Meraih Kualitas Dalam Beragama
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Jumat, 19 Agustus 2016 . in Dosen . 2577 views

Kualitas itu sedemikian penting dan tentu tidak terkecuali di dalam beragama. Banyak orang yang sudah sekian lama memeluk agama, tetapi ternyata tidak mudah meraih kualitas yang diinginkan, dan bahkan termasuk yang diinginkan oleh yang bersangkutan sendiri. Mereka ingin meraih kualitas terbaik, tetapi apa yang diinginkan itu ternyata tidak mudah dicapai. Bukan persoalan tidak mampu menjalankan, tetapi oleh karena tidak memiliki dorongan melaksanakannya.

Seharusnya dengan beragama, semua yang menyangkut tentang kualitas diri seseorang dan bahkan tentang hubungannya dengan orang lain, semunya berhasil terselesaikan. Sebagai buah dari keberagamaannya, seseorang seharusnya memiliki sifat sabar, jujur, berdisiplin, ikhlas, tanggung jawab, amanah, bijak, dan berbagai sifat terbaik lainnya yang kemudian selalu berhasil ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari secara istiqomah. Dengan demikian itu, ketika yang bersangkutan berada di mana, menjadi dan menduduki posisi apa, selalu tampak yang terbaik.

Demikian pula sebaliknya, seseorang yang disebut berhasil menyelesaikan persoalan dirinya sendiri sebagai buah keberagamaannya, tidak akan memiliki sifat tamak, dengki, iri hati, bakhil, permusuhan, fitnah memfitnah, sombong dan sifat-sifat kurang terpuji lainnya. Akan tetapi pada kenyataannya, hingga di tempat-tempat dikembangkan dan bahkan pelayanan kehidupan beragama sendiri masih belum terselesaikan. Akibat sifat dengki, iri hati, hasut, permusuhan, dan lain-lain, pada komunitas beragama sekalipun masih terjadi perebutan, konflik, saling menjatuhkan dan sejenisnya. Maka artinya, meraih kualitas beragama yang terbaik ternyata tidak selalu mudah.

Demikian pula keberagamaan dalam hubungannya dengan orang lain. Orang beragama dianjurkan agar menjalin hubungan tali sillaturrahmi, membangun kedekatan antar sesama, saling mengenal, memahami, menghargai, berkasih sayang, dan selanjutnya saling bertolong menolong, namun yang terjadi bisa saja adalah justru sebaliknya. Orang beragama sekalipun, dan bahkan di antara mereka yang seagama, masih menganggap sebagai hal biasa terlibat saling menyalahkan, merendahkan, menjatuhkan, menghina, dan lainnya. Hal demikian tersebut lagi-lagi menunjukkan bahwa kualitas beragama masih perlu selalu dipupuk, ditumbuhkan, dan ditingkatkan secara terus menerus.

Untuk meningkatkan kualitas keberagamaan itu sendiri sebenarnya telah tersedia pendekatan yang seharusnya dijalankan. Secara spiritual misalnya, orang beragama dianjurkan agar selalu mengingat Allah dan Rasul-Nya, menjalankan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di Bulan Ramadhan, naik haji bagi mereka yang berkemampuan, dan lain-lain. Akan tetapi pada kenyatanya, kegiatan ritual yang dimaksudkan itu ternyata juga belum selalu menghasilkan sifat dan perilaku yang dipandang ideal sebagaimana digambarkan di dalam ajaran agama yang dipeluknya itu.

Demikian pula hubungannya dengan orang lain atau antar sesama, dalam ajaran agama diberikan petunjuk tentang hak-hak dan kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Di dalam beragama diajarkan dari hal sederhana tetapi mendasar, mulai tentang bagaimana berkeluarga, bertetangga, berkelompok, dan bahkan juga bernegara. Termasuk dalam kaitannya dengan orang lain, agama mengajarkan berbagai hal tentang harta kekayaan, kewajiban terhadap orang yang lemah, seperti anak yatim, orang miskin, terhadap sesama yang mengalami kesulitan di dalam perjalanan, menegakkan keadilan, dan lain-lain. Manakala semua hal dimaksud dijalankan dan selalu dijadikan pedoman, maka sebenarnya beragama menjadi pintu atau jalan masuk menuju kehidupan yang terbaik.

Namun gambaran yang sedemikian indah dan mulia tersebut ternyata tidak selalu mudah dijalankan di dalam berbagai kehidupan, baik pribadi maupun bersama-sama di tengah masyarakat. Hal demikian itu tentu banyak hal yang menyebabkannya. Misalnya, kualitas pengetahuan yang dimiliki oleh yang bersangkutan belum memadai. Pengetahuan dimaksud misalnya tentang konsep siapa sebenarnya dirinya sendiri itu, amanah yang seharusnya dijalankan, sosok tauladan yang seharusnya diikuti, fase-fase panjang yang akan dijalani dalam kehidupannya, kepada siapa seharusnya semua perbuatan itu akan dipersembahkan, dan seterusnya. Menyangkut tentang keberadaan dirinya sendiri misalnya, tidak semua orang mengetahui dan menyadari tentang asal muasal, amanah yang seharusnya dijalankan, kekuatan sebenarnya yang dimiliki, dan akhir dari kehidupannya.

Dalam hal memperbaiki kualitas kehidupan, agama memberikan tuntutan secara komprehensif, hingga menyentuh sumber perilaku seseorang yang paling dalam. Sebagai contoh sederhana, untuk mendisiplinkan orang, tidak cukup hanya dibuat aturan, cara menjalankan, dan ancaman terhadap mereka yang melangggarnya. Sebab, kedisiplinan tidak saja menyangkut aspek yang tampak, tetapi justru ditentukan oleh kekuatan yang tidak tampak dan berada pada diri seseorang yang paling dalam itu . Sedangkan yang dimaksud aspek tidak tampak itu adalah suara hati, ruh, atau jiwa. Aspek yang ada di dalam diri manusia itulah seharusnya dipandang sebagai kekuatan yang tidak boleh diabaikan. Agama memberi petunjuk bahwa di dalam mengatur perilaku manusia agar hingga menyentuh semua aspek secara sempurna, yaitu meliputi aspek lahir maupun batin dimaksud. Jika demikian itu yang dijalankan, maka beragama menjadi berkualitas, dan tampak fungsinya di dalam membangun kehidupan sehari-hari. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up