Membiasakan Saling Srawung Dan Saling Menjaga
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Kamis, 21 Mei 2015 . in Dosen . 1373 views

Jangan dikira bahwa penyakit masyarakat yang disebut dengan istilah kurupsi itu hanya menjangkiti orang-orang tertentu atau sebagian orang saja. Jika kita mau jujur, perilaku tidak terpuji dan hanya menguntungkan diri sendiri itu sebenarnya dimiliki oleh banyak orang. Mungkin saja korupsi itu sebenarnya telah dilakukan oleh semua orang, baik orang kota maupun orang desa. Dengan gambaran seperti itu, jika ada kesulitan, maka bukan terletak pada mencari orang yang melakukan korupsi, tetapi adalah justru sebaliknya, ialah mencari orang yang tidak pernah korupsi.

Sebenarnya sudah menjadi anggapan umum, dan kiranya dipercaya oleh siapa saja, bahwa pada akhir-akhir ini mencari orang jujur sudah sedemikian sulit. Banyak dijumpai orang mengeluh, bahwa tatkala mau merintis usaha, atau mengembangkan intreprenereur, kesulitan yang dihadapi bukan ketika mencari modal atau menentukan jenis usaha, melainkan adalah tatkala mencari orang yang bisa dipercaya. Pada awalnya, seseorang tampak jujur dan bisa dipercaya, tetapi tidak lama kemudian, ternyata berkhianat, dan berakibat usahanya bangkrut.

Demikian pula, kegiatan pemberdayaan masyarakat di pedesaan dengan memberikan modal usaha, untuk mengembangkan peternakan, pinjaman modal usaha, dan lain-lain, akhirnya selalu gagal atau tidak berkembang, ternyata disebabkan oleh karena, mereka tidak jujur. Ada saja alasan untuk menutupi ketidak jujurannya itu, misalnya, kambing atau sapi yang dipercayakan kepada mereka dilaporkan sakit, dicuri orang, dan atau berbagai alasan lainnya. Maka ternyata tidak mudah mencari orang jujur, dan tidak terkecuali di pedesaan.

Sementara orang mengatakan bahwa korupsi itu hanya terjadi di perkotaan atau di kantor-kantor pemerintah, maka adalah memang benar. Sebab korupsi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyimpangan keuangan yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di kantor. Namun tidak berarti bahwa penyimpangan itu hanya terjadi di kantor, tetapi sebanarnya bisa di mana-mana namun dengan istilah yang berbeda-beda, misalnya mencuri, menggasap, merampok, menggarong, menyolet, mengutil, menyopet, mbajing, menilep, menyerobot, dan masih banyak istilah lainnya lagi.

Kenyataan yang tidak baik dan tidak terpuji itu, disadari oleh pengasuh pesantren rakyat adalah sangat membahayakan dalam melakukan usaha pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan kejujuran sangat ditekankan. Anggota masyarakat yang akan dicarikan modal usaha, maka dibangun mentalnya telebih dahulu. Diyakini bahwa usaha itu akan berhasil, jika faktor kejujuran di kalangan mereka benar-benar berhasil dipelihara.

Pengasuh pesantren rakyat selalu berusaha memberikan nasehat, penjelasan, dan contoh yang bisa ditauladani tentang kejujuran itu. Disebutkan bahwa tidak jujur adalah penyakit yang mematikan, dan siapapun tidak akan bersedia membantu lagi manakala seseorang sudah tidak bisa dipercaya. Ajaran Islam yang selalu ditekankan adalah agar setiap santri menjaga kepercayaan itu. Kepercayaan disamakan dengan harkat dan martabat. Orang yang tidak bisa dipercaya dianggap tidak memiliki harkat dan martabat atau derajat kemanusiaannya telah hilang selama-lamanya.

Selalu diperingatkan bahwa, Muhammad sebelum diangkat sebagai rasul sudah memiliki sifat yang mulia itu, ialah bisa dipercaya oleh siapapun, hingga oleh masyarakatnya diberi gelar 'al amien'. Gelar mulia itu tidak saja diakui oleh orang-orang yang dekat dengannya, tetapi juga oleh orang-orang yang selama itu membencinya. Kejujuran Muhammad sejak kecil telah diakui oleh siapapun. Ajaran tentang kejujuran juga ditekan oleh Nabi Muhammad, bahkan ketika ada orang kampung datang meminta nasehat agar diberitahu ajaran Islam yang sederhana, namun jika diamalkan akan selamat, maka dijawab oleh Nabi dengan jawaban sederhana, yaitu : 'jangan bohong'.

Ajaran tentang kejujuran itu juga ditekankan oleh Abdullah Sam, sebagai pengasuh pesantren rakyat. Selain melalui nasehat yang selalu disampaikan, ajaran kejujuran juga dilakukan dengan cara mengintensifkan kegiatan saling srawung atau sobo dengan para santri dan atau warga kampung yang semuanya menjadi satri pesantren rakyat. Suasana kekeluargaan, saling menyapa, saling srawung, saling sambang, atau dalam bahasa agama adalah bersillaturrakhmi dipelihara sebaik-baiknya. Dengan saling bersillaturrahmi itu maka akan terjadi pula saling menjaga, saling mengingatkan, nasehat menasehati antar sesama, dan seterusnya.

Sebagaimana disebutkan dalam tulisan tentang pesantren rakyat beberapa hari yang lalu, bahwa antar tetangga di lingkungan pesantren rakyat itu dibiasakan untuk berkumpul bersama, membicarakan berbagai persoalan kehidupan yang dianggap perlu dan menarik. Acara itu dilakukan dengan bebas, terbuka, saling menghargai, dengan mengambil tempat di rumah warga yang memungkinkan atau di posko yang memang sengaja dibuat untuk kegiatan itu. Di lingkungan pesantren rakyat sudah dibangun beberapa posko, digunakan sebagai tempat mangkal bersama di antara warga kampung.

Rupanya kegiatan saling srawung dan saling menjaga itulah yang menjadi kekuatan di antara warga masyarakat santri pesantren rakyat, dalam batas-batas tertentu yang diperlukan, hingga akhirnya berhasil menjaga kejujuran bersama. Di antara mereka terjadi saling nasehat menasehati, belajar dan mengajar berjama, mereka yang berlebih mau memberi dan sebaliknya bagi yang berkekurangan menerimanya. Saling srawung dan saling menjaga ini agaknya dipandang sebagai upaya mengimplementasikan konsep berjama'ah. Oleh karena itu, di pesantren rakyat, berjama'ah tidak saja diwujudkan dalam kegiatan shalat atau berdzikir bersama, melainkan juga dalam berbagai aktifitas sehari-hari, tidak terkecuali dalam menjaga kejujuran. Wallahu a'lam.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up