AGAMA, POLITIK DAN KIAI*
Fenomena menarik yang terjadi di kalangan kiai akhir-akhir ini adalah menyangkut keterlibatan mereka di dunia politik praktis, terutama pada masa Pemerintahan Gus Dur. Banyak para kiai yang telah mendaftarkan diri sebagai calon bupati di beberapa daerah, sementara kemampuan untuk memimpin pemerintahan masih dipertanyakan. Oleh sebab itu ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden, pertama kali yang beliau ingatkan kepada warga NU --terutama para kiainya-- adalah supaya mereka tidak berebut menduduki jabatan di pemerintahan. Peringatan Gur Dur itu disampaikan setelah muncul dari banyak kalangan kiai NU yang telah mendaftarkan diri sebagai calon bupati di beberapa daerah.
Agama dan Politik
Perdebatan soal “agama dan politik” sebetulnya sudah lama terjadi, jauh sebelum sekarang ini. Bahkan sejak awal sejarah Islam, yaitu ketika para sahabat (khulafaurrasyidin) dihadapkan pada soal calon pemimpin (baca: khalifah) sepeninggal Nabi. Saat itulah persoalan di seputar agama dan politik mulai menjadi wacana yang dipertentangkan. Munculnya kelompok Syi’ah dan Khawarij tidak lepas dari persoalan tersebut.
Dalam konteks Indonesia, tema-tema politik Islam bergulir mencapai klimaksnya pada perdebatan dalam konstituante pada paruh kedua dasarwarsa 1950-an. Sekarang persoalan ini mencuat kembali lantaran bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada agenda “membangun Indonesia baru” yang demokratis, terbuka dan tidak otoriter seperti yang terjadi selama dalam kekuasaan rezim Orde Baru.
Dalam merespon soal agama dan politik, di kalangan umat Islam terdapat dua arus pemikiran besar yang berbeda. Pemikiran pertama mengatakan, bahwa ajaran Islam adalah bersifat holistik. Oleh karena itu Islam dianggap sesuatu yang lebih dari sekadar sebuah agama. Menurut kelompok ini, disamping sebagai sebuah agama, Islam juga sebuah politik dan negara. Ungkapan: al-Islam dinun wa daulah, adalah sangat populer di kalangan mereka. HAR. Gibb sendiri, seorang orientalis kenamaan yang memiliki sejumlah karya monumental keislaman (Islamologi) mengakui, bahwa Islam memang tidak lebih sekadar sistem teologi melainkan juga peradaban yang komplit (Islam is indeed much more than a theology it is complette civilization).
Di sisi lain sebagian umat Islam berpendapat, tak ada bukti jelas bahwa ajaran Islam (yang tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah) mengharuskan orang Islam untuk mendirikan Negara Islam. Mengenai pengalaman politik Nabi, khususnya di Madinah tidak dianggap sebagai proklamasi negara Islam. Karena itu sangat mafhum jika kelompok kedua ini menolak agenda politik para pemimpin dan aktivis Muslim yang berusaha menegakkan Islam sebagai dasar negara. Kelompok ini diwakili oleh Ali Abdurraziq, Thoha Husein dan kawan-kawan.
Generasi baru pemikir dan akitivis Muslim juga percaya pada karakteristik Islam yang holistik itu. Hanya saja mereka menolak pendapat, bahwa Islam memberikan sistem kehidupan yang detail dan baku. Watak holistik Islam hanya meliputi nilai-nilai moral yang berperan sebagai petunjuk umum bagi kehidupan. Demikian pula relasi Islam dengan negara atau sistem pemertintahan hanya didasarkan pada prinsip-prinsip etis, bukan konsep baku. Bagi mereka, persoalan “negara Islam” merupakan produk pemikiran politik sebagai counter terhadap kolonialisme barat (Prisma, 1995:20).
Perdebatan mengenai “apakah Islam agama politik atau bukan” sudah terjadi sejak masa ulama’ dahulu. Persoalan ini bermula dari perspektif mereka tentang “apakah al Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan atau sebagai petunjuk agama saja”. Dari sini lantas memunculkan dua pendapat yang berbeda. Al-Ghazali dan As-Suyuthi misalnya berpendapat, bahwa seluruh ilmu baik klasik maupun modern tercakup di dalam kitab Allah. Tidak ada bagian atau problem dasar suatu ilmu pun yang tidak ditunjukkan dalam al Qur’an (lihat Al- Ghazali, 1329 : 9,32, As- Suyuthi, 1979 : 1).
Kelompok kedua seperti yang diwakili As-Syathibi menolak anggapan di atas. Ulama’ masa kini yang monolak anggapan di atas mengatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab petunjuk (al-Huda) bukan ensiklopedi sains (lihat Az- Zahabi, 1978 : 485-489, Shihab, 1992 : 41). Mencocok-cocokkan al Qur’an dengan teori sains yang tidak mapan (selalu berubah-ubah) sangat mengancam eksistensi al-Qur’an itu sendiri, demikian ungkap Ghulsyani (1991 : 142).
Persoalan di ataslah yang kemudian melahirkan paradigma yang berbeda dalam mengaplikasikan ajaran Islam dalam berbangsa dan bernegara termasuk sikap politik aktivis Muslim di Indonesia yang selama ini dianggap “membingungkan umat”. Perbedaan sikap politik Gus Dur dan Amin Rais --dan juga beberapa partai Islam lain seperti PBB dan PAN atau juga ICMI-- harus dilihat dari konteks ini. Dan perbedaan tersebut akan terus terjadi sampai kapan pun seiring dengan kenyataan bahwa Islam merupakan agama—yang menurut Bahtiar Effendy—disebut sebagai poliinterpretasi (poly interpretable). Kendati Islam satu, tetapi pemahaman atas doktrin Islam berbeda antara satu dengan yang lain, dan ini sah adanya.
(Author)