- Peristiwa isra’ dan mi’raj
Peristiwa isra’ dan mi’raj adalah perjalanan Nabi dalam bimbangan Allah SWT dari Masjidil Haram (Makkah) ke masjidil Aqsha (palestina) k.l. 700 km. Hingga sampai ke Sidrat al-Muntaha Nabi menerima perintah shalat yang lima waktu.
+ Selama dalam perjalanan itu Nabi ditunjukkan oleh Allah beberapa rekaman atau gambaran orang-orang yang shalih dan yang thalih.
+ Orang kafir Quraisy waktu mendengar berita bahwa Nabi telah melakukan isra’-mi’raj ini gembira. Kenapa? Karena dengan berita yang dialami Nabi ini mereka mendapat bahan untuk melecehkannya kepada masyarakat luas, bahwa Nabi memang seorang pembohong. Sebagian mereka mencoba mengkonfirmassikan berita ini kepada Abu Bakar, dengan harapan ia tidak bisa membenarkan berita ini. Tetap apa yang terjadi? Justru Abu Bakar membenarkan berita tersebut (sehingga Abu Bakar dijuluki as-Shiddiq).
+ Ilmuwan Barat modern (kaum rasionalis dan empiris) tidak bisa memebenarkan. Mereka mengatakan:
- Bagaimana mungkin kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam
continuum empat dimensi ini dapat terjadi?
- Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui Muhammad tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang membakar tubuhnya?
- Bagaimana mungkin ia dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Menurut kaum empiris dan rasionalis hal ini tidak mungkin terjadi.
2. Paradigma ilmu Islam
+Ilmuwan abad 20 menyatakan: fisikawan abad 20 yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya meski yang disebut materi sekalipun. +Teori Black Holes menyatakan, bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3 persen saja, sedangkan 97 persennya di luar kemampuan manusia.
+Itulah sebabnya seorang Kierkegaard tokoh eksistensialisme, menyatakan, “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, melainkan karena ia tidak tahu“.
+Lalu Imanual Kant juga berkata, “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya“.
- 3. Pesan isra’-mi’raj adalah shalat lima waktu
Dalam pengertian lebih luas, shalat memiliki arti zikir dan senantiasa mengingat Allah di dalam segala tindakannya, sehingga dengan menegakkan shalat ini diharapkan manusia tidak pernah memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan dan segala macam tindakan keji lainnya, sebagaimana penegasan Allah SWT melalui firman-Nya, “Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar” (QS. Al-‘Ankabut:35).
Pertanyaanya kemudian, shalat yang bagaimanakah yang mampu mencegah perilaku keji dan munkar itu? Kenapa sudah banyak orang yang melaksanakan shalat tetapi justru kejahatan makin menjadi-jadi? Pertanyaan inilah yang sering terdengar di telinga kita.
Jauh sebelum zaman kita sekarang ini Nabi sudah memperingatkan kepada umatnya, bahwa suatu saat nanti akan datang kepada umat manusia, dimana banyak orang yang melaksanakan shalat, tetapi (hakikatnya) mereka tidak shalat. Inilah fenomena zaman yang barangkali tengah kita alami sekarang ini, yang sering dipertanyakan orang mengenai relevansi shalat dengan fenomenan maraknya kejahatan dan tindak kezaliman lainnya. Apa artinya ini semua?
Tengara Nabi itu terbukti, yaitu telah tiba saatnya dimana banyak tempat peribadatan dibangun, tetapi aktivitas dan isinya minim. Tibalah saatnya generasi penerus (generasi yang miskin) yang menyia-nyiakan shalat dan mereka terbawa oleh nafsunya, inilah saatnya mereka akan menemui kesulitan dan krisis multi dimensi. Demikianlah kondisi yang digambarkan oleh Nabi, yang dialami oleh orang-orang munafik. Ini pula yang dimaksud Al-Qur’an surat Al-Ma’un, yaitu banyak orang yang melakukan shalat, tetapi yang diperoleh hanyalah kesengsaraan (digambarkan dengan siksa neraka
Wel), karena mereka melalaikan shalat dan hanya ingin dilihat dan dipuji orang.
Ada tiga kategori manusia yang digolongkan sebagai “manusia yang melalaikan shalat” itu:
Pertama,
lalai waktu. Mereka ini suka mengolor-olor waktu shalat, sudah waktunya shalat, tetapi masih ditunda-tunda untuk melaksakannya, alias mereka tidak disiplin dan tepat waktu. Itulah sebabnya ketika Nabi ditanya salah seorang sahabatnya mengenai amal yang
afdhal, beliau menjawab “shalat yang tepat waktu”.
Kedua,
lalai tidak mengingat Allah dalam shalatnya, artinya selama dalam shalat, mereka lisannya mengucapkan bacaan-bacaan shalat, tetapi hatinya keluar dari kontesks shalat, pikirannya tertuju pada urusan duniawi, bahkan mereka tidak menghayati gerakan yang ada dalam shalat itu. (tiadak
thuma’ninah).
Ketiga,
orang yang shalat, tetapi di luar shalat mereka tidak shalat, artinya mereka shalat, mungkin
thuma’ninah, tepat waktu, tetapi di luar tindakan shalat formal itu mereka tetap melakukan kejahatan. Contoh simpelnya, seusai shalat berjamaah di masjid misalnya, mereka masih mau mengambil sandal atau sepatu orang lain. Jika pada contoh yang lebih luas, mereka masih mau korupsi, manipulasi dan eksploitasi. Jadi mereka memisahkan antara shalat sebagai ibadah dengan urusan kehidupan dunia sehari-hari, inilah sesungguhnya yang disebut dengan “orang sekuler” atau
sahun dalam bahasa Qur’an-nya.
Jika kita mampu mengeliminir (mendesekularisasi) sikap-sikap di atas, maka berarti kita termasuk kategori manusia yang disebut oleh Allah SWT sebagai
aflah al-mu’minun, yaitu orang-orang mukmin yang paling beruntung, orang-orang yang
khusyu’ dalam melaksanakn shalatnya (lihat QS. Al-Mu’minun:1-2).
Itulah maka, Allah SWT memberikan predikat kepada dua kategori manusia yang berbeda, yaitu manusia munafik yang
sahun dan manusia mukmin yang
khasyi’un. Dalam mengungkapkan kalimatnya pun Allah menggunakan ungkapan yang berbeda diantara dua golongan manusia ini.
Ketika ungkapan itu ditujukan kepada orang-orang mukmin maka Allah menggunakan ungkapan
fi (Qad aflah al-mu’minun allazinahum fi shalatihim khasyiun…). Tetapi ketika ungkapan itu ditujukan kepada orang-orang munafik digunakan huruf
‘an (Fawailun li-‘l-mushallin allazinahum ‘an shalatihim sahun….). Dalam konteks ini Allah memberikan batasan yang tegas antara karakteristik orang-orang mukmin dengan orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Pembedaan yang digunakan Allah pada diri manusia bukan diukur dengan fisik, etnis, jenis kelamin dan seterusnya, melainkan ada pada sifat dan karakteristiknya. Di sinilah Allah SWT memberikan pendidikan kepada kita tentang wawasan egaliter, dan substansial (lihat QS. Al-Hujurat: 13).
Shalat memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan orang mukmin. Sehingga Nabi pernah menyatakan “shalat itu sama dengan
mi’raj-nya orang-orang mukmin”,
seperti halnya bagi orang yang tidak mampu pergi haji ke Makkah, maka shalat jum’ah bagi mereka dianggap sama nilainya dengan pergi haji ke Makkah. Itulah kemurahan Allah SWT yang diberikan kepada kita.
Wallahu A’lam bi-‘l-Shawab.