Belajar Bersyukur Dari Para Tunanetra
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Sabtu, 8 Oktober 2016 . in Dosen . 1376 views

Belajar itu boleh dari siapa saja dan tentang apa saja, yang terpenting adalah membuahkan manfaat. Demikian juga manfaat itu tidak saja diukur dari sudut ekonomi yang selalu bersifat praktis dan prakmatis, tetapi juga untuk mengenal kasih sayang Allah pada makhluk-Nya. Apa saja yang ada di alam ini, tanpa terkecuali, bisa dijadikan pelajaran hidup yang berharga.

Sejak lama saya kenal banyak tunanetra, khususnya yang berprofesi sebagai pemijat. Manakala badan terasa capek, saya memanggil ke rumah agar dipijat. Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari mereka itu. Saya mengira bahwa para tunanetra itu sehari susah oleh karena tidak mampu melihat apa-apa. Akan tetapi ternyata dugaan saya itu keliru. Para tunanetra pun sehari-hari juga merasakan kegembiraan dan juga bersyukur , apalagi ketika kebutuhannya yang sebenarnya tidak banyak telah tercukupi.

Para tunanetra ternyata juga membuituhkan rekreasi atau berwisata. Mereka ingin merasakan keindahan alam yang pernah didengarkannya. Seorang tunanetra bercerita pernah rekreasi ke pasir putih di Probolinggo, pergi bersama-sama ke telaga sarangan, naik ke gunung bromo untuk menyaksikan matahari terbit, ke pantai ngliyep, Prigi, dan bahkan juga ke Candi Borobudur. Sekali-kali, para tuna netra juga berziarah ke makam wali songo.

Mendengar cerita para tunanetra itu, suatu saat saya ingin tahu bagaimana mereka menikmati keindahan alam yang dikunjunginya itu. Menurut pengakuannya, mereka cukup senang dengan mendengarkan, dan berada di tempat-tempat yang telah didengarkannya disebut indah. Mereka bangga dapat merasakan telah datang ke pasir putih, ke Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan bahkan juga pernah naik kuda di telaga sarangan.

Ketika berekreasi ke tempat-tempat pilihannya, mereka secara bersama-sama menyewa kendaraan dan juga pendamping, yang tentu bukan orang tunanetra. Agar biayanya terjangkau, antara tiga atau empat orang tunanetra, menyewa satu orang pendamping. Aneh juga, ketika berekreasi ke pantai, para tuna netra atas bantuan pendampingnya, juga ikut mandi di laut. Mereka bergembira. hingga seolah-olah tidak merasakan ada sesuatu yang kurang pada dirinya.

Kelebihan lainnya dari para tunanetra yang saya kenal, mereka tidak pernah mencatat tentang apa yang pernah didengar, tetapi anehnya mampu menghafalnya. Berbekalkan kekuatan hafalannya itu, mereka dapat menyebut nama-nama banyak orang, nama tempat, kota, harga barang, dan lain-lain dengan tangkas. Padahal orang yang fisiknya sempurna saja, dengan catatan yang dimiliki, kadang masih lupa terhadap hal penting yang seharusnya diingat. Merenungkan hal tersebut menjadikan sadar bahwa, Tuhan sedemikian adil, membagi kenikmatan sedemikian merata kepada semua ciptaan-Nya.

Seorang tuna netra yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang pijat, mengungkapkan keinginannya untuk berumrah sekeluarga. Setelah anak-anaknya selesai kuliah dan juga sudah mandiri, ia semakin rajin menabung dan kelak setelah cukup, bermaksud untuk pergi ke tanah suci. Ketika bertemu saya, ia berkali-kali menyebut, bahwa secara fisik mengaku berkekurangan, tetapi dalam hal berakhlak dan beribadah kepada Allah, ia bertekat tidak mau berkekurangan.

Saya merasakan, bahwa belajar tidak harus dari guru atau dari buku, tetapi dari siapa saja yang berada di alam ini. Dari para tuna netra pun banyak hal yang bisa dipelajari, tidak terkecuali dalam mengekpresikan rasa syukurnya. Mereka tidak bisa melihat, tetapi ternyata mampu merasakan adanya keindahan dari berbagai ciptaan Tuhan, dan kemudian segera disyukurinya. Maka sebenarnya aneh, ketika seseorang dapat melihat, memiliki, dan bahkan menikmati, namun ternyata tidak mampu bersyukur. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up