Melengkapi Perguruan Tinggi Islam Dengan Ma'had
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Rabu, 9 November 2016 . in Dosen . 4949 views

Setelah Pak Maftuh Basyuni berkunjung ke UIN Malang, setiap saya menghadap beliau, selalu menanyakan tentang bagaimana melengkapi perguruan tinggi Islam dengan pesantren atau ma'had. Pertanyaan itu selalu saya jawab, bahwa untuk membangun sarana pendidikan itu yang terpenting adalah adanya kemauan masing-masing pimpinannya. Saya selalu melaporkan bahwa dulu untuk membangun ma'had di UIN Malang juga tidak dimulai dari ketersediaan anggaran. Pada tahun 1999, ialah waktu memulai membangun ma'had, pemerintah sedang disibukkan oleh persoalan besar, yaitu reformasi, sehingga tidak mungkin menyediakan anggaran untuk program baru yang pada waktu itu belum ada contohnya.

Untuk memulai membangun ma'had di UIN Malang, hanya bermodalkan tekat yang kokoh. Menyangkut anggaran pada waktu itu, saya tidak berpikir sebagaimana pimpinan birokrasi pada umumnya, yaitu selalu menggantungkan dana dari pemerintah. Pimpinan birokrasi pada umumnya baru akan bekerja jika tersedia anggaran dari pemerintah. Jika tidak tersedia anggaran maka tidak akan melakukan apa-apa. Ketika itu saya berpikir sebagaimana orang swasta, yaitu ketika tidak ada anggaran maka segera mencari ke mana saja yang sekiranya memungkinkan. Oleh karena dilaksanakan di lingkungan pemerintah, maka saya sebut sebagai pendekatan birokrasi entrepreneur.

Agar konsep biropkrasi entrep[reneur tersebut dapat berjalan, saya memulai dari diri saya sendiri, menggunakan uang pribadi dan kemudian mengajak para dosen serta karyawan urunan bersama. Uang dimaksud digunakan untuk biaya peletakkan batu pertama pembangunan ma'had. Setelah pembangunan tersebut berjalan, saya ajak para wali mahasiswa juga ikut urunan, dan ternyata hasilnya lumayan besar. Setelah saya jelaskan fungsi ma'had di dalam kampus, para wali mahasiswa dengan suka rela membantu yang jumlahnya ketika itu melebihi yang saya duga, hingga ternyata beberapa gedung berhasil dibangun.

Kisah tersebut saya laporkan kepada Pak Maftuh Basyuni. Bahkan, beliau saya sodori pemikiran yang saya anggap agak radikal. Saya sampaikan bahwa ada tiga alternatif kebijakan terhadap perguruan tinggi Islam negeri, yaitu dibiarkan, dibubarkan atau dibangun di dalamnya ma'had. Kementerian agama bisa saja tidak melakukan kebijakan apa-apa terhadap perguruan tingi Islam, kecuali menyediakan anggaran dan memantau penggunaannya. Akan tetapi beresiko, yaitu lulusan yang dihasilkan tidak akan memberi arti yang signifikan bagi masyarakat.

Lebih lanjut saya sampaikan kepada Menteri Agama bahwa tidak sedikit mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi Islam, sekalipun sudah diajari ilmu tafsir, hadits, dan lainnya hingga beberapa semester, tetapi masih belum mampu membaca al Qur'an. Jika kenyataan itu dibiarkan maka lulusannya tidak akan ada gunanya di tengah masyarakat. Apa yang diinginkan oleh para pendiri perguriuan tinggi Islam dahulu, yaitu agar lulusannya menjadi seorang ulama yang intelek dan intelek yang ulama, maka tidak akan terwujud, Maka, itulah resiko jika perguruan tinggi Islam dibiarkan apa adanya.

Alternatif kedua adalah perguruan tinggi Islam itu dibubarkan saja. Adapun untuk mencetak ahli agama cukup dipercayakan kepada pesantren. Tokh sebelum ada perguruan tinggi, para ulama yang jumlahnya sudah cukup banyak juga lahir dari pesantren. Akan tetapi jika alternatif itu dipilih, maka juga akan beresiko, yaitu Pak Menteri Agama akan mendapat kritik keras dari masyarakat. Betapapun rendahnya kualitas perguruan tinggi Islam, oleh masyarakat masih dianggap perlu. Maka, alternatif membubarkan perguruan tinggi Islam tidak perlu dilakukan.

Maka alternatif yang paling tepat adalah melengkapi perguruan tinggi Islam dengan ma'had. Tanpa kebijakan berupa perubahan kurikulum, peningkatan sarana dan prasarana, dan lain-lain, dengan adanya ma'had di tengah-tengah perguruan tinggi Islam maka akan dengan sendirinya kualitas lulusannya akan meningkat. Saya juga menyampaikan bahwa menurut Prof. A.Mukti Ali, mantan menteri agama, ulama selalu lahir dari pesantren. Oleh karena itu jika perguruan tinggi Islam ingin melahirkan ulama, maka tidak ada jalan lain kecuali melengkapi kampusnya dengan pesantren.

Rupanya dengan menyaksikan sendiri keberadaan Ma'had di UIN Malang dan juga mendasarkan pengalaman Pak Maftuh Basyuni sendiri ketika belajar di pesantren---Gontor Ponorogo dan pesantren lainnya, serta apalagi juga pendidikan beliau di Saudi Arabia, maka semangat melenhgkapi perguruan tinggi Ikslam dengan ma'had menjadi semakin tinggi. Setiap saya menghadap beliau selalu mengajak bicara tentang ma'had kampus. Demikian pula, setiap memberikan pengarahan kepada para pimpinan perguruan tinggi Islam selalu menyinggung betapa pentingnya ma'had kampus. (bersambung)

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up