Pengalaman Bertamu Ke Rumah Keluarga Arab
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Selasa, 28 Februari 2017 . in Dosen . 6484 views

Banyak orang Indonesia ketika menunaikan ibadah haji atau umrah, sekalipun berada di Saudi Arabia, tidak berkesempatan mengunjungi rumah-rumah orang Arab. Biasanya jama'ah haji atau umrah menginap di hotel yang berdekatan dengan Masjid Nabawi dan atau Masjidil Haram. Mungkin hanya orang-orang tertentu, oleh karena memiliki keluarga di tanah suci, selain menginap di hotel juga menyempatkan berkunjung ke rumah keluarganya.

Kebetulan saja, sudah beberapa kali, saya berkunjung ke rumah keluarga orang Arab. Kunjungan itu tidak saja di kota Makkah dan kota Madinah, tetapi juga di Riyad, Kunfudha, Khail, Qoshim, dan lain-lain. Pada kunjungan ke beberapa kota di Saudi Arabia, selain ke perguruan tinggi, juga bersillaturrakhiem ke rumah keluarga mereka. Mendengar berita kunjungan Raja Salman ke Indonesia, saya teringat pengalaman yang mengesankan ketika beberapa kali berkunjung ke rumah keluarga orang Arab.

Bangsa kita disebut sebagai bangsa yang ramah, kekeluargaan, dan hormat terhadap tamu. Akan tetapi sebenarnya, sifat-sifat mulia seperti itu juga dimiliki oleh orang-orang Arab di berbagai kota. Terkait kebiasaan menghormati tamu misalnya, saya merasakan orang Arab memiliki tradisi yang luar biasa baiknya. Pada suatu saat, saya berencana bertamu bersama isteri ke kota Qashim. Mendengar saya akan datang bersama isteri, orang Arab yang akan saya kunjungi, berusaha mengetahui ukuran baju isteri saya.

Ukuran baju tersebut ternyata digunakan untuk memesan baju yang diharapkan akan digunakan oleh isteri saya selama berada di kota Qosim itu. Menyiapkan baju dimaksud adalah sebagai bagian dari upaya menghormati tamu. Rupanya mereka ingin agar tamunya merasa dihormati, dan merasa senang selama berada di rumahnya. Bagi mereka, menghormati tamu dianggap sebagai bagian dari menjalankan ajaran agamanya, dan bahkan pertanda keimanannya.

Hal lain lagi, ketika berkunjung ke beberapa kota di Saudi Arabia, saya selalu mendapatkan pengalaman yang amat mengesankan. Guna menghormati tamu misalnya, mereka selalu mengikut-sertakan saudara dan kenalannya yang dianggap memiliki hubungan dekat. Para saudara dan teman-temannya, sekalipun rumahnya berjauhan, diundang untuk bersama-sama menghormati dengan cara mengajak makan bersama. Rupanya makan bersama-sama dijadikan cara menghormati tamu.

Mereka memiliki tradisi, ketika datang, tamunya segera disuguhi kopi Arab dan kurma. Tradisi tersebut dianggap sebagai cara mereka menghormati tamu. Oleh karena gelasnya, biasanya berukuran kecil, maka harus diberikan berulang kali, sambil menyapa dan menanyakan keadaan dan atau kesehatan. Rupanya menanyakan sesuatu dianggap sebagai penghormatan. Berkunjung ke rumah keluarga orang Arab, menjadi terasa dekat dengan keluarga yang dikunjungi itu.

Perbedaan dari orang Indonesia dalam menghormati tamu, orang Arab biasanya menempatkan tamu terpisah antara laki-laki dan perempuan. Para tamu laki-laki dan perempuan biasanya juga harus melewati pintu masuk dan keluar pada tempat berbeda. Demikian pula pada acara makan, juga terpisah antara antara laki-laki dan perempuan. Hal demikian itu tidak saja berlaku bagi orang Arab di pedesaan, tetapi juga bagi mereka yang berpendidikan tinggi sekalipun.

Para dosen perguruan tinggi, baik di Riyad, di Qoshim, Kha'il, dan juga ketika berkunjung ke Kunfudza, saya memperoleh perlakuan sama. Ketika datang ke Kunfudza, sekedar untuk mengucapkan terima kasih kepada seorang ibu yang kebetulan anaknya lama mengajar di UIN Malang, saya hanya boleh menyampaikan lewat di balik kelambu. Seorang laki-laki dan perempuan di wilayah itu, yang bukan mukhrim, tidak boleh bertatap muka.

Kesan yang saya peroleh, dalam menerima tamu, orang Arab menunjukkan suasana sedemikian hangat, akrab, dan begitu pula dalam mehormatinya. Ketika sedang menerima tamu, tampak mereka melakukannya secara total. Seolah-olah apa saja yang diperlukan oleh tamunya, berusaha dipenuhi. Pak Maftuh Basyuni (alm), mantan Menteri Agama, menyebut bahwa orang Arab jika sudah menyukai seseorang, maka apa saja akan diberikan. Sebaliknya, jika sudah tidak mempercayai, dengan cara apapun, mereka terasa sulit diyakinkan. Itulah sebabnya, pesan beliau, jangan sekali-kali menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan oleh orang Arab. Namun sikap seperti itu seharusnya juga diberikan kepada siapa saja, tanpa terkecuali. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up