Teori “Benturan Peradaban”
Menurut Huntington, konflik di dunia baru sekarang ini bukan disebabkan oleh faktor ideologis atau ekonomi, tetapi lebih disebabkan oleh apa yang disebut sebagai “benturan peradaban” (
the clash of civilization) (lihat Samuel P.Huntington, 1993: 22-49 dan 2003). Huntington menjelaskan, bahwa benturan peradaban akan mewarnai dan mendominasi politik global. Menurutnya, identitas peradaban akan semakin penting pada masa akan datang dan dunia akan dibentuk dalam ukuran besar oleh interaksi di antara tujuh atau delapan peradaban utama: Barat, Konfuius, Jepang, Islam, Hindu, Slavia Ortodoks, Amerika Latin dan mungkin Afrika. Konflik yang paling penting pada masa akan datang terjadi di antara garis budaya yang memisahkan satu peradaban dengan yang lain. Beberapa negara yang lebih suka bergabung dengan Barat mengajukan westernisasi secara penuh, seperti Jepang, Rusia, negara lain di Eropa Timur dan Amerika Latin. Sementara yang tidak tergabung dengan Barat adalah, mereka menerima modernisasi tetapi menolak westernisasi (Al-Jabiri dalam John L. Esposito, 2002 89).
Sebagaimana kata Al-Jabiri sebetulnya dua tahun sebelum Huntington, sudah ada tesis serupa yang dilontarkan oleh Buzan. Hanya karena tidak ditulis secara provokatif sehingga tidak populer gaungnya. Barry Buzan membuat sketsa ciri-ciri utama dari pola baru hubungan keamanan global yang timbul setelah transformasi besar tahun 1989-1990. Menurutnya, terdapat
empat ciri dasar dari bentuk hubungan baru antara beberapa negara, yaitu:
pertama, munculnya struktur kekuasaan multipolar di samping pusat bipolar yang telah ada sejak Perang Dingin;
kedua, sebuah tingkat pembagian dan perselisihan ideologi yang lebih kecil;
ketiga, kecenderungan dominasi internasional dari kelompok negara-negara kapitalis yang menaruh perhatian dengan masalah keamanan dan perubahan;
keempat, sebuah konsolidasi dari kekuatan masyarakat sipil internasional. Perubahan-perubahan di pusat (negara-negara industri) akan memiliki akibat langsung maupun tidak langsung terhadap keamanan politik, militer, ekonomi dan sosial dari pinggiran (negara-negara non-industri). Akibat-akibat inilah yang disebut Buzan sebagai “benturan dari identitas peradaban” yang berselisih, yang sangat mencolok antara Barat dan Islam (John L. Esposito,2002:88).
Teori "Hegemoni"
Dalam
Webster’s New Collogiate Dictionary disebutkan, bahwa kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani,
hegemonia yang berarti pemimpin. Jadi, sama halnya dengan sifat umum yang terkait dengan pemimpin, maka hegemoni memiliki kata kunci: “pengaruh” dan “otoritas”.
Konsep hegemoni mula-mula diperkenalkan oleh Antonio Gramsci. Menurut Gramsci, hegemoni adalah kepemimpinan kultural yang dilaksanakan oleh kelas yang berkuasa (
the ruling class). Menurut Gramsci, unsur esensial paling banyak mengenai filsafat modern tentang praksis (terkait dengan pemikiran dan tindakan) adalah, konsep filsafat sejarah “hegemoni”. Gramsci menolak ide perkembangan sejarah yang bersifat determinis atau “yang pasti terjadi” (Ritzer, 1988:128).
Hegemoni menunjuk pada sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu terhadap negara lain. Dalam konteks politik internasional misalnya, pada periode Perang Dingin, pertarungan-pertarungan antara negara adikuasa, seperti Amerika Serkat dengan bekas Uni Sovyet (Rusia sekarang), biasanya disebut sebagai perang untuk merebut kekuatan hegemonik dunia (Patria dan Arief, 1999:116).
Gramsci membedakan antara hegemoni dengan kekuatan (
force). Jika kekuatan meliputi penggunaan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat suatu cara produksi tertentu, maka hegemoni meliputi perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif” dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas berkuasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik (Pabotinggi, 1986:214).
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Pabotinggi (1986:214), bahwa hegemoni menekankan pada dominasi ideologis/ politis atas kaidah-kaidah moral dan intelektual yang berlaku. Hegemoni, melalui produk-produknya, menjadi penentu satu-satunya dari apa yang dipandang benar secara moral maupun intelektual. Hegemoni adalah dominasi sosial dimana “arah lain senantiasa didiamkan dan dilenyapkan dari diskusi, diperlakukan sebagai tak ada”.
Menurut Pabotinggi (1986:217), superaioritas Barat atas segala sesuatu yang “bukan Barat” merupakan pesan tunggal. Salah satu menifestasi terkuat dari hegemoni kultural-ideologis ini ialah diskursus Barat yang disebut dengan
orientalisme. Strategi orientalisme tergantung secara konstan pada superioritas Barat yang dapat diwujudkan dalam berbagai posisi yang selamanya menempatkan superioritas Barat atas Timur.
Mengutip Binder, Martin mengungkapkan, bahwa dalam studi Timur Tengah kebanyakan orientalis Barat memiliki prasangka negatif terhadap Islam. Seberapa seriuskah prasangka tersebut menggerakkan keinginan untuk mengkaji Timur Muslim? Apakah pengaruhnya terus berlanjut pada mereka yang mengajar studi Timur Tengah sekarang? Jawaban provokatif atas pertanyaan ini diberikan oleh Edward W. Said dalam karyanya,
Orientalism. Menurut Said, “studi ketimuran” sebagai disiplin keilmuan secara material dan intelektual terkait dengan ambisi politik dan ekonomi Eropa, dan orientalisme telah menghasilkan “gaya pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistemologis antara “Timur” dan “Barat” dalam banyak hal. Said melanjutkan, bahwa orientalisme Barat mengembangkan cara-cara “pembahasan” tentang Islam (khusunya Arab) sehingga memapankan dan menyempurnakan rasa superioritas budaya Barat atas budaya lain. Said juga melihat adanya bias dalam tulisan-tulisan para sejarawan kolonial, misionaris, dan sarjana Barat. Bias yang paling populer menurut Said adalah proyeksi media tentang Arab saat ini sebagai masyarakat yang terbelakang, irrasional dan penuh nafsu birahi (Martin, 1985: 14-15).
Pencandraan (citra negatif) yang dibangun oleh Barat dalam menilai Timur (baca: Islam) itu sudah sedemikian kuatnya, sehingga Barat dikonotasikan sebagai kemajuan, desentralisasi, stabil, sementara Timur identik dengan stagnasi, sentralisasi, kacau dst (lihat Sayyed, 1997:100).
Terkait dengan teori di atas, Fuller (Esposito, 2002:90-91) mengatakan, bahwa benturan antarperadaban bukan antara Yesus Kristus, Konfusius atau Nabi Muhammad sebagaimana yang dipahami Huntington, tetapi bersifat ideologis. Peradaban adalah kendaraan bagi pengungkapan konflik, bukan penyebabnya. Kondisi yang mencerminkan dunia pasca runtuhnya komunis adalah dominasi (hegemoni) pandangan dunia Barat dalam ruang lingkup ekonomi dan politik yang didasarkan pada tiga prinsip fundamental, yaitu:
pertama, kapitalisme dan ekonomi pasar;
kedua, hak-hak asasi manusia dan demokrasi sekular-liberal;
ketiga, negara kebangsaan sebagai kerangka bagi hubungan internasional. Fuller berharap munculnya sebuah ideologi di Dunia Ketiga yang menentang nilai-nilai Barat. Menurut Fuller, jalan ideologi yang akan datang melawan Barat tergantung pada tipe para pemimpin yang muncul sebagai pembela kepentingan negara. Fuller menempatkan Cina, India, Iran, Mesir, Rusia (termasuk Indonesia, Brazil dan Afrika Selatan) di bagian depan daftar negara yang dipastikan memainkan peran utama dalam perjuangan ideologis melawan hegemoni Barat.
Dikotomi Barat-Islam dewasa ini mencuat kembali menurut Munoz (dalam Esposito, 2002:3), karena akibat persepsi yang timbul dari pembagian dunia pasca-Perang Dingin ke dalam Timur dan Barat. Dalam pencariannya terhadap lawan baru sejak akhir tahun 1980-an, Barat telah memilih untuk melawan Islam, dengan mengangkat kembali isu-isu budaya sebagai pemicu konflik. Mengutip Arkoun, Munoz (Esposito, 2002: 5) menjelaskan, bahwa menguatnya persepsi dikotomis Barat-Islam karena adanya interpretasi historis yang difokuskan pada prinsip ideologi antagonisme (misalnya: Bizantium vs Kekaisaran Islam, Kerajaan Kristen vs Andalusia, Turki Usmani vs Eropa, Nasionalisme Arab-Islam vs Barat dst.).
Persaingan hegemoni politik dan ekonomi antara dunia Kristen Abad Pertengahan dan Kekaisaran Arab-Islam ditafsirkan sebagai sebuah konfrontasi antarperadaban, yang menyebabkan kesadaran Barat memahami Islam sebagai lawan atau musuh. Sementara Kristen dan Yudaisme terintegrasi dengan Barat ke dalam peradaban Yudeo-Kristen, sedangkan Islam terpinggirkan. Prasangka-prasangka yang diciptakan oleh konfrontasi Islam dan Kristen di Spanyol dalam perang Salib atau perang melawan Turki merasuki kesadaran Barat secara mendalam. Di sinilah yang disebut oleh Munoz sebagai “kesalahan penafsiran sejarah” (lihat juga, Esposito, 2002:127-128).
Seacara metodologis ada kecenderungan yang salah di kalangan para peneliti dan analis yang mengukuhkan ideal-ideal Barat sebagai satu-satunya patokan (
bencmark) dan menempatkannya secara berbeda dengan ideal-ideal Islam. Kecenderungan ini mengimplikasikan adanya simplifikasi atas perkembangan politik dan sosial di dunia Muslim dan menganggapnya sebagai tanda-tanda dari religiusitas yang ekstrem. Sekadar contoh, Revolusi Iran diasumsikan oleh Barat sebagai sebuah ungkapan fanatik dari cita rasa keagamaan, dengan mengabaikan semua faktor sosial, politik dan ekonomi yang menimbulkan gerakan revolusioner. Untuk alasan yang sama, fenomena Islam direduksi menjadi pemaksaan religius yang tidak rasional dan juga tidak dipertimbangkan mengapa ia muncul dan menyebar ke masyarakat, atau berpaling dari tatanan tradisional dalam pengertian sosiologis. Terorisme dan perang saudara, ketika melibatkan kaum Muslimin cenderung dijelaskan sebagai konsekuensi Islam itu sendiri (yang inheren dengan ajaran
jihad-nya), bukan sebagai akibat dari setting politik dan sosio-ekonomi (Esposito, 2002:6).
Dalam pandangan fundamentalis Muslim, Amerika jauh dikhawatirkan ketimbang Uni Soviet (Rusia sekarang), karena pengaruh budaya dan ekonominya Amerika jauh melampaui Uni Soviet. Demikian pula, pasca Perang Dingin (
Cold War), Amerika juga menganggap ideologi kelompok fundamentalis Muslim merupakan tantangan yang jauh membahayakan. Pendeknya menurut Daniel Pipe (1986:946), Amerika harus menghadapi rintangan yang lebih besar di bawah kelompok fundamentalis.
Dalam pandangan fundamentalis Muslim, Amerika dan sekutu-sekutunya, memiliki pengaruh budaya yang amat luas, misalnya: bahasa, gaya hidup, media massa (BBC, program televisi, musik, video game, komik,
teks book dan seterusnya). Pada wilayah agama misalnya, Amerika mengeksport dua hal: Kristen (sebagai rival Islam tradisional) dan sekularisme (sebagai rival modern). Missionaris Kristen merupakan bayang-bayang besar bagi kalangan fundamentalis Muslim (Pipe, 1986:948).
Perang Dingin (
Cold War) sudah dianggap memori, tetapi Amerika masih menghadapi resiko tinggi yang mereka sebut dengan
Green Peril. Green dikonotasikan sebagai warna Islam, sementara
Peril disimbolkan sebagai Muslim fundamentalis Timur Tengah. Fundamentalis Muslim ini dianggap sebagai gerakan revolusi agresif, militan, dan garang sebagaimana Bolshevik, Fascist dan Nazi yang anti demokrasi, anti-sekuler, otoriter dan segala macam stigma buruk lainnya. Inilah Perang Dingin Baru (
The New Cold War) yang disebut Jurgensmeyer (lihat Jurgensmeyer
The New Cold War: Religious Nationalism Confront the Scular State, University of California Press(1993)
, lihat pula Leon T. Hadar,
Policy Analysis, The “Green Peril: Creating the Islamic Fundamentalist Threat).
Memang tidak mudah untuk menunjuk siapa yang memulai membangun
image antagonisme ini. Di satu sisi, sebagian kaum Muslimin memandang Barat sebagai koloni yang harus dilawan, dan juga sebaliknya pada sisi yang lain, Barat memandang kaum Muslimin sebagai ancaman yang harus dihegemoni. Kalau Bernard Lewis mempertanyakan, mengapa muncul kelompok-kelompok Islam yang anti Amerika atau Barat? Padahal menurut Lewis, jika alasan mereka adalah karena persoalan kolonialisme dan imperialisme, maka tidaklah tepat, sebab Amerika tidak pernah menjajah negeri Muslim. Sebetulnya yang harus menuntut dan paling anti Amerika, menurut Lewis, adalah Vietnam dan Kuba yang memang dijajah (Jainuri et.al. 2003: 328). Alasan Lewis ini naif, karena ia hanya melihat penjajahan dalam bentuk fisik, dan cenderung apologetik, karena sudah jelas bahwa apa yang dilakukan oleh Amerika dan para sekutunya (negera Barat) dalam menghegemoni Iraq misalnya, sudah sangat mencolok.
Menurut pengamat politik Timur Tengah, Riza Syihbudi, bahwa tudingan Amerika terhadap kelompok garis keras (Islam) sebagai teroris merupakan lagu lama yang selalu diulang-ulang. Setiap ada kekerasan dan teror selalu dikaitkan dengan orang-orang Arab, Timur Tengah dan Islam. Persoalan ini sudah menjadi opini publik yang dibangun melalui penguasaan media massa oleh kelompok Zionis Amerika (Jawa Pos, 16/09/2001). Bahkan kecurigaan itu kini sudah meluas ke Indonesia, sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim.
Hegemoni Barat terhadap Islam di Timur memang sudah sedemikian kuatnya, sehingga memasuki relung-relung kehidupan: ekonomi, politik, budaya dan agama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Binder (Khalid bin Sayyed, 1995: 5-6), bahwa tidak ada wilayah budaya yang mencemaskan mengenai ancaman penetrasi budaya dan peradaban, dan simbol sentral kegelisahan ini adalah Islam dengan otentisitas dan identitasnya.
Dalam konteks relasi antara peristiwa musibah kemanusiaan di WTC, AS. tidak tepat jika Islam selalu dikaitkan dengan teror dan kekerasan. Sebab persoalan ini harus dilihat secara makro dalam konstalasi politik global dunia dan khususnya Amerika yang memang dikenal sebagai negara adidaya yang penuh arogansi dan kesewenang-wenangan. Apakah tidak mungkin, jika pelaku sadis kemanusiaan yang terjadi di Amerika itu dilakukan oleh orang dalam sendiri yang memang kecewa terhadap kebijakan politik dalam negeri AS? Adilkah jika Amerika begitu mudah menuduh kelompok Islam, termasuk Indonesia? Sementara Amerika sendiri telah melakukan tekanan dan embargo terhadap negara lain seperti Iraq dan beberapa negara Timur Tengah lainnya? Jelas sikap Amerika ini merupakan sentimen Barat dan termasuk bagian dari imperialisme baru (
neo-imperialism).
__________________
*Penulis adalah Kandidat Doktor dalam Bidang
Pemikiran Modern Islam pada IAIN Sunan Ampel Surabaya, sekarang sedang menyiapkan Disertasinya tentang
Relasi Agama-agama.
REFERENSI
Bruinessen, Martin Van (1992).
Muslim Fundamentalism: Can it be Understood or Should be Explained a Way, Makalah.
Donohue, John J dan John L Esposito, (1982).
Islam in Transition: Muslim Perspective, New York: Oxford University
.
Eicklelman, Dale F. dan James Piscatori (1996).
Ekspresi Politik Muslim, Bandung: Mizan.
Huntington, Samuel P. (1993).
The Clash of Civilization. dalam
Foreign Affairs, vol. 72, 3, Musim Dingin.
Huntington, Samuel P. (2003).
Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam.
Jainuri, Ahmad, et.al. (2003) .
Terorisme dan Fundamentalisme Agama, Malang: Bayu Media,
Jauhari et.al. eds. (1999).
Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Modernisme, Surabaya, al-Fikr.
Jawa Pos, 16/ 09/ 200; 19/12/2003.
Jurgensmeyer, Mark, (1993).
The New Cold War: Religious Nationalism Confront the Scular State, University of California Press
.
L. Esposito, John (2002).
Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, Yogyakarta: Qalam.
Martin, Richard C., “Islam and Religious Studies: An Inroductory Essay” dalam Martin, Richard C. (ed.) .1985. Approaches To Islam In Religious Studies. The University of Arizona Press.
Marty E. dan Appelby, (1991).
Fundamentalism and the State. University of Chicago Press.
Ritzer, George (1988).
Contemporary Sociological theory (New York: Alfred A. Knopf).
Sayyed, Bobby S. (1997).
A. Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of Islamism, London & New York: Zed Book Ltd.
Sayyed, Khaled (1995).
Western Dominance and Political Islam, State University of New York Press.
Soroush, Abdul Karim (2002).
Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Bandung: Mizan.
Tibi, Bassam, (1998)
. The
Challence of Fundamentalism: political Islam and the New World Disorder, University of California Press.
Mochtar Pabotinggi, peny. (1986). Islam Antara Visi, Tradisi dan Hegemoni Bukan-Muslim, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nezar Patria dan Andi Arief (1999).
Antoni Gramsci: Negara dan Hegemoni Yogyakarta: Pustaka Pelajar.