Perasaan Sukses Dan Sekaligus Gagal Dalam Mendidik Anak
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Kamis, 6 Oktober 2016 . in Dosen . 1607 views

Bahan tulisan berikut ini saya peroleh secara langsung dari keluarga orang yang saya sebut sebagai sukses dan sekaligus dirasa gagal di dalam mendidik putra-putrinya. Disebut sukses oleh karena putra-putrinya tergolong cerdas dan atau memiliki kemampuan otak yang tinggi. Berbekalkan kelebihannya itu, semuanya yang berjumlah empat orang, sama sekali tidak pernah mengalami kesulitan di dalam mendapatkan sekolah yang bermutu.

Oleh karena keadaan ekonominya sangat berlebih, semua anak-anak orang dimaksud disekolahkan hingga ke luar negeri. Mereka lulus dan bahkan memperoleh pekerjaan di luar negeri pula. Disebutkan di antara anak-anaknya dimaksud ada yang bekerja di Jepang, di Amerika, dan satu di antaranya di Kanada. Atas prestasinya itu, semua orang mengatakan bahwa orang kaya tersebut dipandang sukses kedua-duanya, yaitu sukses dalam berekonomi dan sekaligus sukses dalam mendidik anak-anaknya.

Sukses secara sempurna tersebut tidak semua orang berhasil meraihnya. Memang tIdak sedikit orang kaya, tetapi masih disusahkan oleh anaknya yang memiliki kemampuan pas-pasan, sehingga hartanya tidak berhasil dimanfaatkan bagi anak-anaknya untuk meraih sukses dalam pendidikan. Uang bisa dicari dan atau diusahakan, tetapi menyangkut kemampuan otak atau kecakapan tidak serta merta bisa diperjuangkan. Oleh karena itu sukses yang dialami opleh orang tersebut benar-benar menjadi buah bibir banyak orang.

Sudah barang tentu, orang tua dimaksud amat bangga dengan keberhasilan anak-anaknya. Banyak orang mengagumi dan menjadikan bahan pembicaraan. Setiap mendapatkan pertanyaan dan bisa menjawab bahwa anaknya sedang belajar di luar negeri dan apalagi ada yang sudah bekerja di luar negeri pula, maka pada saat itulah kebahagiaan dirasakan sedemikian mendalam. Pengakuan banyak orang terhadap keberhasilan itu tidak saja membanggakan tetapi, dirinya merasa sebagai sosok ideal dalam menjalani dan mendidik anak-anaknya.

Agar kebahagiaannya menjadi sempurna, maka di Jakarta, anak-anaknya dibelikan rumah berukuran besar, menurut informasi yang disampaikan, harganya tidak kurang dari 70 milyard. Jumlah kamar dan ukuran luasnya disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan fasilitas itu, orang tua dimaksud membayangkan betapa bahagianya ketika suatu saat anak-anaknya yang semuanya belajar dan bekerja di luar negeri bisa pulang semua dan sama-sama menempati tempat yang cukup mewah itu. Keadaan yang demikian itu, dirasakan sebagai bentuk keberhasilan yang diharapkan sejak lama.

Perasaan sukses ternyata berubah total, ketika orang kaya tersebut sudah merasakan amat tua. dan sehari-hari hanya hidup dengan isterinya yang juga sudah tua, merasakan kesepian. Seringkali ia berkeinginan melihat anak dan cucu-cucunya ada di sampingnya. Apa yang selalu didengar bahwa cucunya sudah semakin besar, ingin dilihat. Orang tua itu membayangkan alangkan indahnya ketika cucunya bermain-main, menyapa, dan mendekatnya. Khayalan tentang keindahan perilaku cucunya itu, hingga ia memberanikan diri, menyuruh anaknya agar membawa pulang cucunya, setidaknya ketika waktu liburan. Tentu permintaan itu dipenuhi sekalipun tidak serta merta.

Pada saat libur, anak-anaknya dari luar negeri pulang bersama. Akan tetapi oleh orang tuanya dianggap sangat aneh. Tidak seorang pun anaknya yang mau bertempat tinggal di rumah mewah yang telah disediakan dengan berbagai fasilitas yang cukup. Pikiran antara orang tua dan anaknya yang telah lama berada di luar negeri ternyata jauh berbeda. Orang tua merasa senang, gembira, dan bangga ketika anak-anaknya berkumpul di satu tempat. Sementara itu anak-anaknya berpikir sebaliknya yaitu mendasarkan pada prinsip efisiensi. Anaknya lebih merasa nyaman, selama di Jakarta. bertempat tinggal di hotel mewah. Memenuhi semua kebutuhannya tinggal memesan, termasuk sopir yang bisa mengantar ke man-mana.

Rupanya sejak di luar negeri, mereka sudah bersepakat menginap di hotel yang sama, yaitu disebutkan di Mariot. Setelah datang melalui tilpun, orang tuanya diberi tahu bahwa mereka dan keluarganya sudah datang dan langsung mengambil kamar di hotel. Sementara itu orang tuanya sendiri, dengan meminta bantuan sopir hotel, dijemput agar datang di penginapan itu. Hal yang tidak biasa bagi orang timur, setibanya di Jakarta, anaknya bukan segera datang ke rumah, sungkem kepada orang tuanya, tetapi beralasan efisiensi tersebut, meminta sopir hotel mengambil orang tua di rumahnya agar dibawa ke hotel.

Melihat perilaku anak-anaknya tersebut, orang tua dimaksud merakan gagal berat di dalam mendidik anaknya. Ia kemudian sock dan jatuh sakit. Ia merasakan sesuatu keadaan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Tidak lama kemudian, orang tuanya itupun sakitnya tidak tertolong dan akhirnya wafat. Sementara itu anak-anaknya masih berada di Jakarta. Pamannya, yang menceritakan peristiwa itu ikut merasakan penderitaan yang amat mendalam. Semakin lebih aneh lagi, mengetahui bahwa orang tuanya wafat, anak-anaknya tidak menangis, merasa sedih, tetapi justru sibuk mengambil gambar lewat alat pemotretnya.

Pamannya menceritakan, bahwa memang masih ada sisa spiritual yang ditampakkan oleh anaknya ketika melihat orang tuanya wafat, ialah meletakkan di sebelah jenazah ayahnya kaset bacaan al Qur'an dengan suara Syekh Sudaes agar didengarkan oleh siapa saja yang bertakziyah. Anak-anaknya juga tidak mengetahui, jenazah akan diapakah, sehingga untung di antara pamannya segera datang dan mengurus segala sesuatu yang terkait dengan perawatan jenazah hingga memakamkannya. Melihat kenyataan yang dirasakan aneh dan memprihatinkan itu, orang-orang yang hadir bertakziyah, menganggap bahwa orang tua tersebut sukses mendidik anak-anaknya, tetapi sekaligus juga dirasakan gagal total., Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up