat posisi bulan pada setiap saat. Di tempat itu, para pimpinan perguruan tinggi diberikan penjelasan bahwa manakala menggunakan peralatan itu, maka perbedaan penetapan awal bulan bisa dihindari.

Mendengarkan penjelasan itu, sekalipun tidak terungkap secara terus terang, saya tidak mempercayainya. Alat modern secanggih apapun tidak akan menyelesaikan masalah perbedaan dimaksud. Sebab sumber perbedaan itu bukan terletak pada alat yang digunakan, melainkan pada hati dari mereka yang menggunakan peralatan itu. Selama hati mereka tidak tergerak untuk bersatu, maka alat modern seperti apapun tidak akan berhasil mempersatukan.

Sebaliknya, sekalipun tidak menggunakan alat canggih, manakala para pemimpin umat bersemangat untuk bersatu, maka hal itu bukan merupakan perkara sulit. Perbedaan di dalam penentuan jatuhnya awal Bulan Ramadhan dan hari raya bukan terletak pada ketersediaan teknologi, melainkan sederhana, yaitu pada hati masing-masing pemimpin umatnya. Pemimpin umat, rupanya belum melihat aspirasi yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, bahwa mereka menghendaki dan merasa senang tatkala menjadi bersatu. Persatuan masih belum dianggap sedemikian penting, justru oleh para pemimpinnya sendiri, sekalipun al Qur'an dan hadits nabi mengajarkannya.

Untuk mengetahui bahwa kebersamaan itu sebenarnya disambut dengan gembira oleh masyarakat, bisa dilihat dan dirasakan dari berbagai perbincangan di saat berhari raya. Mereka mengungkapkan rasa gembira dan syukur atas kebersamaan yang dialami itu. Dengan kebersamaan itu di antara mereka merasa tidak ada beban psikologis. Kebersamaan dirasakan benar-benar indah. Antar anggota keluarga, tetangga, kelompok masyarakat berhasil melakukan sesuatu secara bersamaan. Akhirnya, kebersamaan dirasakan benar-benar indah, atau bisa dikatakan bahwa kebersamaan adalah rakhmat. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up