Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah pluralisme keagamaan, demikian ungkap Coward (1989:5). Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan.
Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Dan seperti pengamatan Coward (1989:167), setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa.
Kendati agama memiliki fungsi pemupuk persaudaraan dan fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta-fakta kongkret dari zaman ke zaman, namun di samping fakta yang positif itu terdapat pula fakta negatif, yaitu perpecahan antarmanusia yang bersumber pada agama.
Secara normatif-doktriner agama selalu mengajarkan kebaikan, cinta kasih dan kerukunan. Tetapi kenyataan sosiologis memperlihatkan sebaliknya, agama justru dijadikan sumber konflik yang tak kunjung reda, baik konflik intern maupun ekstern, misalnya bentrokan antara umat Kristen Gereja Purba dengan umat Yahudi, umat Kristen penganut
agama Romawi (agama kekaisaran) dalam abad pertama sampai abad ketiga.
Seperti ungkap Syafiq Mughni, ketegangan atau konflik antarumat bergama di Indonesia biasanya berkisar pada tiga wilayah yang berdiri sendiri atau saling terkait: pertama,
wilayah ajaran, kedua wilayah sosial, ketiga wilayah kemanusiaan. Artinya, persoalan kemanusiaan (keadilan, kejujuran, dan ketentraman dsb.) harus memancing respon dari berbagai agama untuk melakukan kerjasama yang baik. Oleh sebab itu, salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama di tengah pluralitas ini adalah dengan memahami ajaran agama masing-masing secara utuh.
Ketegangan dan kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia selama ini yang mengakibatkan hancurnya tempat-tempat ibadah, seperti masjid, mushalla, dan gereja selalu dikaitkan dengan konflik antarumat beragama. Fenomena di atas menunjukkan kesenjangan (
gap) antara idealitas agama (
das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (
das sein). Oleh sebab itu, persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis antarumat beragama.
Menyadari pluralisme agama yang ada di Indonesia, kerukunan hidup antarumat beragama merupakan sesuatu yang harus diperhatikan bagi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Kerukunan hidup antarumat beragama dimaksud adalah kerukunan yang tercipta di antara umat beragama dalam kehidupan sosial tanpa mempersoalkan agama/akidah masing-masing.
Di Indonesia, upaya untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama sudah sejak lama dibina. Sejak tahun 1967 hingga sekarang dialog antaragama gencar dilaksanakan, baik atas prakarsa pemerintah maupun masyarakat beragama itu sendiri. Upaya dialog tersebut kemudian dikenal dengan
Musyawarah Antar-Agama, yang melibatkan para pemuka agama di Indonesia. Bahkan masa antara tahun 1972-1977 tercatat pemerintah telah menyelenggarakan dialog yang berlangsung di 21 kota (UQ, 1993, Dian, Th.I). Tetapi bagaimana hasilnya? Mengapa konflik atas nama agama tetap saja berlangsung?
Sekurang-kurangnya menurut Bambang Sugiharto (1998: 29-32), tantangan yang dihadapi setiap agama saat ini ada tiga:
pertama,
soal disintegrasi dan degradasi moral;
kedua, soal pluralisme dan eksklusivisme;
ketiga,
soal ketidakadilan. Ketiga persoalan tersebut sulit diatasi karena beberapa faktor, di antaranya adalah: karena adanya sikap agresif yang berlebihan terhadap pemeluk agama lain; adanya konsep kemutlakan Tuhan yang disalahmengertikan; dan adanya kepentingan luar agama (politik, ekonomi) yang turut mengintervensi agama. Tetapi jika faktor di atas dapat diselesaikan, maka tantangan-tantangan tersebut juga dapat dijawab.
Dalam kaitannya dengan pluralisme agama di Indonesia, Victor I. Tanja (1998: 79) menganjurkan adanya reorientasi misi dan dakwah. Menurut Tanja, tujuan misi dan dakwah bukan untuk menambah jumlah kuantitas, melainkan harus dilandaskan pada menciptakan umat yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian (kualitas umat). Sejalan dengan Tanja, Shahab menegaskan (lihat: 1998: 23-24), bahwa ketegangan agama yang terjadi selama ini adalah karena pelaku dakwah (
da’i, muballigh, missionaris) adalah orang-orang yang cinta pada agamanya, tetapi tidak memiliki pengetahuan agama secara mendalam. Akibatnya dakwahnya lebih cenderung propagandis dan kadang provokatif.
Di sinilah perlunya keterbukaan antarumat beragama melalui dialog-dialog segar dan menyejukkan umat itu sendiri. Dialog yang ditindaklanjuti dengan kerja konkret, kata Victor I. Tanja (246). Bagaimana konsep dialog antarumat beragama itu harus dikemas?
Praksis dialog agama yang sebenarnya seperti diungkap oleh Ahmad Gaus (1998:295) adalah, dialog yang meleburkan diri pada realitas dan tatanan sosial yang tidak adil dengan sikap kritis. Karena setiap agama memiliki nilai-nilai kebaikan dan misi penegakan moralitas.
Dengan tegas dikatakan oleh Mudji Sutrisno (1998: 335), bahwa tidak cukup membangun dialog antaragama hanya dengan dialog-dialog logika rasional, namun perlu pula logika psikis. Maka ihktiar dialog logis teologi kerukunan juga harus dibarengi dengan pencairan-pencairan psikologis, seperti rasa saling curiga yang selama ini selalu muncul di kalangan umat beragama.
Masalah kerukunan umat beragama dan antarumat beragama sangat penting untuk terus dibina, sebab akhir-akhir ini kerusuhan di berbagai daerah yang melibatkan umat beragama, terus bergejolak, meskipun pemicunya sangat kompleks menyangkut soal ekonomi dan politik. Tetapi jika ajaran agama dipahami secara benar, sesungguhnya tidak akan terjadi kerusuhan tersebut, sebab setiap agama mengajarkan kerukunan dan cinta kasih, menyerukan kebajikan dan mencegah kemungkaran atau dalam bahasa al-Qur’an disebut
amar ma’ruf nahi munkar.
Sudah saatnya umat beragama mengkaji ajaran agamanya secara benar dan kritis, tidak terjebak pada persoalan-persoalan yang formalistik dan bersifat simbol belaka. Sementara substansi ajarannya yang penuh perhatian terhadap persoalan kemanusiaan dan
akhlaq- karimah seperti: keadilan, kejujuran dan kedermawanan terabaikan.
Apalagi jika kemudian agama direduksi nilainya dengan menempatkan posisi agama sebagai alat legitimasi aktivitas politik dan kekuasaan. Pada saat seperti ini agama tinggal sebuah simbol kekuasaan yang kehilangan makna substansialnya. Oleh sebab itu, umat beragama perlu merenungi kembali persoalan ini. Bagaimana agama bisa menjadi kekuatan moral dan spirit umat untuk melakukan aksi yang selalu bermanfaat bagi orang lain, bukan sebaliknya merusak tatanan sosial. Kiranya kita perlu merenungi hadis Nabi yang berbunyi:
Khair an-nas anfa’uhum li an-nas, sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain.
Jika kita perhatikan kitab suci, sebetulnya musuh agama adalah ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Kalau masih ada ketidakadilan dan ketimpangan sosial di muka bumi ini maka menjadi tanggung jawab semua umat beragama. Karena pada dasarnya semua agama tidak menghendaki segala macam bentuk kejahatan. Di sinilah letak kebenaran universal agama itu. Semua ajaran agama menghendaki wujud kebaikan di masyarakat dan menentang semua bentuk kezaliman.
Dalam pandangan Islam, orang yang masih membiarkan ketimpangan sosial (tidak peduli orang miskin, anak yatim dan orang yang terlantar dan tertindas) maka disebut sebagai pendusta dan penghianat agama (baca:
QS. Al-Ma’un). Musuh agama juga orang yang mengakumulasi kekayaan yang tak ada kemanfaatan bagi orang lain (lihat:
QS. Al-Humazah). Oleh sebab itu, bisa dipahami ketika nabi Muhammad pertama kali menyiarkan agama ditentang mati-matian oleh kafir Quraisy saat itu karena dianggap menghalang-halangi praktek akumulasi dan monopoli kekayaan para konglomerat Arab saat itu.
Agar agama tidak dijauhi oleh pemeluknya, maka agama harus mampu menjawab tantangan-tantangan yang semakin kompleks seiring dengan perubahan zaman yang semakin cepat. Tantangan-tantangan itu menurut Laurens (1998) antara lain: pluralisme, sekularisme, individualisme, “fundamentalisme” dan hedonisme. Tetapi pluralisme agama bisa menjadi bagian khazanah jika dipahami sebagai anugerah Tuhan, dengan cara menjalin kerjasama untuk membangun persatuan dan kesatuan antar umat beragama itu sendiri demi terwujudnya kemakmuran dunia. Jika pluralisme agama menemukan satu wadah teologi yang sama, maka agama akan lebih mampu menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapai baik sekarang maupun mendatang.
_________
*Penulis adalah dewan redaksi Jurnal TOLERANSI, aktivis dialog Islam-Kristen di GKJW Malang.
DAFTAR PUSTAKA
Coward, Harold (1989).
Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, Yogyakarta, Kanisius.
Dian Interfidei (1995).
Dialog: Kritik dan Identitas Agama, seri Dian I Th. I.
Geerz, Cliffort (1985).
Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Surya Grafindo.
OC. Hendro Puspito (1984).
Sosiologi Agama, Yogyakarta, Kanisius.
Ulumul Qur’an (1993). No. 4, Volume IV.