Semangat Berhaji
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Jumat, 26 Agustus 2016 . in Dosen . 804 views

Akhir-akhir ini kelihatan bahwa semangat menunaikan ibadah haji sedemikian tinggi. Asalkan keinginannya bisa terpenuhi, membayar berapapun dirasakan bukan sebagai hal yang memberatkan. Antri untuk menunggu hingga belasan tahun dirasakan terlalu lama, melelahkan, dan berat. Oleh karena itu jika ada alternatif yang sekiranya menjadikan masa tunggu dapat diperpendek, akan dipilih dan ditempuh apapun resikonya.

Apa yang dialami oleh jama'ah haji Indonesia yang harus lewat dan menggunakan pasport Philipina dan akhirnya juga gagal adalah didorong oleh semangat berhaji yang sedemikian tinggi tersebut. berhaji dianggap sebagai keharusan untuk ditunaikan. Mereka mengkalkulasi, jika harus menunggu hingga belasan tahun, padahal usia mereka sudah lanjut, maka dikhawatirkan selamanya tidak akan berhaji. Oleh karena itu, dengan cara apapun, mereka berusaha menempuhnya.

Para jama'ah haji Indonesia yang berusaha lewat Philipina tentu tidak mengetahui bahwa resiko yang harus ditanggung sedemikian berat. Sebenarnya dengan membayar ongkos lebih mahal, yakni kabarnya sampai 10 ribu dollar sudah merupakan resiko tersendiri. Tetapi, beban yang tidak murah itupun ditempuh, oleh karena semangat berhaji yang sedemikian tinggi. Menunaikan rukun Islam kelima dipandang harus dipenuhi, apapun resikonya.

Padahal di dalam al Qur'an sendiri, kewajiban berhaji adalah bagi mereka yang mampu menjalankannya. Dahulu, sebelum ekonomi masyarakat sebaik sekarang, makna sebagai orang yang mampu berhaji, tidak serumit sekarang. Siapapun asalkan dalam keadaan sehat dan memiliki bekal yang cukup, maka dapat menjalankan haji. Sekarang ini, pengertian mampu harus ditambah, yaitu sabar antri berlama-lama menunggu giliran.

Berhaji tidak sebagaimana ibadah shalat, zakat, dan puasa, hanya wajib ditunaikan oleh orang yang mampu menjalankannya. Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu, baik perbekalan, kesehatan, dan sekarang ditambah kesempatan maka tidak wajib berhaji. Oleh karena itu, memaksa diri dengan menempuh cara yang tidak dibolehkan pemerintah, sebenarnya justru tidak tepat. Berhaji hanya diwajibkan terhadap orang tertentu, dan bukan kepada semua orang.

Bagi siapapun sebenarnya boleh-boleh saja berusaha keras agar bisa beribadah untuk mendekatkan diri pada Allah dan Rasul-Nya. Ibadah itu tidak harus memaksa diri dengan berhaji. Mampu menjalankan shalat secara khusu' dan istiqomah sebenarnya termasuk orang yang beruntung, bahkan bisa jadi melebihi berhaji mabrur. Disebutkan di dalam al Qur'an bahwa 'beruntunglah bagi orang yang mensucikan dirinya dengan mengingat Allah dan Shalat'.

Melakukan ibadah tersebut tidak perlu harus berbiaya mahal dan tidak perlu pergi ke mana-mana. mengingat Allah dapat dilakukan di mana dan kapan saja. Demikian pula shalat khusu', dapat dilakukan di rumah, di masjid, di kantor, atau di mana saja, asalkan tempat itu suci. Oleh karena itu, dalam suasana seperti ini, haji tidak perlu didorong, dan bahkan sebaliknya, agar supaya semangat itu diturunkan. Masyarakat perlu disadarkan bahwa bagi mereka yang tidak mampu, tidak perlu memaksa diri harus berhaji.

Masyarakat perlu diyakinkan bahwa berbagai jenis ibadah dalam Islam, ----dan bukan hanya haji, dapat meningkatkan derajad taqwa. Semua ibadah seharusnya dilakukan dengan sabar dan niat ikhlas. Berhaji yang didasari oleh niat selain memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya, tidak akan memperoleh apa-apa, kecuali sebutan haji atau hajah di depan namanya. Selain itu, berhaji adalah pergi untuk datang ke tanah suci, dan menghadap kepada Dzat Yang Maha Suci, maka harus melalui cara yang benar, berbekalkan harta, pikiran dan hati yang bersih serta suci pula. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up