Filsafat
Sebagaimana pendapat umum, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan dan prinsip-prinsip mencari kebenaran. Berfilsafat berarti berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak terikat dengan tradisi, dogma agama) untuk memperoleh kebenaran. Kata ini berasal dari Yunani, Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Filsafat sebagaimana pengertiannya semula termasuk bagian dari pengetahuan, sebab pada permulaannya (baca: zaman Yunani Kuno) filsafat identik dengan pengetahuan (baik teoretik maupun praktik). Akan tetapi lama kelamaan ilmu-ilmu khusus menemukan kekhasannya sendiri untuk kemudian memisahkan diri dari filsafat. Gerak spesialisasi ilmu-ilmu itu semakin cepat pada zaman modern, pertama ilmu-ilmu eksakta, lalu diikuti oleh ilmu-ilmu sosial seperti: ekonomi, sosiologi, sejarah, psikologi dan seterusnya. (Lihat Franz Magnis Suseno, 1991:18 dan Van Peursen, 1989 : 1). Secara garis besar, Jujun S. Suriasumanteri (dalam A.M. Saifuddin et.al, 1991:14) menggolongkan pengetahuan menjadi tiga kategori umum, yakni: (1) pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk (yang disebut juga dengan etika/ agama); (2) pengetahuan tentang indah dan yang tidakindah (yang disebut dengan estetika/ seni) dan (3) pengetahuan tentang yang benar dan yang salah (yang disebut dengan logika/ilmu). Ilmu merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tak lagi merupakan misteri. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Objek kajian filsafat meliputi objek material dan objek formal, fisik dan metafisik, termasuk Tuhan, alam dan manusia, sedangkan objek formalnya adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada (yang wujud), baik yang fisik maupun yang metafisik. Ilmu (Ilmu Pengetahuan) Berbeda dengan filsafat, ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya, dan hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan mengendalikan gejala-gejala alam. Pengetahuan keilmuan merupakan sari penjelasan mengenai alam yang bersifat subjektif dan berusaha memberikan makna sepenuhnya mengenai objek yang diungkapkannya (Dep. P & K, tt.: 21 dan lihat Cony et al. 1988 : 45). Berbeda dengan filsafat, ilmu hanya membatasi diri pada objeknya yang empiris dan terukur dari manusia dan alam nyata (fisik). Ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional. Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam yang bersifat umum dan impersonal (lihat juga Jujun, 1990: 106-107). Secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah jelajah yang bersifat transendental yang berada di luar pengalaman manusia itu (Jujun, 1990:104-105). Sedangkan sisi lain dari pengetahuan mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh maknanya. Filsafat Ilmu Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut (Beerling, et al., 1988:1-4). Filsafat ilmu erat kaitannya dengan epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi. Filsafat ilmu sebagai kelanjutan dari perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang filasafat. Ilmu yang objek sasarannya adalah ilmu, atau secara populer disebut dengan ilmu tentang ilmu (Koento Wibisono,1988 : 7). Karena pengetahuan ilmiah merupakan a higher level of knowledge dalam perangkat kita sehari-hari, maka filsafat ilmu tidak dapat dipishkan dari filsafat pengetahuan. Objek bagi kedua cabang ilmu itu seringkali tumpang tindih (Koento Wibisono,1988 : 7). Agama Agama merupakan sistem kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan supra natural (Tuhan). Agama merupakan sistem peribadatan dan penyembahan (worship) terhadap Yang Mutlak dan sistem peraturan (norma) yang mengatur hubungan antarmanusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian, unsur-unsur agama meliputi: kepercayaan (kredo), peribadatan (ritus) dan norma. Agama merupakan sumber pengetahuan tentang moral, penilaian mengenai yang baik dan yang buruk. Agama memberikan petunjuk tentang tujuan yang harus dicapai oleh manusia.Antara Filsafat, Ilmu dan Agama
Antara filsafat dan ilmu memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran. Dari aspek sumber, filsafat dan ilmu memiliki sumber yang sama, yaitu akal atau rasio. Karena akal manusia terbatas, yang tak mampu menjelajah wilayah yang metafisik, maka kebenaran filsafat dan ilmu dianggap relatif, nisbi. Sementara agama bersumber dari wahyu, yang kebenarannya dianggap absolut, mutlak·. Dari aspek objek, filsafat memiliki objek kajian yang lebih luas dari ilmu. Jika ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia), maka filsafat menjangkau wilayah bail fisik maupun yang metafisik (Tuhan, alam dan manusia). Tetapi jangkauan wilayah metafisik filsafat (sesuai wataknya yang rasional-spikulatif) membuatnya tidak bisa disebut absolut kebenarannya. Sementara agama (baca: agama wahyu) dengan ajaran-ajarannya yang terkandung dalam kitab suci Tuhan, diyakini sebagai memiliki kebenaran mutlak. Agama dimulai dari percaya (iman), sementara filsafat dan ilmu dimulai dari keraguan. Ilmu, filsafat dan agama memiliki keterkaitan dan saling menunjang bagi manusia. Keterkaitan itu terletak pada tiga potensi utama yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, yaitu akal, budi dan rasa serta keyakinan. Melalui ketiga potensi tersebut manusia akan memperoleh kebahagiaan yang sebenarnya. Dalam konteks studi agama, manusia perlu menggunakan pendekatan secara utuh dan komperehensif. Ada dua pendekatan dalam studi agama secara komperehensif tersebut, yaitu: Pertama, pendekatan rasional-spikulatif. Pendekatan ini adalah pendekata filsafat (philosophical approach), misalnya pendekatan studi agama terhadap teks-teks yang terkait dengan masalah eskatologis-metafisik, epistemologi, etika dan estetika; kedua, pendekatan rasional-empirik. Pendekatan ini adalah pendekatan ilmu (scientific approach), misalnya pendekatan studi agama terhadap teks-teks yang terkait dengan sunnatullah (ayat-ayat kauniyah), teks-teks hukum yang bersifat perintah dan larangan dan sejarah masa lampau umat manusia. Agama memerintahkan manusia untuk mempelajari alam, menggali hukum-hukumnya agar manusia hidup secara alamiah sesuai dengan tujuan dan asas moral yang diridhai Tuhan. Ilmu sebagai alat harus diarahkan oleh agama, supaya memperoleh kebaikan dan kebahagiaan, sebaliknya ilmu tanpa agama, maka akan membawa bencana dan kesengsaraan. Maka benar kata Einstein, science without religion is blind, religion without science is lame. Secara rinci Franz Magnis Suseso (1991:20) menjelaskan, bahwa filsafat membantu agama dalam empat hal: pertama, filsafat dapat menginterpretasikan teks-teks sucinya secara objektif; kedua, filsafat membantu memberikan metode-metode pemikiran bagi teologi; ketiga, filsafat membantu agama dalam menghadapi problema dan tantangan zaman, misalnya soal hubungan IPTEK dengan agama; keempat, filsafat membantu agama dalam menghadapi tantangan ideologi-ideologi baru.Filsafat Agama Atau Filsafat Ilmu Agama?
Lantas bagaimanakah dengan Filsafat Agama dan Filsafat Ilmu Agama? Apakah Filsafat Agama membicarakan agama dalam perspektif filsafat? Atau filsafat dalam perspektif agama? Apakah Filsafat Ilmu Agama berarti berbicara tentang filsafat ilmu dalam persepektif agama? Atau agama dalam perspektif filsafat ilmu? Atau berbicara tentang ilmu-ilmu agama dalam perspektif filsafat ilmu? Sebetulnya term Filsafat Ilmu Agama itu tidak lazim digunakan, yang lazim digunakan adalah Filsafat Agama (Philosophy of Religion), bukan Philosophy of Religious Science ataupun Philosophy of Religious Studies. Persoalannya, apakah semua agama memiliki bangunan keilmuannya? Apakah agama itu ilmu? Dalam konteks Islam, memang ada konsep tentang ilmu. Hal ini sebagaimana yang diakui oleh H.A.R. Gibb, bahwa Islam lebih dari sekadar sistem teologi, tetapi ia sarat dengan peradaban (Islam is indeed much more then a system of theology its complete of civilization). Islam memiliki sistem ajaran. Sistem ajaran inilah yang kemudian menjadi sangat luas cakupannya. Ada ajaran tentang akidah, ajaran tentang syari’ah dan ajaran tentang akhlak (etika). Tiga aspek ajaran dalam Islam itu masing-masing memiliki perspektif bangunan keilmuannya. Dari ajaran akidah memunculkan Ilmu Kalam, dari ajaran syari’ah memunculkan Ilmu Fiqh dan dari ajaran akhlak memunculkan Ilmu Akhlak (Etika). Dari sudut ini, maka jika term Filsafat Ilmu Agama ini dapat digunakan (sebagai sesuatu yang lazim), maka yang dimaksud adalah Filsafat tentang Ilmu Agama, seperti Filsafat Teologi (Filsafat Kalam), Filsafat Hukum Islam (Fiqh), Filsafat Pendidikan Islam dan seterusnya. Apa yang ditulis oleh Harun Nasution dalam karyanya, Falsafat Agama,* (Lihat, Harun Nasution, Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973), sesungguhnya juga berisikan filsafat tentang Tuhan dan Manusia dalam perspektif Islam. Dalam konteks ini, maka Filsafat Agama yang ditulis oleh Harun lebih tepat disebut dengan Filsafat Teologi Islam (Filsafat Kalam), atau Filsafat Islam. Keilmuan Islami Bagaimana dengan keilmuan islami? Keilmuan islami adalah, paradigma keilmuan yang dibangun atas landasan Islam.. Filsafat islami dengan demikian adalah, filsafat yang berorientasi pada penyelidikan alam melalui pemikiran rasional untuk menemukan kebenaran Ilahi. Atau, cara berpikir rasional-radikal terhadap ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat yang bersifat kauniyah maupun qauliyah. Sedangkan ilmu islami adalah, ilmu yang diorientasikan pada penyelidikan alam melalui jalan inderawi dan eksperimen. Karena agama adalah kebenaran, sementara filsafat dan ilmu adalah pencari kebenaran, maka keduanya (filsafat dan ilmu) harus mencari kebenaran agama tersebut. Dalam pengertian lain, akal dan indera harus menggali sedalam-dalamnya terhadap fenomena alam untuk menemukan kebenaran Ilahi tersebut, karena Al-Haqqu min Rabbika fala takunanna min al-mumtarin. Dengan demikian, paradigma keilmuan islami bertujuan mencetak manusia ulul albab yang selalu membenarkan penciptaan alam semesta yang diciptakan oleh Allah swt. (Rabbana ma khalaqta haza bathila….). Inilah manusia yang mukmin sekaligus muslim (At-tashdiq bil-qalbi wat-taqrir bil-lisan wal-amal bil-jawari) yang selalu mendapat hikmah (limpahan kebaikan) dari Allah swt (Yu'til-hikmata man yasya' wa man yu'til-hikmata faqad utiya khairan katsira). Agama- ·Sampai dimana absolutisitas agama itu? Dalam perspektif agama Islam, absolutisitas agama adalah pada wilayah ijma’ ulama’, atau pada wilayah dalil muhkamat, seperti: tentang keesaan Tuhan, kebenaran al-Qur’an dan kebenaran perintah shalat dst. Sementara pada wilayah dalil musytarak dan mutasyabihat yang masih menjadi perselisihan ulama’ (karena perbedaan penafsiran, interpretasi), maka bersifat relatif. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa relativitas dimaksud adalah relativitas dalam konteks kebenaran, bukan dalam konteks salah dan keliru. Karena sesuai dengan jaminan Tuhan terhadap upaya ulama’/mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum itu sendiri, yaitu jaminan pahala (Izda ijtahada al-hakim fa ashaba falahu ajrani wa izda akhthaa falahu ajrun wahid).
*Harun Nasution menggunakan istilah filsafat dengan “falsafat” atau “falsafah”. Karena menurutnya, filsafat berasal dari kata Yunani, Philein dan Sophos. Kemudian orang Arab menyesuaikan dengan bahasa mereka falsafah atau falsafat dari akar kata falsafa-yufalsifu-falsafatan wa filsafan dengan wazan fa’lala.