Menyambut forum Dialog IKAPMII 2000 TANTANGAN SDM NU ERA PEMERINTAHAN GUS DUR
Presiden Abdurrahman Wahid mengingatkan kepada warga NU terutama para Kiyainya untuk tidak berebut menduduki jabatan di pemerintahan. Peringatan presiden tersebut ini disampaikan setelah muncul banyak kalangan Kiai Nu yang telah mendaftarkan diri sebagai calon Bupati di beberapa daerah. Sementara kemampuan untuk memimpin pemerintahan masih dipertanyakan. Fenomena apakah ini? Apakah karena mumpungisme? Dumeh Presidennya Kiai lantas semua yang merasa Kiai harus ikut menduduki jabatan pemerintahan, tanpa harus mengukur kapabilitas?.
Di beberapa daerah fenomena Kiai merebutkan jabatan di pemerintahan sudah mulai merebak. Bahkan sudah ada yang terpilih, seperti Kiai Robbah di Gresik yang terus mendapat reaksi keras dari sebagian masyarakat. Di sini tantangan yang dihadapi NU semakin berat. Di sini pula NU diuji SDM-nya untuk memimpin negara. Sudah siapkah?.
Tantangan NU Ke Depan
Memasuki millenium ke-3 masalah sumber daya manusia (SDM) semakin memperoleh perhatian yang amat serius dari hampir seluruh warga di dunia. Pada millenium ke-3 juga dianggap para ahli sebagai puncak badai globalisasi yang menerpa kawasan Asia Tenggara. Kondisi seperti ini tentu akan berpengaruh terhadap akselerasi perubahan di seluruh lini kehidupan manusia: sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sementara di sisi lain sofistifikasi sains dan teknologi (IPTEK) juga menuntut kemampuan intelektual manusia untuk mampu bersaing menghadapi akselerasi perubahan dan globalisasi tersebut.
Para ahli melukiskan, corak kehidupan dalam globalisasi ini sebagai era informasi, persaingan bebas dan perubahan aspek ekonomi ; dari ekonomi industri menuju ekonomi informasi. Oleh sebab itu dalam menghadapi era tersebut perlu persiapan SDM yang berkualitas yang mampu menguasai IPTEK, mampu bekerja secara profesional dengan orientasi mutu dan keunggulan. Dengan kata lain, kita dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang dimaksudkan.
Memasuki Indonesia Baru dalam pemerintahan Gus Dur, Bangsa Indonesia juga dituntut untuk berbenah diri menuju tatanan pemerintahan baru yang demokratis dan terbuka, serta mampu bersaing dengan bangsa lain. Gambaran normatif-ideal manusia Indonesia Baru setidaknya menuntut tiga ciri utama, yaitui : manusia yang sadar IPTEK dan serba tahu (well-informed), manusia kreatif yang mamapu mengantisipasi perkembangan zaman; dan manusia yang bermoral serta peka terhadap persoalan-persoalan keadilan sosial.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama Indonesia juga akan masuk dalam salah satu negara industri di dunia, tentu proses untuk menuju kesana akan membawa persoalan tersendiri, misalnya: terancamnya akar budaya agraris yang telah sekian lama menjadi pola hidup sebagian besar rakyat, berubahnya ikatan dan fungsi sosial, terjadinya kesenjangan persepsi antara generasi muda dan tua serta bergesernya nilai-nilai sosial, dan seterusnya. Ini mengidealkan SDM yang handal.
Dalam kaitannya dengan Jam’iyyah NU, hingga kini persoalan sumber daya manusia masih menjadi persoalan yang sangat pelik. Tak hanya soal kultur, tetapi juga persoalan struktural. Terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur menjadi Presiden RI ke-4 memang cukup mengangkat posisi NU kepermukaan, yang sekaligus juga memberikan peluang sebagian warga NU masuk dalam jabatan strategis, yang selama ini sulit ditembus. Bahkan sekarang NU dikatakan sudah masuk negara (state). Ini memang luar biasa, pertanyaannya kemudian, apakah memang NU yang sedang masuk negara sekarang ini? Bukankah hanya sosok Gus Dur saja?. Barangkali inilah yang perlu kita dipikirkan bersama. Warga NU tidak perlu silau dengan fenomena politik yang ada sekarang. Justru tampilnya Gus Dur menjadi orang nomor wahid di Indonesia ini menjadi tantangan sekaligus cambuk dan harus di imbangi dengan kekuatan-kekuatan penyangga di bawah, yaitu warga NU itu sendiri. Masalahnya adalah, sudah siapkah mereka? Mampukah mereka bersaing dengan orang menempati posisi strategis dalam bersaing dengan orang lain untuk menempati posisi strategis dalam pemerintahan? dan bagaimana pula regenerasinya?
Sudah saatnya kini organisasi sosial keagamaan tersebut mengaksentuasikan diri pada persoalan-persoalan peningkatan umat, baik secara konseptual maupun sosial. Sekarang warga NU yang di bentuk dari pendidikan modern sudah semakin bertambah. Banyak para santri setelah menamatkan pendidikan di pesantren yang melanjutkan ke perguruan tinggi dan bahkan sampai ke jenjang S2 dan S3. Inilah aset yang nantinya menjadikan NU semakin besar, secara kualitas maupun kuantitas. Fenomena munculnya generasi baru intelektual NU sekarang sudah terlihat di kelas-kelas menengah kota. lahirnya para generasi pemikir muda yang bergabung dalam forum-forum kajian seperti LKiS di Yogyakarta, el-SAD di Surabaya, Gnosis, Salsabila, Averoes ketiganya di Malang, telah menandakan di mulainya era kebangkitan baru intelektual muda NU. Saya kira ini yang harus menjadi perhatian pemimpin NU sekarang, jika NU hendak menjadi organisasi sosial keagamaan yang besar, tidak seperti yang dilukiskan oramg selama ini, bahwa “NU seperti angsa” badannya besar tapi kepalanya terlalu kecil. Ibarat angsa tersebut, NU hanya besar masanya tetapi amat kecil peran tokoh-tokohnya di kelas elit pemerintahan.
Secara kuantitas NU adalah besar tetapi secara kualitas belum bisa disebut begitu. Oleh sebab itu dalam konteks Indonesia baru sekrang ini langkah yang harus segera diambil oleh para pemimpin NU adlah memprioritaskan program-program yang selama ini masih belum tergarap secara rapi- untuk tidak mengatakan terbengkalai. Program-program lembaga otonom yang dibentuk pada tahun 1985 pasca Muktamar Situbondo sudah saatnya untuk direalisasikan, seperti lembaga sosial mabarot, lajanah kajian dan pengembangan sumber daya manusia (lakpesdam), lajnah ta’lif wan-Nasr (lembaga penulisan dan penerbitan). Lembaga-lembaga tersebut selama ini masih belum nampak aktivitasnya dan belum digarap secara serius, terutam di tingkat daerah. Hal ini bisa dilihat masih menipisnya peran sosial NU di bidang pengabdian pada masyarakat selama ini.program pengentasan kemiskinan, pengembangan rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lembaga pendidikan tinggi masih kurang mendapat perhatian yang cukup serius. Kalaupun ada itu belum di menej secara profesional. Itulah kekurangan-kekurangan Nu yang harus di tuntaskan untuk memasuki Indonesia baru dan pemerintahan Gus Dur ini. Hal ini tentu membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan seksligus memiliki sikap intregitas yang tinggi. Untuk mengantisipasi akselerasi perubahan budaya di masa depan. lajnah ta’lif wan- nasr sudah saatnya mendapat prioritas, mengingat peran pers dan informasi sangat dominan sekali dalam dunia modern dan global ini.
Sekarang NU sedang mendapat ujian berat dari masyarakat dengan tampilnya Gus Dur menjadi Presiden RI yang ke-4 ini. Jika Gus Dur gagal membawa Indonesia kedalam pemerintahan yang diidam-idamkan oleh masyarakat, maka NU juga akan mengalami nasib yang sama.
Masalanya sekarang, bagaimana seharusnya Kiai bersikap dalam politik praktis? Lepas dari perdebatan konseptual soal poliiterpetasi terhadap relasi antara Islam dan politik, seharusnya Kiai tetap mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar. tentu dengan caranya sendiri sesuai degan kemampua yang ia miliki. Jika tidak mampu melalui kekuasaan, ya dengan berda’wah atau menulis dan jika keduanya tetap tidak mampu maka melalui gerakan diam, sebaga bentuk protes terhadap kemungkaran, meski yang terakhir ini disebut oleh Nabi selemah-lemahnya Iman(adh’af al-iman).
Sebaliknya, Warga NU yang tidak terlibat pada partai politik lebih baik mengkonsentrasika diri sebagai kelompok pengkaji ilmu (tafqquh fiddin), misalnya para kiai di pesantren, dengan tetap mendidik para santrinya menjadi manusia saleh, ber-amar ma’ruf nahi munkar dan mengkonsetrasikan diri pada peningkatan sumber daya manusia, tidak perlu Kiai ikut-ikutan merebut menjadi kepala daerah kalau memang bukan tempatnya. Bukankah Nabi pernah menyampaikan, jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang buka ahlinya, maka akan hancur? (Iza wussida’l-amru min ghairi ahlihi fantazir as-sa’ah).
Amar ma’ruf nahi munkar sebetulnya tugas yang paling utama seorang Kiai dalam mentransformasikan sosial. Di dalamnya menyangkut persoalan penegakan keadilan, penegakan hak-hak asasi manusia dan demokratisasi, serta perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan dan segala bentuk tirani dan kezaliman. Di sinilah Kiai seharusnya berperan. Jika konsep in di pahami, saya kira tidak ada lagi seorang “Kiai” yang menjadi tangan panjang penguasa yang korup, yang disebut al-Ghozali sebagai ulama su’ (ulama’ buruk).
Komitmen Kiai terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan harus tetap di jaga sebagai bentuk dari sikap ketundukan terhadap Tuhan. Dengan demikian berpolitik-- kalau boleh disebut demikian -- adalah menegakan nilai-nilai moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai inilah yang harus tegak didalam setiap masyarakat sehingga jauh dari praktek-praktek KKN. Saya kira Gus Dur benar ketika menegaskan bahwa Islam akan menjadi besar jika mengutamakan politik sebagai moralitas, bukan politik sebagai institusi dan kepentinganpribadi (prisma, 1995:69). Dan itulah yang sesungguhnya diemban Nabi dalam risalahnya. Apapun namanya yang di praktekan Nabi dalam memimpin umat di Madinah sebetulnya tidak lepas dari urusan penegakan moral tersebut.
(Author)