PEREMPUAN DALAM HEGEMONI IDEOLOGI
Dari dulu hingga sekarang perempuan selalu memiliki nasib yang serupa, dipasung dan terperdaya. Sampai-sampai sudah menjadi Tuhan pun (Dewi) --dalam mitologi Yunani— perempuan masih menjadi pesuruh Tuhan laki-laki (Dewa). Dalam kepercayaan bangsa Yunani kuno, Dewi adalah pesuruh Dewa.
Sekarang, kalaupun ada pembelaan terhadap nasib perempuan, sejauh ini masih sebatas pada tingkat wacana, atau kalau menurut Ita F Nadia --dari Komisi Nasional Antikekerasan (Komnas Perempuan)-- masih bersifat parsial. Gerakan feminisme, pusat-pusat studi wanita atau gender masih pada tingkat mencari rumus dan konsep tentang “posisi perempuan”, baik dalam kajian normatif maupun sosial-budaya, sementara pada saat yang sama kekerasan dan segala bentuk eksploitasi lainnya terhadap kaum perempuan ini terus berlangsung, baik di tingkat komunitas modern-kota maupun tradisional-pedesaan. Eksploitasi kaum perempuan ini lebih terlihat pada para pekerja buruh di perusahaan-perusahaan. Ironisnya, persoalan yang sangat krusial ini masih belum dilihat sebagai persoalan mendasar yang seharusnya menjadi batu pijak bagi perjuangan perempuan saat ini.
Lantas, apa penyebab kekerasan terhadap perempuan itu? Bagaimana negara menyikapi persoalan kekerasan di masyarakat, khususnya kekerasan terhadap perempuan? Bagaimana peran agama?
Peran Negara dan Agama
Sejalan dengan pemikir feminis, Silvia Federici dan Joke Schrijvers, Ita F. Nadia menengarai, bahwa seluruh tindak kekerasan dalam masyarakat khususnya perempuan tak lepas dari berbagai kebijakan negara-negara yang secara simbolis –melalui utang dan ketergantungan bentuan dari lembaga multilateral—telah menggadaikan kedaulatannya (Kompas, 26/11/2001). Di sinilah justru negara memiliki peran eksploitatif dan hegemonik terhadap posisi perempuan yang tidak menguntungkan itu. Tapi pada saat yang sama sebenarnya negara juga memiliki peran melakukan transformasi sosial perempuan dengan mengubah sikap dan pandangan ideologisnya, sehingga perempuan menjadi bagian dari komunitas sosial yang penting di tengah-tengah percaturan global-dunia. Pemimpin negara tidak hanya sekadar mampu melakukan transformasi sosial-perempuan, melainkan wajib melakukan itu sebagai bentuk komitmennya terhadap warga-bangsa dan penegakan nilai-nilai keadilan serta demokratisasi.
Problem perempuan dan tercampaknya posisi mereka kedalam jurang ketidakadilan adalah dipertajam dengan kemajuan iptek dan derasnya arus modernisasi, sehingga peran-peran mereka dalam sektor publik semakin terjauhkan dan marjinal. Dalam konteks inilah Ita F Nadia melihat ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan Indonesia semakin tertindas: pertama, dimulai dari Revolusi Hijau. Dengan alat-alat mekanis pertanian, pupuk kimia dan bibit padi baru yang harus dibeli, disamping telah menghilangkan tradisi bawon dan maro masyarakat desa, juga telah melemparkan perempuan dari sektor pertanian; kedua, proses industrialisasi di Asia telah melahirkan negara-negara industri baru (NICs), seperti: Korea, Taiwan dan Singapura yang sangat ekspansif dan pragmatis; ketiga, ideologi negara melalui Panca Dharma Wanita yang mendefinisikan perempuan hanya sebagai istri dan ibu rumah tangga dan sebagai fungsi kompelementer laki-laki dalam bekerja (sekadar menambah penghasilan suami), telah merasuk dalam masyarakat; keempat, pengaruh ideologi global. Dalam hal ini mazhab PBB tentang peran perempuan dalam sektor publik dalam Women in Development (WID) yang hanya memberikan privilise kepada sekelompok kecil orang membuat kesenjangan antara si kaya dan si miskin, termasuk kesenjangan bagi laki-laki-perempuan; kelima, sistem kawasan berikat (Export Procesing Zone, EPZ), membuat pelanggaran HAM buruh semakin merajalela, terutama eksploitasi besar-besaran di pihak perempuan. Hal ini telah terjadi pada perempuan-perempuan buruh Filipina yang ditawari hadiah oleh perusahaan internasional jika bersedia disterilisasi demi mengejar target ekspor.
Masih ada lagi faktor lain yang menyebabkan ketidaberdayaan perempuan selama ini, yaitu dalam konteks ideologi agama. Perempuan seringkali ragu untuk melawan ketidakadilan, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun suaminya sendiri karena doktrin dan pemikiran agama yang dianggap sakral dan tidak boleh dilawan. Keraguan itu muncul akibat banyaknya doktrin yang sebenarnya bersifat spikulatif, namun cukup banyak membuat perempuan tunduk dan pasrah.
Dalam seminar internasional tentang Islam, Feminism and Women’s Right di Leiden awal Nopember 2001, Lies Marcoes-Natsir melaporkan, bahwa di beberapa belahan dunia, perempuan muslimah juga mengalami perlakuan yang sama (tertindas) yang disebabkan oleh cara pandang agama yang bias gender (Kompas, 26/11/2001).
Di Indonesia misalnya, tak sedikit kitab klasik/kuning yang berisi ajaran serupa ini. Salah satunya yang terkenal adalah kitab Uqud al-Lujain yang ditulis oleh Imam Nawawi, seorang ulama’ Banten pada abd 19. Kitab ini sampai sekarang masih menjadi kitab utama sejumlah pesantren, bahkan sangat disakralkan. Padahal kitab tersebut banyak memuat hadis-hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitasnya (dhaif).
Persoalan lain yang lebih mendasar terletak pada pemilahan secara dikotomis antara peran laki-laki dan perempuan yang secara kokoh dikontraskan pada peran publik dan privat. Baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadis dan ajaran para ulama’ pemilahan peran dan lokus secara dikotomis ini berlaku sangat ketat. Perubahan peran perempuan masuk ke sektor publik seperti menjadi pemimpin negara atau pencari nafkah seringkali dianggap sebagai “penyimpangan” atau masuk dalam kategori “darurat”.
Jalan Keluar
Paling tidak ada dua masalah dasar yang perlu segera kita benahi dalam rangka menekan bentuk eksploitasi perempuan ini. Pertama adalah menyangkut ideologi negara, yaitu bagaimana negara yang memiliki peran melindungi warganya mampu dan mau melakukan kepemihakannya; kedua; rekonstruksi pemahaman agama secara tepat dan berkeadilan, melalui interpretasi teks sejalan dengan kemaslahatan umat (baca: kontekstualisasi ajaran).
Bagaimana negara memposisikan perempuan dan memberikan peluang yang sama (tidak dibedakan dengan kaum laki-laki), misalnya dalam ruang publik/politik. Sampai saat ini masih ada image dari sebagian besar komunitas laki-laki kita, bahwa perempuan masih berperan di balik laki-laki (subordinate). Kita juga mafhum, bahwa terangkatnya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI sekarang ini lebih sarat dengan pertimbangan politisnya, ketimbang capabilitas-nya. Ini memang tantangan bagi perempuan, artinya, perempuan memang perlu membuktikan kemampuannya jika diberi peluang untuk itu.
Dalam konteks Indonesia sekarang, Megawati sebagai representasi perempuan Indonesia tidak hanya dituntut untuk memberikan kesempatan dan membuka ruang gerak mereka agar mampu berperan dalam publik, tetapi dalam setiap kebijakannya --termasuk kebijakan ekonomi luar negerinya-- harus memperhatikan aspek keadilan perempuan secara khusus. Ini penting, karena selama ini aspek keadilan perempuan menjadi masalah, termasuk kebijakan tenaga kerja wanita (TKW) yang berdampak pada perlakuan yang tidak manusiawi terhadap perempuan, baik dari pihak kita sendiri maupun pihak luar. Selain itu, dominasi kultur patriarkhi yang juga menghambat kiprah perempuan secara lebih luas, juga perlu segera ditinggalkan melalui pendidikan dan berbagai penyuluhan pada tingkat SD sampai pada perguruan tinggi. Karena melalui pendidikan, seseorang akan mudah dan cepat memperoleh mobilitas sosialnya. Negara memang memiliki peran besar sekaligus tanggung jawab dalam melakukan “pemberdayaan” perempuan, bukan sebaliknya “pemperdayaan” (baca: eksploitasi). Karena terhadap masalah ini negara memiliki peran ganda: memperdaya atau memberdaya. Di sini maka perlu ada good will dan sekaligus political will negara dalam rekayasa sosialnya.
Dalam konteks ideologi agama, perlu ada gerakan pemaknaan ulang (redevine) terhadap teks. Pemaknaan ulang ini penting, sebab persoalan aktualisasi perempuan yang mengganggu selama ini adalah persoalan doktrin pemikiran agama (yurisprudensi Islam, fiqh) dan tafsir al-Qur’an yang dianggap baku. Padahal segala jenis pemikiran agama yang diformulasikan oleh para ulama’ terdahulu tak imun kritik (konstruktif) dan perubahan. Di sinilah maka meminjam istilah Arkoun, perlu ada desakralisasi pemikiran agama (al-lataqdis al-fikr al-diny). Anggapan yang berkembang dalam masyarakat kita adalah, “bahwa perempuan itu makhluk yang sempit nalar, mudah emosi, gampang menangis dan mudah tergoda, sehingga tempat layaknya hanya di rumah, merawat anak-anak dan melayani suami”. Karena itu perempuan tak sah menjadi saksi untuk kasus-kasus pidana, dan menjadi pemimpin.
Begitulah kondisi pemahaman masyarakat kita selama ini yang juga berangkat dari dan atas nama “agama”. Tapi setidaknya kita masih bisa “melunakkan” keyakinan itu yang juga berangkat atas nama “agama”, yaitu pemahaman teks dari perspktif setting sosial-budaya dan asbab nuzul-nya. Setidaknya persoalan yurisprudensi Islam yang mereka anut selama ini tidak dianggap memiliki kebenaran mutlak, yang tidak selamanya benar, dan pada saat yang sama mereka mau menerima pemikiran hukum Islam yang mempertimbangkan aspek-aspek lain, yaitu kemaslahan umat. Wallahu a’lam bis-shawab.
__________________
*Penulis adalah Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Umat (LSPU-GNOSIS), Sekretaris pada Pusat Kajian dan Informasi ASWAJA (ASWAJA CENTER) Universitas Islam Malang (UNISMA).
(Author)