DEFUNDAMENTALISME AGAMA
Dr. HM. Zainuddin, MA Jumat, 8 November 2013 . in Wakil Rektor I . 3076 views
Satu demi satu teroris di Indonesia sudah terbunuh, mulai dari Azahari, Amrozi dkk sampai Noordin M. Top yang dianggap gembong dan top-nya teroris di Indonesia ini. Pertanyaannya adalah, apakah terorisme di Indonesia sudah tamat? Gembong teroris di Indonesia memang sudah tertangkap, tetapi tidak dengan “terorisme”. Ini artinya, bahwa pemboman atau teror di negeri kita ini belum selesai, malah mungkin akan terus berlangsung, seiring dengan perkembangan pengikut kelompok atau jamaah “Islam” garis keras itu sendiri yang memiliki jaringan internasional. Dengan kata lain, teroris di Indonesia sudah menjadi bahaya “laten” persis dengan trade mark bahaya laten untuk PKI zaman Orde Baru dulu. Oleh karena itu kita harus waspada dan mengantisipasi keberadaannya. Karena, siapapun yang memiliki akal sehat dan beragama yang haq tidak akan membenarkan tindakan pemboman dan teror tersebut, kecuali bagi pelaku pemboman dan teror itu sendiri.     Doktrin Fundamentalisme dan Janji Sorga Tindakan para pelaku bom bunuh diri memang tidak bisa terlepas dari kekuatan doktrin yang mereka miliki. Bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah keharusan yang mesti dilakukan, persetan dengan vonis salah maupun vonis hukuman mati oleh pemerintah. Ini adalah sebuah keyakinan, perintah Tuhan yang wajib dilaksanakan. Bagi kelompok agama garis keras (fundamentalis), melakukan kekerasan dan bahkan pemboman kepada orang lain dianggap sebagai perjuangan (jihad) yang sangat mulia kedudukannya di sisi Tuhan, bahkan tidak bisa ditawar-tawar untuk ditunda. Inilah doktrin yang mereka bangun dan kembangkan kepada para anggotanya. Resiko mati atau eksekusi mati bagi mereka bukan penghalang, namun justru ada harapan dan janji masuk sorga. Inilah kekuatan “jihad” mereka yang tidak pernah padam. Kekuatan doktrin inilah yang sebenarnya sulit untuk bisa distop dan ditaklukkan oleh siapapun dan dengan perlawanan apapun. Oleh sebab itu, Amrozi dkk di Indonesia atau kelompok mereka di luar Indonesia boleh mati, tetapi tidak dengan doktrin  dan ideologinya. Fundamentalisme merupakan gejala keagamaan yang bisa muncul dari semua agama, di mana pun dan kapan saja. Oleh karena itu dikenal istilah: fundamentalisme Islam, fundamentalisme Hindu, fundamentalisme Kristen dan seterusnya. Istilah fundamentalis di sini dimaksudkan adalah pemikiran sekelompok orang yang cenderung menentang pembaruan agama dan politik. Dalam wacana agama, Fundamentalisme adalah paham yang berjuang untuk menegakkan kembali norma-norma dan keyakinan agama tradisional untuk menghadapi sekularisme. Dalam agama Kristen, fundamentalisme muncul karena ingin membendung bahaya modernisme yang dianggap telah mengotori kesucian agama dan ingin kembali kepada teks kitab Suci (Bibel). Sementara itu dalam Islam, fundamentalisme  juga diartikan sebagai paham yang bermaksud mempertahankan ajaran dasar Islam, menjauhkan dari segala bentuk tah>ayyul, bid’ah dan khurafa>t seperti yang dilakukan oleh Ahmad bin Hanbal dan Ibn Taimiyah. Tetapi perkembangan lebih lanjut kelompok fundamentalisme di atas memiliki konotasi minor dan sangat pejoratif, bahkan dianggap sebagai kelompok garis keras yang sering bertindak irrasional dan selalu dikaitkan  dengan gerakan-gerakan dan revolusi, seperti gerakan Wahabi di Saudi Arabia, Khumaini di Iran, Hasan al-Banna, Sayid Qutub di Mesir dan seterusnya. Sebagian orang juga menilai, bahwa fundamentalisme adalah kelompok yang melawan tatanan  politik yang ada. Oleh sebab itu kelompok oposisi Islam sering dianggap sebagai fundamentalis bahkan dianggap subversif. Fundamentalisme Islam populer di kalangan Barat setelah terjadinya revolusi Iran tahun 1979. Menurut E. Marty, (1991). ada dua prinsip fundamentalisme: pertama, memiliki prinsip perlawanan (opposition), yaitu perlawanan terhadap segala bentuk yang dianggap membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernisme, sekularisme maupun westernisme; kedua, adalah penolakannya terhadap heurmenetika. Kelompok fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Menurut kelompok ini, teks harus dipahami sebagaimana adanya karena nalar dianggap tak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Oleh sebab itu kelompok ini juga disebut tekstualis-skripturalis. Senada dengan penjelasan di atas, Riaz Hassan (2006: 115) dan Watt juga mengemukakan, bahwa fundamentalisme Islam menganggap bahwa identitas mereka berada dalam bahaya dan terkikis oleh hibriditas budaya dan agama. Mereka mempertahankan penafsiran, doktrin, keyakinan, dan praktik masa lalu yang suci. Bagi mereka modernitas dan globalisasi yang menjadi ciri dunia merupakan ancaman serius bagi pandangan dunia tradisional, alasan utama munculnya fundamentalisme Islam adalah adanya perasaan kaum Muslim, termasuk orang yang berpendidikan tinggi, bahwa mereka berada dalam bahaya karena kehilangan identitas Islam mereka yang dikikis oleh Barat. Kaum Muslim juga merasakan bahwa dengan kebangkitan sosial yang diakibatkan oleh pengaruh Barat, masyarakat Islam akan menjadi lebih buruk dibandingkan masyarakat lain. Fundamentalisme Islam modern merupakan respon kolektif terhadap krisis emosi dan intelektual, karena janjinya adalah kembali kepada ‘Islam yang benar’, yang dapat memecahkan semua problem. Kelompok fundamentalis menegaskan, bahwa di sebuah negara Muslim, kaum non-Muslim mesti diturunkan tingkatannya sehingga statusnya lebih rendah di hadapan kaum Muslim. Misalnya, kaum non-Muslim harus mengenakan lencana khusus agar mereka mudah dikenali identitasnya. Lebih jauh lagi, kaum non-Muslim tidak diperbolehkan mendirikan bangunan gereja atau sinagog yang lebih tinggi dari pada masjid, dan mereka harus dinomorduakan dari orang Muslim dalam semua kegiatan sosial sehari-hari. Termasuk, orang Muslim dilarang untuk mengawali salam damai kepada non-Muslim. Premis yang memotivasi mereka adalah bahwa Islam harus menguasai dan mendominasi. Konsekuensinya, kaum non-Muslim yang hidup di wilayah Muslim harus dibuat merasa inferior agar mereka tidak tahan dengan status mereka. Kondisi ini akan menjadi titik masuk bagi mereka untuk melihat kebenaran dan beralih ke Islam. Dengan cara ini mereka bisa meninggalkan status rendah mereka. Bersandar beberapa karya ahli hukum klasik, kalangan fundamentalis getol memperjuangkan teologi yang dikenal dengan sebutan al-wala’ wa al-bara> (doktrin loyalitas dan pemisahan). Doktrin ini menyatakan, bahwa kaum Muslim hanya wajib peduli, berinteraksi, dan berteman hanya dengan umat Islam. Kaum Muslim dibolehkan meminta bantuan non-Muslim hanya jika mereka lemah dan membutuhkan, tetapi selagi umat Islam mampu memperoleh kekuatannya, mereka harus merebut status superiornya. Umat Islam tidak boleh bersahabat dengan kaum non-Muslim atau membiarkan diri mereka peduli atau mencintai kaum non-Muslim. Defundamentalisme Agama Lantas, apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dan membendung bahaya fundamentalisme dan terorisme di Indonesia ini? Paling tidak ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu: pertama, menegakkan supremasi hukum secara serius; dan kedua, melakukan reorientasi pemahaman agama di lembaga pendidikan (sekolah maupun perguruan tinggi). Seacara simultan pemerintah bersama masyarakat hendaknya melakukan penegakan hukum untuk membendung bahaya laten terorisme ini. Pemerintah tidak bisa lagi kecolongan oleh kelompok-kelompok asing yang bisa keluar masuk Indonesia seenaknya sendiri, sebagaimana yang terjadi selama ini, meski dengan Negara tetangga sendiri sekalipun. Di lembaga pendidikan, hendaknya ditanamkan pendidikan agama yang menanamkan doktrin agama moderat (alhanifiyyah al-samhah), agama damai (din rahmah) bukan agama kekerasan dan fundamentalis. Bagi aliran moderat, salam adalah kosakata yang seakar dengan kata Islam, yang berarti kedamaian, kesentosaan, ketenangan, atau ketentraman. Ayat-ayat sala>m adalah ayat-ayat al-Qur'a>n yang menekankan kebutuhan tidak saja akan toleransi antaragama, melainkan untuk bekerja sama secara moral yang berusaha menegakkan kebajikan di muka bumi. Dalam ayat-ayat sala>m, al-Qur'an  menandaskan bahwa dalam berhubungan dengan kelompok musuh, umat Islam seharusnya mencoba mengingatkan mereka akan kewajiban moral mereka kepada Tuhan, tetapi jika musuh itu dengan angkuh menolak kebenaran, umat Islam seharusnya meninggalkan sembari memberikan sala>m kepada mereka. Dalam dinamika ini, umat Islam seyogyanya menunjukkan sikap yang dapat meyakinkan musuh mereka bahwa perbedaan pendapat di antara mereka tidaklah bersifat personal, dan bahwa umat Islam tidak menampakkan dendam atau kebencian terhadap musuh mereka. Sampai-sampai ketika musuh menolak ajaran dan berpaling, al-Qur'a>n memandu umat Islam bahwa satu-satunya respons yang tepat terhadap penolakan ini adalah mendoakan agar musuh mereka mendapat anugerah kedamaian. Di Indonesia bukan daerah perang (dar alharb), oleh sebab itu tidak ada alasan yuridis Islam (hujjah fiqhiyyah) untuk menabuh genderang perang melawan kafir. Justru yang harus dilakukan adalah sebaliknya, perang melawan teroris dan terorisme itu sendiri. __________ *Dr. M. Zainuddin, MA. adalah Dosen Pemikiran Islam pada PPs UIN Malik Ibrahim Malang.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up