PENDIDIKAN AGAMA BERWAWASAN KERUKUNAN
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, kita mengidealkan sebuah tatanan masyarakat baru. Gambaran “Masyarakat Baru” dimaksud adalah masyarakat yang mampu mengantisipasi perkembangan zaman dan hidup dalam suasana demokratis dan keterbukaan dengan asas penegakan terhadap harkat dan martabat setiap manusia. Kondisi tersebut menuntut adanya suasana kenegaraan dan kemasyarakatan yang harmonis, tidak diwarnai oleh totalitarianisme dan anarkhisme dari kedua belah pihak, baik pihak penguasa maupun pihak yang “dikuasai” (baca: masyarakat sipil).
Harapan dan cita-cita untuk mewujudkan “Indonesia Baru” yang demokratis dan terbuka dimakasud memang sekarang belum bisa dirasakan sepenuhnya oleh bangsa ini, baik dalam pemerintahan Habibi, Gus Dur maupun Megawati sekarang ini. Bahkan yang tampak adalah maraknya kerusuhan, ketegangan dan konflik yang bernuansa SARA di mana-mana.
Hingga saat ini kita masih terus dihadapkan pada persoalan yang melilit bangsa: krisis ekonomi, krisis sosial, dan krisis moral. Budaya kekerasan, korupsi, kolusi, nepotisme dan otoritarianisme dalam pemerintahan Orde Baru selama kurang lebih tiga dasawarsa telah mengakar sedemikian rupa, sehingga rasanya berat untuk memberantasnya. Berbagai persoalan, baik sosial, ekonomi, politik maupun budaya begitu menumpuk dan terpaksa harus diwarisi dan menjadi tanggungjawab pemerintahan baru. Tak heran jika pemerintahan baru tersebut kebingungan mengatasi persoalan yang menumpuk itu. Dari mana harus memulai pekerjaan dan perbaikan itu. Karena belum sampai tuntas menyelesaikan persoalan yang satu muncul kemudian persaoalan lain yang tak kalah rumitnya. Sementara diantara elit politik kita terus saling bertikai demi kepentingan pribadi dan golongan masing-masing, demikian pula para elit partai Islam pun ikut larut dalam konflik internal, sehingga suhu politik bukan semakin sejuk, tetapi malah semakin memanas dan tegang yang pada gilirannya melahirkan kondisi semakin tidak menentu dan tidak menguntungkan bagi upaya pemulihan krisis, terurtama dalam bidang ekonomi, keamanan dan ancaman disintegrasi.
Kerusushan dan teror bom di berbagai daerah terus bergolak seakan tidak mengindahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengadilan oleh massa kepada salah seorang yang dianggap berbuat salah sudah sedemikian kerasnya dan membudaya. Tak heran jika kemudian seorang yang dituduh pencopet dan dukun santet harus mengalami kematian yang tragis, dianiaya dan dibakar ramai-ramai tanpa beban dan rasa kemanusiaan. Sadis benar!
Memang, kita pun menyadari bahwa kecenderungan untuk main hakim sendiri yang dilakukan masa akhir-akhir ini akibat tidak adanya kepastian hukum di negara kita ini. Masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan aparat penegak hukum dan lembaga peradilan yang selama ini begitu korup dan penuh permainan, sehingga ribuan kasus tindak kejahatan tak pernah terselesaikan, sementara masyarakat menunggu ada penyelesaian secara adil dan transfaran.
Ketegangan dan kerusuhan yang bernuansa agama di beberapa daerah di Indonesia juga terus berlanjut yang mengakibatkan hancurnya tempat-tempat ibadah, seperti masjid, mushalla, gereja dst. Fenomena di atas menunjukkan adanya kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein). Padahal secara historis, bangsa Indonesia telah memiliki modal nasionalitas yang amat berharga, seperti: kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa (agama), keutuhan wilayah negara, bahasa kesatuan, konstitusi dan falsafah negara, sistem pemerintahan yang meliputi seluruh tanah air, jajaran militer sebagai tulang punggung ketertiban dan keamanan nasional.
Lantas apa yang harus kita lakukan sebagai umat beragama? Bagaimana peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Bagaimana pendidikan agama kita? Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis antarumat beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimaksud.
Secara umum, peranan agama dalam kehidupan manusia dapat dilihat dari dua aspek. Pertama adalah aspek konatif (conative aspects). Aspek ini berkaitan dengan kemampuan agama dalam menyediakan sarana kepada masyarakat dan anggota-anggotanya untuk membantu mereka menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Kedua, aspeknya yang bersifat kognitif (cognitive aspects). Aspek ini terkait dengan peranan agama dalam menetapkan kerangka makna yang dipakai oleh manusia dalam menafsirkan secara moral berbagai kesukaran dan keberhasilan pribadi mereka; juga sejarah masyarakat mereka di masa yang silam dan keadaannya di masa kini, (E.K. Nottingham, 1985:107-108).
Pemahaman terhadap peranan agama semacam itu dapat ditemukan batu pijakannya dalam berbagai sumber suci agama-agama semit. Dalam Islam misalnya, al-Quran tidak hanya mewajibkan kepada umatnya untuk melakukan ibadah-ibadah ritual-ceremonial yang bisa memberikan kelegaan emosional dan spiritual, tetapi juga membuka ruang penafsiran intelektual guna membantu manusia dalam mendapatkan makna dari seluruh pengalaman hidupnya. Peranan Islam seperti ini tampak dengan jelas dalam hampir setiap ibadah ritualnya selalu terkandung apa yang biasa disebut dengan pesan moral. Bahkan begitu pentingnya pesan moral ini, “harga” suatu ibadah dalam Islam dinilai dari sejauh mana pesan moralnya bisa dijalankan oleh manusianya. Apabila suatu ibadah tidak bisa meningkatkan moral seseorang, maka ibadahnya dianggap tidak ada maknanya. Oleh karena itu, ketika seseorang melakukan hal-hal yang terlarang secara fiqh dalam suatu ibadah, maka tebusannya adalah menjalankan pesan moral itu sendiri. Misalnya, pada bulan puasa, sepasang suami istri berhubungan intim pada siang hari, maka kifarat (dendanya) ialah memberi makan enam puluh orang miskin, karena salah satu pesan moral puasa ialah memperhatikan orang-orang yang lapar di sekitarnya.
Aspek kognitif peranan agama semacam ini juga bisa dijumpai dalam agama Kristen. Narasi tentang Ayub dalam Bibel misalnya—atau Nabi Ayyub dalam al-Quran—merupakan simbol persoalan kemanusiaan yang mengandung ajaran moral sangat dalam. Kesungguhan Ayub dalam menjalankan kewajiban sosial dan keagamaan memang tidak serta merta menjadikannya bahagia, sebaliknya menyebabkan dia memperoleh cobaan penderitaan. Tetapi kesungguhan Ayub dalam menghayati niali-nilai sakral yang terdapat dalam perintah-perintah Tuhan bukan hanya menyebabkan dia bertahan atas penderitaan tersebut, namun juga membantu dia menemukan makna dari seluruh pengalaman hidupnya. Sehingga, ketika Ayub minta keterangan kepada Tuhan tentang apa yang terjadi, bukan keadaan dirinya yang diutamakan tetapi justru nasib buruk yang menimpa seluruh umatnya yang dikedepankan. (E. K. Nottingham, 1995:108-109).
Pesan agama yang terpantul dari kisah tentang Ayub itu adalah, bahwa ketidaksamaan nasib untung dan malang manusia tidak dapat dijelaskan begitu saja menurut ukuran baik buruk manusiawi. Tetapi harus dilihat pula dari segi adanya penilaian-penilaian Tuhan di dalamnya. Di situlah terletak (salah satu) fungsi agama yang penting, yaitu “memberikan makna moral dalam pengalaman-pengalaman kemanusiaan”. Makna moral di sini paralel dengan apa yang dikatakan oleh Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1993 : 304), bahwa semua agama besar menekankan kebajikan seperti kejujuran dan cinta sesama. Kebajikan seperti ini sangat penting bagi keteraturan perilaku masyarakat manusia, dan agama membantu manusia untuk memandang serius kebajikan seperti itu.
Persoalan makna agama sebagaimana tergambar pada ajaran Islam dan Kristen di atas merupakan persoalan makna agama dalam pengalaman individual. Secara esensial, persoalan yang sama bisa juga ditemukan pada level masyarakat secara keseluruhannya. Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, serta persoalan kekuasaan merupakan rahasia umum dalam kehidupan masyarakat manusia. Fenomena semacam ini secara sosiologis sangat bisa mendorong timbulnya penafsiran-penafsiran moral terhadap tertib sosial yang ada. Pada situasi dan kondisi tertentu tidak jarang dapat menimbulkan konflik-konflik sosial, apabila interpretasi yang dilakukan oleh masing-masing anggota masyarakat tidak mencapai titik temunya.
Atas dasar pemahaman seperti itu, persoalan makna agama dalam pengalaman masyarakat menjadi lebih unik dan rumit dibanding pada pengalaman individu. Apabila suatu masyarakat mampu memahami peranan agama dalam membantu menafsirkan secara moral pengalaman hidupnya secara tepat, maka agama akan hadir sebagaimana fungsinya. Sebaliknya, jika mereka salah dalam melakukan interpretasi-interpretasi tersebut maka agama bisa menjadi lahan subur bagi perkembangan konflik di tengah-tengah masyarakat.
Konflik atau intoleransi sosial yang diakibatkan oleh salah penafsiran terhadap ajaran agama itu sedikitnya ada dua bentuk. Pertama, konflik intra-agama atau yang lazim dengan sebutan konflik antarmazhab. Konflik semacam ini biasanya bermuara dari perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama di antara sesama pemeluk suatu agama. (Dadang Kahmad, 2000:149); Kedua, konflik antar-agama atau disebut juga konflik antarumat beragama. Konflik seperti ini karena skalanya bisa lebih luas dari yang pertama, maka faktor-faktor lainnya pun juga memiliki peran yang tidak kecil. Misalnya, faktor ekonomi, politik, mekanisme dakwah, struktur sosial dan lain sebagainya. Pertikaian antarumat beragama di Pasuruan dan Situbondo (1996) atau di Ambon dan Maluku Utara pada tahun-tahun terakhir ini dan Poso baru saja, adalah contoh tragedi yang sarat dengan muatan politis di samping juga kuat muatan agamanya.
Dominasinya alur keberagamaan yang formalistik dan verbalistik juga menjadi problem konflik antarumat beragama. Perjuangan untuk menegakkan sabda Tuhan lebih banyak diwujudkan dengan membangun tempat ibadah yang mahal dan megah serta tempat-tempat da’wah yang eksklusif lengkap dengan simbol-simbol kebesaran agama masing-masing sebagai bagian dari gebyar agama. Indikator kemajuan agama diukur dengan kuantitas: berapa jumlah tempat ibadah (masjid, kuil. dan sterusnya), berapa orang yang hadir dalam sembahyang, berapa orang yang telah haji, dan seterusnya. Seolah-olah dengan kesyahduan beribadah dan melakukan ritus-ritus keagamaan sudah terpenuhilah tugas agama dalam kehidupan ini. Ibadah dipersempit pengertiannya dan ritus-ritus keagamaan menjadi inti kehidupan beragama.
Oleh sebab itu menurut Shahab, jika setiap penganut agama mempertahankan kebenaran sejati setiap agama, bukan simbol, maka tidak akan terjadi konflik. Sebab bila realitas Tertinggi pada hakikatnya adalah Satu, maka secara otomatis prinsip-prinsip filosofis yang digunakan semua agama juga satu. Oleh sebab itu menurut Shahab, dalam masalah perbandingan agama hendaknya yang dijadikan patokan adalah perspektif filosofis, bukan sosiologis, tanpa terjebak oleh simbol-simbol agama. Ketika ‘allamah Thabathaba’i berbicara tentang agama pada level filosofis, ia tidak pernah bersikap permissif, tetapi ketika kajiannya mulai menyentuh dataran sosiologis ia sangat toleran, begitu pula muridnya, Muthahhari.
Sudah saatnya umat beragama mengkaji ajaran agamanya secara benar dan kritis, tidak terjebak pada persoalan-persoalan yang formalistik dan bersifat simbol belaka dan memulai mengorientasikan pendidikan pada substansi ajarannya yang penuh perhatian terhadap persoalan kemanusiaan dan akhlaq- karimah seperti: keadilan, kejujuran dan kedermawanan terabaikan.
Oleh sebab itu salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama di Indonesia adalah: pertama, perlunya reorientasi pendidikan agama yang berwawasan pada kerukunan umat dan keramahan (rahmatan lil ‘alamain); kedua, upaya peningkatan kualitas pendidikan pada masing-masing umat. Pendidikan dimaksud adalah pendidikan yang melahirkan akhlak karimah dengan indikator: adanya sikap jujur, tenggang rasa, dan cinta-kasih antar sesamanya. Bukan pendidikan yang hanya sekadar mengedepankan intelek, tetapi kemudian melahirkan manusia-manusia korup. Reorientasi pendidikan agama di atas sudah saatnya dimulai dari TK hingga perguruan tinggi dengan merubah kurikulum kita selama ini. ***
____________
*Penulis adalah aktivis Studi Intensif Islam-Kristen di Malang.
(Author)