Pada zaman pra-Islam --sering disebut masa
Jahiliyyah-- terdapat dua stratifikasi sosial yang timpang, yaitu masyarakat kelas atas (elit) yang hegemonik --baik secara sosial, politik maupun ekonomi-- dan masyarakat kelas bawah (
subordinate) yang tak berdaya. Demikianlah
setting sosial-politik yang terjadi pada masyarakat Arab (Makkah-Madinah) pra-Islam. Dan seperti kata Guillaume (1956:11), komunitas Yahudilah yang telah mendominasi kekuasaan politik dan ekonomi saat itu, hingga kemudian nabi Muhammad datang merombak struktur masyarakat yang timpang tersebut.
Nabi hadir membawa sistem kepercayaan alternatif yang egaliter dan membebaskan. Karena ajaran yang disampaikan nabi membawa pesan, bahwa segala ketundukan dan kepatuhan hanya diberikan kepada Tuhan semata, bukan kepada manusia. Karena kebenaran datang dari Tuhan, maka kekuasaan yang sebenarnya juga berada pada kekuasaan-Nya, bukan kepada raja. Secara empirik kemudian nabi melakukan gerakan reformasi dengan mengembalikan kekuasaan dari tangan raja (kelompok elit) kepada kekuasaan Tuhan melalui sistem musyawarah. Kehadiran nabi tersebut membawa angin segar bagi “masyarakat baru” yang mendambakan sebuah kondisi sosial masyarakat yang adil dan beradab. Karena apa yang dibawa nabi sebetulnya sistem ajaran yang menegakkan nilai-nilai sosial: persamaan hak, persamaan derajat di antara sesama manusia, kejujuran dan keadilan (
akhlaq hasanah).
Selain itu, sesuai posisinya sebagai pembawa rahmat, nabi terus berjuang merombak masyarakat
pagan-jahiliyah menuju masyarakat yang beradab, atau dalam bahasa al-Qur’an disebut
min-’l-Zulumat ila-’l-Nur (lihat QS. Al-Baqarah:257, al-Maidah:15, al-Hadid: 9, al-Thalaq:10-11 dan al-Ahzab:41-43).
Selama kurang lebih 10 tahun di Madinah, nabi telah melakukan reformasi secara gradual untuk menegakkan Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki perhatian besar terhadap tatanan masyarakat yang ideal. Dan masyarakat yang dibangun nabi saat itu adalah masyarakat pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan kepercayaan. Masyarakat seperti yang dikehendaki dalam rumusan piagam Madinah, yaitu masyarakat yang memiliki integritas dan berperadaban tinggi, baik dalam konteks relasi antar manusia maupun dengan Tuhan, yang melampau batas primordialisme dan sektarianisme.
Kasih sayang terhadap golongan yang lemah seperti kaum feminis, para janda dan anak-anak yatim menunjukkan komitmen moralnya sebagai seoarang pemimpin umat yang plural. Hal ini dibuktikan dalam kesempatan pidato terakhirnya di padang Arafah, beliau berpesan kepada para pengikutnya supaya memperlakukan kaum wanita dengan baik dan bersikap ramah terhadap mereka. “Surga di bawah telapak kaki ibu”, jawab nabi ketika salah seorang sahabat bertanya tentang jalan pintas masuk surga. Kalimat tersebut diulang sampai tiga kali.
Salah satu sifat pemaaf dan toleransi nabi yang luar biasa adalah tampak pada kasus Hindun, salah seorang musuh Islam yang dengan dendam kusumatnya tega memakan hati Hamzah, seorang paman nabi sendiri dan pahlawan perang yang terhormat. Kala itu orang hampir dapat memastikan bahwa nabi tidak akan pernah memaafkan seorang Hindun yang keras kepala itu. Ternyata tak diduga-duga ketika kota Makkah berhasil dikuasai oleh orang Islam dan Hindun yang menjadi tawanan perang itu pada akhirnya dimaafkan. Melihat sikap nabi yang begitu mulia tersebut dengan serta merta Hindun sadar dan menyatakan masuk Islam seraya menyatakan, bahwa Muhammad memang seorang rasul, bukan manusia biasa.
Tidak hanya itu saja, sikap politik nabi yang sangat sulit untuk ditiru oleh seorang pemimpin modern adalah, pemberian amnesti kepada semua orang yang telah berbuat kesalahan besar dan berlaku kasar kepadanya. Tetapi dengan sikap nabi yang
legowo dan lemah lembut itu justru membuat mereka tertarik dengan Islam, sebagai agama
rahmatan lil-’alamin.
Seperti yang dicatat oleh Akbar S. Ahmed (1992), seorang penulis sejarah Islam kenamaan dari Pakistan, bahwa penaklukan Makkah oleh nabi yang hanya menelan korban kurang dari 30 jiwa manusia itu merupakan kemenangan perang yang paling sedikit menelan korban jiwa di dunia dibanding dengan kemenangan beberapa revolusi besar lainnya seperti Perancis, Rusia, Cina dan seterusnya. Hal ini bisa dipahami karena perang dalam perspektif Islam bukan identik dengan penindasan, pembunuhan dan penjarahan, seperti yang dituduhkan sebagian kaum orientalis selama ini, melainkan lebih bersifat mempertahankan diri. Oleh sebab itu secara tegas nabi pernah menyatakan: “Harta rampasan perang tidak lebih baik dari pada daging bangkai”. Demikian juga larangannya untuk tidak membunuh kaum perempuan, anak-anak dan mereka yang menyerah kalah.
Nilai-nilai islami yang tercermin dalam figur nabi yang melampaui batas ikatan primordialisme dan sektarianisme memberikan rasa aman dan terlindung bagi masyarakat yang pluralistik. Perkawinan nabi dengan seorang istri dari luar rumpun keluarga, kecintaannya terhadap Bilal, seorang budak kulit hitam yang menjadi
muazzin pertama Islam dan pidatonya pada kesempatan haji
wada’ di Arafah yang menentang pertikaian suku dan kasta telah membuktikan sikap arif dan bijak kepemimpinannya.
Oleh sebab itu seperti yang dikatakan oleh Ashgar Ali (1993), bahwa konsep
jihad (berjuang) dalam perspektif Islam tidak memaksa orang untuk memeluk Islam sebagai sebuah agama, melainkan berjuang untuk memerangi kemungkaran dan mengakhiri penindasan oleh orang kuat (
al-mustakbirin) terhadap orang lemah (
al-mustadh’afin).
Semua utusan Tuhan (nabi) digambarkan dalam al-Qur’an sebagai pembela al-
mustadh’afin untuk menghadapi
al- mustakbirin, seperti Musa yang digambarkan sebagai pembebas bangsa Israel dari penindasan raja Fir’aun, sebagaimana frman Allah: “Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi”. (Q.S.28:5).
Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah ke dunia untuk membebaskan masyarakat Arab dari krisis moral dan sosial. Secara tegas beliau berani memberantas praktek-praktek akumulasi kekayaan yang diperoleh secara ilegal (baca: KKN) oleh konglomerat Arab saat itu. Dan gerakan reformasi nabi itulah yang kemudian membuat mereka berang dan merasa terancam kepentingannya. Sampai-sampai beliau dan keluarganya diboikot dari hubungan kerja dan pergaulan.
Oleh sebab itu seperti penilaian Ashgar Ali maupun Ahmad Amin, bahwa pada hekikatnya kelompok hartawan Makkah bukan tidak mau menerima ajaran tauhid yang dibawa nabi, atau penentangannya terhadap penyembahan berhala, melainkan yang sangat dirisaukan oleh mereka adalah gerakannya yang mengarah kepada “ancaman” praktek monopolistik dan eksploitatif yang mereka lakukan.
Pengaruh reformasi nabi Muhammad betul-betul mengguncang dunia dan dengan waktu kurang lebih 10 tahun di Madinah beliau mampu mewujudkan sebuah masyarakat ideal, masyarakat yang secara sosiologis berada dalam kelas kesejajaran atau kalau menurut Ashgar Ali, “masyarakat tanpa kelas”. Status manusia tidak diukur oleh kekayaan maupun jabatan, melainkan diukur oleh kesalehannya.
Peristiwa hijrah nabi dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M juga merupakan peristiwa monumental bagi lahirnya sebuah
nation state. Peristiwa tersebut pada hakikatnya merupakah sebuah perjalanan panjang menuju pembentukan masyarakat Islam yang demokratis dan terbuka.
Ada empat langkah yang ditempuh nabi dalam membentuk masyarakat Islam saat itu:
Pertama, mendirikan masjid yang diberi nama
Baitullah (rumah Allah). Masjid inilah yang kemudian menjadi sentral kegiatan umat Islam, mulai dari praktek ritual (beribadah), mengadili perkara, majlis
ta’lim, bahkan jual-beli pernah dilakukan di kawasan masjid tersebut. Hanya mengingat kondisi yang tak memungkinkan, maka pada akhirnya harus dipindahkan. Masjid tersebut juga merupakan pusat pertemuan kaum muslimin dari seluruh wilayah Islam.
Kedua, mempersatukan kelompok Anshar dan Muhajirin yang berselisih. Ali ra. dipilih sebagai saudara beliau sendiri, Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah Ibn Zuhair dan Ja’far Ibn Abi Thalib dipersaudarakan dengan Muaz Ibn Jabbal. Demikianlah nabi telah mempersatukan tali persaudaraan mereka. Dengan demikian terciptalah persaudaraan yang berdasarkan agama, sebagai pengganti dari persaudaraan yang berdasarkan ras dan suku sebagaimana yang telah dipraktekan orang-orang Jahiliyyah sebelumnya.
Ketiga, perjanjian saling membantu antara kaum muslimin dengan non-muslim. Penduduk Madinah saat itu terdiri dari tiga golongan: kaum muslimin, Yahudi (yang terdiri dari Bani Nadhir dan Quraidhah) dan bangsa Arab yang masih
pagan (penyembah berhala). Karena itu nabi mempersatukan mereka dalam satu masyarakat yang terlindung, sebagaimana yang terumuskan dalam Piagam Madinah.
Keempat, meletakkan dasar politik, ekonomi dan sosial bagi terbentuknya “masyarakat baru”.
Hijrah nabi pada tahun 622 M, kata Mongomery Watt, menunjukkan permulaan kegiatan politiknya. Namun beliau tidak dengan tiba-tiba mendapatkan kekuatan politik yang begitu besar itu, melainkan tumbuh dengan perlahan-perlahan. Konsesi-konsesi dengan warga Madinah yang akan beliau masuki (ketika beliau masih berada di Makkah) berarti pendirian badan politik baru, yang didalamnya terdapat kelonggaran untuk merealisasikan potensi politik dari pemikiran Al-Qur’an.
Itulah sosok Muhammad, orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam masyaralat Makkah secara serius, radikal dan humanistik. Beliau tidak sekadar menyeru orang untuk men-
tauhid-kan Allah, melainkan juga membangun masyarakat baru yang demokratis, berperadaban, dan tidak korup. Tidak berlebihan jika Michael Hart dalam laporan penelitiannya
: The 100: A Ranking of Most Influential in History, menempatkan beliau sebagai tokoh peringkat pertama yang paling berpengaruh di dunia. “Islam (yang dibawa Muhammad) memang tidak menciptakan dunia modern, tetapi Islam merupakan agama yang mungkin paling tepat dan cocok untuk dunia modern”. Demikian ungkap Gellner. @
---------------
*Penulis adalah dosen Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam pada STAIN Malang.
REFERENSI
Amin, Ahmad (1972)
.Yaum al-Islam, Mesir,
Maktabah al-Nahdhah.
Ahmed, Akbar S, (1992).
Citra Muslim, Tunjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahan Nunding Ram dan Ali Yaqub, Jakarta, Erlangga.
Ali, Asghar (1993),
Islam Pembebasan, Yogyakarta, LKIS.
Azra, Azyumardi “Kata Pengantar” dalam Bernard Lewis (1994),
Bahasa Politik Islam, terjemahan Ihsan Ali Fauzi, Jakarta Gramedia.
Beg, Jabbar MA (1980),
Islamic and Western Concepts of Civilization, Kuala Lumpur, The University of Malaya Press.
Depag RI (1995),
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta Depag RI.
Guillaume, Alfred (1956),
I s l a m, England, Pinguin Books.