Memahami Derajad Manusia Dari Ibadah Haji
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Jumat, 24 Oktober 2014 . in Dosen . 1588 views

Beberapa minggu terakhir ini,secara bergelombang, jama'ah haji sudah kembali ke tanah airnya masing-masing, tidak terkecuali jama'ah haji dari Indonesia. Bertambah tahun, jumlah jama'ah haji semakin banyak. Meningkatnya ekonomi masyarakat dan kesadaran beragama serta semakin mudahnya diperoleh layanan transportasi menjadikan semakin banyak orang menunaikan ibadah haji atau umrah.

Oleh karena ibadah haji, terutama bagi orang yang berada jauh dari Makkah, perjalanannya memerlukan biaya yang tidak sedikit, maka ibadah itu selalu dikaitkan dengan kemampuan ekonomi. Siapapun tidak akan mampu menunaikan ibadah haji jika tidak tersedia bekal yang cukup, kecuali orang-orang terentu yang beruntung, misalnya mendapatkan bantuan dari orang lain. Itulah sebabnya, terkait dengan ibadah haji ini, orang berlogika bahwa menjadi kaya itu adalah penting. Sebab untuk menunaikan rukun Islam yang kelima tidak akan mungkin terlaksana tanpa memiliki bekal atau kekayaan yang cukup.

Atas dasar kenyataan tersebut, maka ibadah haji, pada umumnya hanya bisa dilaksanakan oleh orang yang secara ekonomi berkecukupan. Sebaliknya, orang miskin manakala tidak memperoleh pertolongan dari orang lain atau pihak-pihak tertentu yang bersedia membantu, tidak akan mampu menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Akhirnya ibadah haji selalu dikaitkan dengan kekayaan, kecukupan, atau bahkan secara ekonomi berlebih. Pendangan seperti itu menjadikan harta dianggap sebagai sarana untuk memperoleh kehormatan atau derajad yang tinggi.

Pandangan sebagaimana dikemukkan tersebut, menjadikan seolah-olah ibadah haji hanya milik orang kaya. Selain itu, seseorang menjadi sangat dihormati oleh karena kekayaannya. Apalagi, sepulang haji, mereka bisa menceritakan pengalamannya tentang keindahan kota Makkah, kehebatan bangunan masjidil haram, kemegahan berbagai jenis bangunan yang menjulang tinggi, pertokoan yang menjual barang mewah, belum lagi sarana dan prasarana lain yang serba istimewa. Itulah sebabnya, haji seolah-olah identik dengan kekayaan dan kemewahan. Kedatangan ke Makkah yang pada awalnya hanya untuk haji dan umrah, ternyata juga akan melihat kehidupan yang serba mewah atau berlebih-lebihan itu.

Pertanyaannya adalah, apakah dengan ibadah haji itu kiranya benar, agar manusia mengetahui tentang pentingnya harta sebagai sarana untuk memperoleh derajad mulia dan atau sejenisnya dengan itu. Atau bukankah sebaliknya, yaitu lewat ibadah haji atau umrah itu, orang justru diperkenalkan tentang penderitaan yang dibarengi dengan keteguhan, kesabaran, dan keikhlasan untuk memperoleh derajad mulia yang sebenarnya. Dalam rangkaian ibadah itu, -----haji dan umrah, orang harus melakukan thawwaf, yakni mengelilingi ka'bah dan hijir Isma'il, sa'i atau berjalan kaki berulang-ulang dari bukit Shafa ke bukit Marwa, dan meminum air zam-zam.

Tatkala sedang berthawawaf dan juga sa'i, maka siapapun sebenarnya diingatkan pada peristiwa sejarah manusia dari strata sosial yang rendah dan telah mengalami penderitaan yang luar biasa, tetapi memiiliki jiwa, tanggung jawab, dan tauhid yang sangat kuat, ialah seorang wanita bernama Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim. Dalam sejarahnya, Siti Hajar adalah seorang berkulit hitam, pada awalnya adalah berstatus sebagai hamba sahaya atau pembantu rumah tangga keluarga Ibrahim dan isterinya, yaitu Sarah. Lagi pula, ----Siti Hajar, pada awalnya belum memeluk agama yang dibawa Ibrahim, tetapi diajak serta oleh tuanya itu, melakukan perjalanan jauh dari Mesir ke Palestina.

Dalam riwayatnya, setelah ikut melakukan perjalanan jauh dan sampai di tempat tujuan, ternyata keimanan Siti Hajar tumbuh luar biasa, mengikuti ajaran Nabi Ibrahim. Keimanan yang kokoh itulah yang menggerakkan hati Siti Sarah, hingga mengusulkan kepada suaminya agar pembantunya itu dinikahi, dan akhirnya membuahkan seorang bayi yang kemudian diberi nama Ismail. Kemudian, kedekatan Ibrahim dengan Siti Hajar oleh karena telah memberikannya anak laki-laki itulah menumbuhkan rasa cemburu dari Siti Sarah. Akhirnya, ia memerintahkan Ibrahim, agar wanita hitam dan bayinya dijauhkan dari rumahnya.

Memenuhi saran isterinya yang pertama, yakni Sarah, maka Siti Hajar dan anaknya dibawa oleh Ibrahim ke tengah padang pasir, di lembah Makkah, yang amat jauh jaraknya dari tempat tinggal itu. Anehnya, di tempat yang gersang dan tidak ada manusia selainnya itu, Siti Hajar dan bayi bernama Ismail, ------atas perintah Allah, ditinggal pergi oleh Ibrahim, kembali ke isteri yang pertama. Pada saat itu, Siti Hajar diuji oleh Allah tentang keberanian dan keteguhannya, yaitu hidup sendirian dan masih harus merawat bayinya di lembag padang pasir yang amat gersang. Dalam kisahnya, pada suatu saat, bayi kecil bernama Ismail menangis oleh karena kehausan dan kelaparan.

Siti Hajar, seorang ibu yang bertanggung jawab dan sangat mencintai anaknya, berlari-lari dari bukit Shawa dan Marwa mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghilangkan rasa haus dan lapar anaknya itu. Atas pertolongan Alllah, tidak jauh dari tempat itu ternyata muncul sumber air yang kemudian dikenal dengan sumur Zam-Zam. Siti Hajar dalam sejarahnya bertahan hidup di tempat itu, hingga akhirnya wafat dan dimakamkan di sekitar Hijir Ismail.

Baik dalam beribadah haji maupun umrah, tatkala sedang berthawwaf mengelilingi Ka'bah, mereka sebenarnya sedang diingatkan pada kehidupan seseorang bernama Siti Hajar, yaitu,------- sebagaimana dikemukakan di muka, adalah wanita berkulit hitam, berstatus sebagai hamba sahaya, tetapi sangat bertanggung jawab, menyandang sifat sabar, ikhlas, dan tawakkal dalam menjalani kehidupan dengan berbagai penderitaannya. Selain itu, tatkala melakukan sa'i, lagi-lagi, adalah juga melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Siti Hajar tatkala harus mencari sesuatu yang sedang dibutuhkan oleh bayinya. Maka, manakala direnungkan secara mendalam, rangkaian ibadah umrah maupun haji, sebenarnya adalah mengingatkan dan bahkan meniru apa yang pernah dilakukan oleh Siti Hajar, seorang wanita berkulit hitam dan sebelum dinikahi oleh Ibrahim, berstatus sebagai hamba sahaya atau pembantu rumah tangga.

Menghayati sejarah itu, maka dapat ditangkap pengertian bahwa, mereka yang berhaji atau umrah, datang dari tempat jauh dan harus mengeluarkan biaya mahal, ternyata yang dilakukan hanyalah meniru apa yang pernah dilakukan oleh seorang wanita yang menurut pandangan manusia pada umumnya adalah rendah. Namun sesungguhnya, wanita hitam dan pernah berstatus sebagai hamba sahaya itu ternyata derajadnya kemudian diangkat oleh Allah. Sejarah hidupnya dijadikan sebagai bagian ritual dalam menunaikan ibadah haji dan umrah. Pada setiap saat berpuluh-puluih ribu orang mengelilingi makamnya yang berada di Hijir Ismail, dan jejaknya, tatkala berlari dari Shafa ke Marwa, mencari sesuatu untuk anaknya, dijadikan rangkaian ibadah itu.

Memang, untuk menjalankan ibadah haji dan umrah itu harus mengeluarkan biaya mahal. Akan tetapi dalam rangkaian ibadah itu, mereka diingatkan pada kehidupan seseorang wanita yang berstatus amat rendah tetapi memiliki ketangguhan, keikhlasan, dan kesabaran dalam memenuhi perintah Allah. Melalui ibadah haji dan umrah, para jama'ah bukan diingatkan tentang pentingnya kekayaan, melainkan justru pada kehidupan yang penuh tantangan berat, ialah kehidupan Siti Hajar. Selain itu, ibadah haji dan umrah juga mengingatkan, bahwa Allah memberikan kemuliaan kepada seseorang yang menurut pandangan kebanyakan orang justru dianggap berderajad rendah, ialah wanita hitam, miskin dan hamba sahaya, bernama Siti Hajar. Kemuliaan itu, setidaknya bisa dibaca, yaitu dari namanya yang selalu dikenang, apa yang dilakukan dijadikan bagian dari kegiatan ritual, dan sejarahnya dijadikan tauladan bagi umat manusia. Wallahu a'lam.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up