Tanggal 23-26 Februari lalu, PB.NU menyelenggarakan Konferensi Cendekiawan Islam Internasional di Jakarta, tepatnya di hotel Hilton. Tujuan konferensi tersebut adalah hendak menegaskan kembali, bahwa Islam adalah agama yang membawa misi kedamaian dan ketenteraman dunia (rahmatan li 'l-'alamin), bukan agama kekerasan apalagi teroris sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian besar pihak Barat selama ini. Konferensi tersebut diikuti oleh 300 cendekiawan Islam dari 49 negara. Berikut ini laporan yang ditulis oleh M. Zainuddin, salah satu peserta konferensi mewakili akademisi.
-------------------------------------
Rasanya sangat beruntung bisa hadir dalam Konferensi Cendekiawan Islam Internasional ini, karena bisa bertemu dan berdialog dengan banyak pakar dunia. Bagi saya pertemuan ini ibarat pergi keliling dunia, bahkan lebih dari itu. Kenapa? Karena, belum tentu jika kita berkesempatan keliling dunia kemudian bisa bertemu dengan mereka. Konferensi ini dibuka oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan diantar dengan keynote address dari tiga perwakilan Negara (Grand Syeikh Al-Azhar, Mesir, Ketua OKI dan perwakilan dari Negara Barat). Konferensi dibagi dalam tiga komisi, yaitu komisi pendidikan dan perdamaian, komisi ekonomi, komisi informasi dan media. Hadir dalam kesempatan ini para pakar dan pengamat internasional, seperti: Mitsua Nakamura (Jepang), Greg Fealy (Australia), Muhammad Sammak (Libanon), Ashgar Ali Enginier (India), Ibrahim Moosa (Afrika Utara), Robert Hefner (Amerika), dan masih banyak lagi pakar dunia yang lain, termasuk Indonesia seperti Gus Dur Nurcholish Majid, Sahal Mahfuz, Syafii Ma'arif dan lain-lain.
Dalam semua sesi, intinya para peserta sepakat bahwa Islam adalah agama damai yang menghendaki terwujudnya perdamaian dunia, tegaknya keadilan, toleransi dan menganggap pluralisme sebagai sunnatullah, oleh karena itu harus disikapi dengan arif dan bijak, tanpa menimbulkan perpecahan umat. (Baca: Deklarasi Jakarta).
Hanya, yang menjadi perhelatan seru diantara peserta adalah soal berkembangnya wacana yang muncul dalam konferensi tersebut, misalnya soal diangkatnya isu gender, kepemimpinan wanita dan wacana Negara Islam. Di sinilah yang menarik dan menjadikan perdebatan seru di antara dua kubu yang berbeda. Hal ini bisa dimaklumi, karena diantara sekian peserta yang hadir memiliki latar belakang pendidikan dan kultur yang berbeda. Ada latar belakang pendidikan Barat yang cenderung liberal dan ada pula yang berlatarbelakang Timur yang cenderung normatif. Misalnya saja --yang sempat saya ikuti pada sidang komisi 1 (Islam: Education and Peace)-- Gus Dur dan Prof. DR.Candra Muzaffar (Malaysia) diserang keras oleh Prof. DR. A. Taskhiri (Iran), Prof. DR. Wahbah Zuhaili (Suriah), Prof. DR. Al-Thayyeb Zein al-Abidin (Sudan) dan beberapa delegasi dari Timur Tengah lainnya.
Sebagaimana Gus Dur dan Candra Muzaffar berpendapat bahwa "tidak ada konsep Negara dalam Islam", demikian juga tentang "pembagian waris yang tidak harus 2:1 bagi laki-laki dan perempuan. Ketika menyinggung soal inilah kemudian beberapa delegasi dari Timur Tengah menyanggah secara lantang. Mereka menyatakan, bahwa Islam adalah agama yang kulli, yang mengatur segala macam persoalan hidup manusia, termasuk kehidupan bernegara. Hal itu sebagaimana yang sudah ditunjukkan dalam praktik kehidupan Nabi dalam memimpin umatnya, dan seterusnya.
Ketika Gus Dur menceritakan praktik pembagian waris keluarganya yang dibagi sama rata antara laki-laki dan perempuan dan juga beberapa pengalaman keberagamaan orang Indonesia, salah satu delegasi dari Iran berkomentar: that's conflict with Islamic genuine teaching. Tapi dasar Gus Dur, ia selalu pandai berkelit, bahwa apa yang disampaikan adalah persoalan Islam sebagaimana yang dilihat dan dipraktikan di Indonesia. "Saya tidak menolak Negara Islam, tapi kalau orang tidak mau Negara Islam, apa ya dosa? Kan tidak!", tegasnya. Oleh sebab itu menurut Gus Dur, penting sekali mempelajari Islam dengan dua pendekatan, yaitu disamping studi normatif-doktriner, perlu pendekatan empiris (area studies), sosiologis dan cultural.
Sementara dalam sidang sesi komisi tiga (Islam: Information and Media) –saya kebetulan dapat kesempatan untuk memilih komisi, di mana ada presenter yang terkenal saya hadiri. Pada komisi ini misalnya, Prof. DR. Helmut Lukas (Austria) mengatakan bahwa ada dua hipotesis terkait dengan Barat vs Timur: pertama, hipotesis datang dari Islam yang mengatakan, bahwa Barat tidak memiliki hidayah hingga mereka berbuat salah; kedua, datang dari Timur, yang mengatakan bahwa terorisme adalah produk Islam. Dua hipoptesis inilah yang mengakibatkan konflik berkepanjangan. Oleh karena itu perlu ditegakkan keadilan. Martin Van Bruinessen (Belanda) juga menyarankan agar media Islam melakukan investigasi yang mendalam dalam pemberitaannya. Pada sesi komisi media ini mereka mengakui media Barat sangat mendominasi berita-berita dunia, sehingga seringkali posisi Islam terpojok dan termarjinalkan. Oleh sebab itu orang Islam perlu bekerja keras untuk menjadikan media Islam sebagai media yang profesional sehingga menjadi kekuatan penyeimbang Barat. Orang Islam harus menjadikan media bertaraf internasional, sebagai media yang membela kepentingan umat, objektif dan menyejukkan.
Dalam konferensi ini lahir keputusan-keputusan penting, termasuk Deklarasi Jakarta. Ada beberapa poin penting dari 19 poin deklarasi yang dikeluarkan di Jakarta antara lain:
1. Adanya komitmen untuk menegakkan kedamaian, keadilan, kebebesan, moderasi, toleransi, keseimbangan, musyawarah, persamaan;
2. Mengakui adanya pluralisme, karena pluralisme merupakan sunnatullah dan berkah Yang Maha Kuasa;
3. Mendukung sepenuhnya usaha-usaha peningkatan dialog antarumat beragama dalam mewujudkan kedamaian dunia;
4. Mengutuk keras tindakan terorisme dalam semua bentuk dan setuju bahwa kampanye melawan terorisme hanya dapat dilakukan melalui tindakan yang komprehensif dan seimbang;
5. Mendukung usaha-usaha yang dilakukan oleh berbagai segmen masyarakat internasional bagi pemeliharaan keamanan;
6. Mendukung semua upaya peningkatkan peran wanita dalam komunitas muslim sesuai dengan nilai-nilai Islam;
7. Terikat secara penuh dengan penguatan institusi pendidikan dan penetapan pelatihan serta riset yang dipusatkan bagi kepentingan umat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi;
8. Meningkatkan kerjasama antaraumat dari seluruh penjuru dunia terutama dalam mengembangkan kemampuan mereka di bidang pendidikan, ekonomi dan media pada semua level.