Filsafat sebagai pengetahuan tertua, bahkan disebut sebagai induk segala ilmu (
mother of sciences) terus bergerak maju untuk menyelediki hakikat yang ada (
Being). Sebagai pengetahuan, filsafat berupaya memperoleh hakikat kebenaran melalui pemikiran rasional, mendalam sampai ke akar-akarnya (baca: radikal).
Berbeda dengan ilmu (
science), yang terbatas wilayah kajiannya pada aspek manusia dan alam, maka filsafat meyelidiki ruang jelajah yang lebih luas, mencakup: Tuhan, alam dan manusia. Jika ilmu hanya menyelidiki hal-hal yang bersifat fisik-empirik, maka filsafat menyelidiki hal-hal yang bersifat metafisik-transenden.
Sebagai makhluk yang dianugerahi potensi akal oleh Tuhan, manusia tidak pernah berhenti untuk berpikir, dan akal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Oleh sebab itu hakikat keberadaan (wujud) manusia adalah karena pemanfaatan akal tersebut. Itulah seperti yang dikatakan oleh Descartes, bahwa “aku ada karena aku berpikir” (
cogito argo sum).
Dalam pandangan Islam, perintah untuk mendayagunakan potensi akal banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Al-Qardhawi (1989:1-2) menyebutkan, bahwa kata
‘aql dan yang berkaitan dengannya disebtutkan dalam al-Qur’an mencapai 800 kali (Bandingkan denagn Fuad Abdul Baqi, tt:469-481).
Manusia sebagai makhluk yang berakal tidak selalu puas dengan persoalan-persoalan yang berada di sekelilingnya, bahkan apa yang ada di balik yang nampak pun selalu ingin diketahui dan dipertanyakannya. Sikap selalu ingin tahu dan keinginan tahunya inilah yang kemudian melahirkan pemikiran dan rumusan-rumusan teori pengetahuan. Manusia tidak hanya sekadar ingin tahu persoalan alam sekelilingnya dan hakikat manusia itu sendiri, tetapi lebih dari itu ia ingin tahu siapakah Tuhan pencipta alam dan manusia itu.
Sejak berabad-abad yang lalu manusia sudah mempertanyakan hakikat yang ada (
bieng=
wujud): Apakah hakikat yang ada itu? Thales misalnya, seorang filosuf Yunani yang pertama kali mempertanyakan dasar dari alam dan segala isinya. Dia mengatakan, bahwa asal segala sesuatu adalah air. Sementara menurut Anaximandros, bahwa asal segala sesuatu adalah
apeiron (yang tak terbatas) yang disebabkan oleh penceraiana (
ekrisis).
Teks-teks keagamaan yang berfungsi sebagai dasar kepercayaan jarang sekali menguraikan masalah ketuhanan, baik secara filosufis, apalagi ilmiah, tak terkecuali Islam. Secara tegas al-Qur’an memang menjelaskan sifat-sifat Tuhan, namun keterangan tentang Tuhan tersebut sering menimbulkan berbagai penafisran yang berbeda-beda.
Meski al-Qur’an tidak memberikan banyak penjelasan tentang Tuhan, akan tetapi masalah ketuhanan dalam hubungannya dengan zat dan sifat-Nya telah menjadi pokok pembahasan yang ekstensif di kalangan para filosuf dan mutakallimin. Bahkan, persoalan-persoalan yang seharusnya tidak usah dipikirkan oleh manusia, seperti persoalan zat Tuhan, ruh dan soal metafisik lainnya justru menjadi bahan perdebatan yang berkepanjangan.
Penjelasan nabi yang berbunyi
: Tafakkaru fi khalqillahi wala tafakkaru fi zatihi (Berpkirlah tentang penciptaan Allah dan jangan berpikir tentang zat-Nya), dan firman Tuhan yang berbunyi:
Yasalunaka ‘an ar-ruh Qul ar-ruhu min amri rabbi (Mereka bertanya tentang ruh, katakan (wahai Muhammad): Ruh adalah urusan Tuhanku), tak menjadi penghalang bagi para filosuf maupun para mutakallimin untuk membicarakannya. Boleh jadi larangan nas di atas menurut mereka sebagai sesuatu yang bersifat lunak, artinya menyangkut soal metode, yaitu supaya manusia dalam mengenal Tuhan melalui fenomena alam dan ciptaan-Nya (induktif, fenomenologis), tidak langsung melalui zat-Nya. Tetapi juga apa salahnya jika langsung memikirkan zat Tuhan untuk mengagungkan Tuhan itu sendiri? Atau boleh jadi mereka berdalih bahwa Tuhan sendiri juga berfirman:
Wa iza saalaka ‘ibadi ‘anni fa inni qarib..., jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka aku dekat...
Jika manusia telah sanggup membicarakan tentang Tuhan sebagai Sang Pencipta, maka tentu manusia lebih sanggup lagi untuk membicarakan ciptaan-Nya, yaitu manusia dan alam. Kenapa Tuhan menciptakan alam? Persoalan Tuhan, manusia dan alam adalah menjadi bahan kajian filsafat.
Menurut Mukti Ali (dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim, 1989:42), Tuhan (teologi), alam (kosmologi) dan manusia (antropologi), merupakan elemen pokok yang harus diketahui dalam Islam dan juga agama-agama lain. Tiga persoalan tersebut merupakan spikulasi metafisik. Relasi antara Tuhan dan manusia adalah sangat penting bagi hidup dan kehidupan (lihat juga Musa Asy’arie dalam Irma Fatimah
, ed., 1992:16).
Demikian juga relasi antara Tuhan dan alam sangat penting untuk dipahami karena salah satu sifat Tuhan adalah
rab al-’alamin. Alam diciptakan Tuhan secara teleologis dirancang untuk tumbuh dan berkembang ke arah kesempurnaan, sebagaimana firman-Nya: “
Tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta segala yang ada diantara keduanya untuk bermain-main. Kami ciptakan keduanya untuk tujuan tertentu, tetapi (sayang) sebagian besar mereka tidak memahaminya”. Maksud “tertentu” dalam ayat ini adalah tumbuh menuju kondisi yang lebih baik dan menunju kesempurnaan (lihat Ashgar Ali, 1993:36).
Sebagaimana keterangan Al-Kindi, ketika para filosuf membahas tentang Tuhan, sebetulnya mereka ingin menjelaskan tentang keesaan mutlak-Nya . Tuhan adalah unik, tidak mengandung makna
juz’i (particular) dan tidak pula mengandung makna
kulli (
universal). Tuhan semata-mata satu dan selain-Nya mengandung makna banyak (Harun Nasution, 1979:21).
Bagi para filosuf Muslim, Tuhan adalah Wujud Murni, sedangkan transendensi rantai wujud dan tatanan eksistensi kosmik dan dunia adalah tergantung (kontingen) (Hoessein Nasr, 1996:40).
Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Bekker (1984), bahwa terdapat perbedaan persepsi antara para filosuf muslim (dalam hal ini Ibn Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd) mengenai konsep Tuhan alam dan manusia.
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka permasalahan yang hendak ditelaah dalam buku ini adalah menyangkut konsep dan pandangan para filosuf muslim mengenai: Tuhan, alam dan manusia. Kemudian yang dimaksud dengan para filosuf muslim di atas adalah, sejumlah tokoh filsafat Islam yang memiliki konsep atau pandangan tentang masalah yang dimaksud (Tuhan, alam dan manusia). Para filosuf muslim dimaksud adalah: Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd. Pemilihan objek ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa ke lima filosuf tersebut mewakili dua wilayah: barat dan timur. Al-Kindi, Al-Farabi dan Al-Ghazali sebagai wakil dari filosuf muslim di dunia timur, sementara Ibn Thufail dan Ibn Rusyd mewakili filosuf muslim dunia Barat.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode
deskriptif-analitik, atau kalau menurut istilah Jujun metode
analitis-kritis dengan sumber data kepustakaan yang diperoleh melalui kitab-kitab atau tulisan-tulisan para ahli yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Data tersebut ada yang bersifat sekunder dan ada yang primer. Dalam metode analitis-kritis dimaksud adalah studi analitis yang bersifat membandingkan, menghubungkan dan mengembangkan model.
Sebagaimana yang dijelaskan Jujun, bahwa metode
analitis-kritis menempuh lima langkah:
pertama, mendeskripsikan gagasan primer yang menjadi objek penelitian;
kedua, memberikan interpretasi;
ketiga melakukan kritik terhadap interpretasi yang dihasilkan;
keempat, melakukan studi analitik dengan cara membandingkan, menghubungkan dan pengembangan model rasional;
kelima, menyimpulkan hasil penelitian (lihat Jujun dalam Mastuhu,
ed., 1998: 45-47 dan bandingkan dengan Bakker, 1984).
Karena sumber data diperoleh dari sumber kepustakaan (
library research), yang berupa data-data verbal, maka analisisnya menggunakan analisis sesuai dengan data yang diperoleh, yaitu analisis yang menekankan esensi pemaknaan
(content-analysis).
Sistematika penulisan ini diatur sebagaimana berikut: Bab pertama: pendahuluan, Bab kedua tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan Filsafat Islam; Bab ketiga: pandangan para filosuf Muslim tentang Tuhan, manusia dan alam; dan bab keempat: penutup/ kesimpulan.