Bermula Agama Dipahami Dan Kemudian Segera Dijalankan
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Senin, 14 Maret 2016 . in Dosen . 2045 views

Bagi para pemeluknya agama dipandang sedemikian indah dan diyakini kebenarannya. Agama berbicara tentang Tuhan, tentang penciptaan, tentang manusia, tentang alam, dan tentang keselamatan. Banyak sekali ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh manusia dari berbagai usahanya. Tetapi ilmu yang dimaksud bukan menyangkut tentang Tuhan. Ilmu yang berhasil ditemukan itu hanya terbatas, yaitu hanya tentang hal yang bisa dipikirikan dan dilihat oleh manusia. Sementara Tuhan tidak bisa dipikirkan dan apalagi dilihat. Ilmu tentang Tuhan hanya bisa diperoleh melalui kitab suci dan Rasul atau utusan-Nya.

Dengan berbagai usahanya, manusia bisa memahami dirinya dan juga orang lain. Alkan tetapi pemahaman tentang dirinya sendiri itu juga sangat terbatas. Manusia hanya mampu memahami aspek-aspek yang bersifat fisik atau lahiriyah. Sementara aspek lainnya, misalnya menyangkut asal muasalnya, keharusan melakukan apa saja semasa hidup, dan kehidupan yang sedang dijalani akan berakhir ke mana, ternyata tidak berhasil diketahui. Demikian pula, tentang apa sebenarnya yang menggerakkan dirinya sendiri, ternyata juga tidak diketahuinya secara jelas. Kadangkala manusia sangat mencintai, membenci, marah, merasa hatinya tidak enak terhadap sesuatu yang sebenarnya tanpa sebab. Hal demikian itu, yang bersangkutan saja tidak bisa menjelaskannya.

Berbagai ilmu tentang perilaku manusia telah berhasil disusun, seperti ilmu sosiologi, ilmu psikologi, ilmu sejarah, antropologi, dan bahkan kemudian ilmu dasar itu berkembang menjadi ilmu yang lebih bersifat terapan seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu pendidikan, ilmu hukum, dan lain-lain, tetapi semua ilmu dimaksud juga belum sepenuhnya mampu menjelaskan tentang dirinya sendiri dan atau tentang manusia pada umumnya. Berbagai hasil pemikiran dan juga penelitian yang dilakukan di berbagai tempat, di kampus-kampus, di pusat penelitian tentang manusia, ternyata juga masih belum sepenuhnya berhasil untuk memahami manusia.

Manusia berkeinginan meraih keselamatan dan juga kebahagiaan. Namun jangankan mereka berhasil merumuskan cara-cara meraih keselamatan dan kebahagiaan itu secara komprehensif dan mendalam, sekedar mendifinisikan pengertian selamat dan bahagia saja ternyata masih gagal. Sementara orang mengira bahwa kebahagiaan dan keselamatan itu hanya akan diraih manakala ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil dikembangkan semaksimal mungkin. Mendasarkan pada pandangan itu, maka ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh berbagai kalangan, dikembangkan seluas-luasnya. Mereka berpandangan bahwa hanya dengan ilmu dan teknologi, maka kebahagiaan itu akan berhasil diraih.

Dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi luar biasa terhadap kehidupan manusia. Namun di balik keberhasilan itu, tidak sedikit menjadikan orang kehilangan sifat kemanusiaannya. Banyak orang stress disebabkan oleh temuan teknologi baru. Lebih dari itu, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia seolah-olah menjadi kecil dan sempit. Akibatnya, banyak orang kemudian menjadi saling berebut, berkompetisi, konflik, dan bahkan saling berperang hingga ribuan, ratusan ribu, dan bahkan jutaan orang meninggalkan negaranya, cacat, dan bahkan mati. Tuduh menuduh, saling menyalahkan, dan sejenenisnya menjadi tidak bisa terelakkan. Akhirnya, keselamatan dan kebahagiaan menjadi terasa semakin jauh untuk diraihnya secara bersama-sama.

Kehadiran agama sedianya adalah agar manusia menjadi bersatu, saling mengenal, memahami, menghormati, saling berkasih sayang di antara sesama, dan saling tolong menolong, namun pada kenyataannya, mereka sama-sama lebih mementingkan diri sendiri, kelompoknya, negaranya, dan bahkan ada usaha-usaha agar yang lain menjadi binasa. Saling berebut, menjatuhkan, dan membunuh terjadi di mana-mana. Dengan berdalih menegakkan hak-hak azasi manusia, mencegah terjadinya teror, dan semacamnya, malah justru melanggar apa yang diperjuangkan itu. Di dalam al Qur'an disebut bahwa manusia memang selalu berbuat aniaya.

Gambaran tersebut sebenarnya mungkin saja terjadi sebagai akibat dari cara menangkap agama yang dilakukan masih belum sebagaimana semestinya. Tegasnya ada sesuatu yang kurang tepat dalam menyikapi agama. Menangkap agama disamakan dengan lainnya, ilmu pengetahuan, misalnya. Ajaran agama berasal dari Tuhan melalui utusan-Nya. Tatkala turun ayat al Qur'an maka sahabatnya berusaha memahami dan bahkan oleh sementara di antaranya berusaha menghafalkannya. Setelah ajaran agama itu dipahami, kemudian segera dijadikan pedoman hidupnya atau diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ayat-ayat al Qur'an yang turun melalui Rasulullah tidak pernah dijadikan bahan perdebatan. Dalam sejarahnya, tidak pernah ada pengikut Nabi yang setelah mendengar ayat al Qur'an turun segera mengajak memperdebatkannya. Ketika itu, apa saja yang dianggap sebagai wahyu, segera diterima dan dijadikan pedoman. Demikian pula, apa yang dilakukan oleh Nabi, maka itulah yang berusaha dikerjakan oleh para pengikutnya.

Rupanya hal demikian tersebut berbeda dengan keadaan pada masa-masa selanjutnya, dan apalagi sekarang ini. Banyak orang berdebat dan berbantah tentang ayat al Qur'an dan hadits Nabi. Perbantahan itu mungkin saja dianggap benar dengan berbagai argumentasinya. Bahkan hingga terjadi, belajar agama kepada seseorang bukan lagi ingin mendengarkan dan atau memperoleh penjelasan melainkan untuk mengajak gurunya berdebat terlebih dulu. Antara guru dan murid seolah-olah dibolehkan untuk saling berdebat dan atau berbantah. Akibatnya, terjadi perbedaan pandangan, pendapat, dan pemikiran dan yang kemudian berujung pada perpecahan di antara umat yang selalu tidak mudah disatukan kembali. Berbagai aliran, madzhab, kelompok, organisasi keagamaan itu, di antaranya adalah bermula dari kegiatan memperdebatkan ajaran agama itu sendiri.

Agama yang seharusnya menjadi pendorong agar di antara sesama saling mengenal, saling memahami, saling menghargai, menyayangi dan agar berbuah saling tolong menolong, menjadi tidak terwujud. Perpecahan dan bahkan konflik antar aliran atau kelompok dianggap hal biasa. Bahkan ada fenomena aneh, yaitu setelah mereka berdebat dan beradu argumentasi, maka menganggap bahwa dirinya sudah menjalankan agamanya. Padahal agama seharusnya bukan dijadikan bahan perdebatan atau bahan perbantahan, melainkan semestinya dijadikan petunjuk agar kehidupan menjadi damai, sejahtera, dan agar meraih kebahagiaan yang sebenarnya. Rupanya banyak orang lebih tertarik dan sibuk menjadikan ajaran agama sebagai bahan perdebatan dan atau perbantahan dibanding menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Padahal ajaran agama seharusnya dijalankan atau dijadikan pedoman hidup dan bukan diperbantahkan. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up