Kebebasan beragama merupakan amanat konstitusi. Dalam UUD 45 Pasal 29 ayat (2) disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam Pasal 28E tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan, (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya… (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Artikel ini pernah dimuat Jawa Pos, Selasa, 1 November 2005
Setahun sudah, SBY—Kalla memerintah Indonesia. Sejak 20 Oktober kemaren, pemerintahan SBY—Kalla mendapat sorotan dari publik Indonesia. Fokus sorotan tersebut diarahkan pada kebijakan ekonomi dan politik. Hal yang mengherankan bagi saya, masalah kebebasan beragama tidak mendapatkan porsi yang cukup. Isu ini tenggelam di tengah hiruk pikuknya kenaikan harga BBM, kritikan tajam terhadap tim ekonomi SBY—MJK, isu resuffle kabinet hingga isu persaingan SBY—Kalla menghadapi Pemilu 2009. Padahal selama setahun ini, publik Indonesia disuguhkan headline media tentang kekerasan dan konflik atas nama agama. Puncaknya adalah, dua bom kembali menghajar Pulau Dewata, Bali, 1 Oktober lalu.
Padahal menurut hemat saya, masalah kebebasan agama bisa dijadikan standar utama untuk mengkritisi kebijakan publik pemerintahan SBY—Kalla. Selama ini, SBY—Kalla mendapat legitimasi politik penuh dari rakyat Indonesia. Pertama kali dalam sejarah politik Indonesia, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung, bebas, dan demokratis. Namun apa lacur, seperti yang ditulis Fareed Zakaria, dalam The Future of Freedom (2004), pemerintahan yang dipilih secara demokratis, belum tentu menjamin tegaknya kebebasan sipil. Pemasungan, pemberhangusan, dan sikap acuh tak acuh terhadap kebebasan sipil bisa terjadi dalam atmosfer demokrasi. Kebebasan dan demokrasi tidak selalu berjalan seiring.
Fakta ironis tersebut terjadi pada pemerintahan SBY—Kalla saat ini. Di tengah iklim yang demokratis, bangsa ini disuguhi dengan maraknya pemasungan kebebasan beragama. Kita dikejutkan kembali oleh aksi-aksi terorisme, penutupan rumah ibadah, penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah, ancaman fisik terhadap individu atau lembaga yang memperjuangan kebebasan agama hingga fatwa-fatwa keagamaan yang intoleran. Perlu dicatat, pemeritah SBY—MJK tampak tidak berdaya menghadapi tekanan-tekanan yang berasal dari kelompok-kelompok teror tersebut dan tidak memberi tindakan kongkrit.
Pemerintahan SBY—Kalla bisa berapologi memiliki perhatian besar terhadap terorisme. Hal itu dibuktikan dengan keseriusan aparat militer mengejar pelaku pengeboman, membongkar sindikasi kelompok terosis, menjatuhi hukuman seberat-beratnya, hingga usulan terakhir SBY yang masih kontroversial: menghidupkan kembali Koter. Namun, hal itu tidaklah cukup. Tidakan tersebut bisa dinilai sebagai kebijakan reaktif dan kuratif; jika terjadi terorisme dan kekerasan baru diambil tindakan. Sedangkan tindakan preventif terhadap aksi-aksi intoleran dan kekerasan, yang sebenarnya bisa dijadikan langkah antisipasi, tidak mendapat perhatian serius.
Kebebasan beragama merupakan amanat konstitusi. Dalam UUD 45 Pasal 29 ayat (2) disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam Pasal 28E tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan, (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya… (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 22 juga ditegaskan, 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dan dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa negara—dalam hal ini pemerintah—memiliki tanggungjawab menjamin prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi manusia, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan HAM merupakan pelanggaran terhadap konstitusi itu sendiri. Ketika pemerintah SBY—Kalla tidak memiliki perhatian serius untuk menjamin kebebasan beragama tersebut, maka, inilah pelanggaran konstitusional yang dilakukan oleh pemerintahan SBY—Kalla selama setahun ini.
Bulan November tahun lalu (2004) Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah bersama Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal mengadakan survei tentang orientasi sosial-politik Islam. Survei dilakukan dari tanggal 1 sampai 3 November 2004 di seluruh tanah air, dari Aceh hingga Papua. Hasil survei menunjukkan, cukup banyak masyarakat muslim Indonesia yang terlibat dalam aktivis Islamis. Memang hanya sekitar 1 juta, tapi jumlah itu sudah lebih dari cukup. Ketika ditanya sikap responden terhadap tindakan Imam Samudera, Amrozi, Dr. Azhari, Nurdin Top, dibolehkan sebagai bentuk pembelaan terhadap Islam, hasilnya: 15.9 % “setuju”, 25.2 % “tidak punya sikap/pendapat”, 59 % “tidak setuju”. Sedangkan sikap responden dalam kategori: “tahu” dan “setuju” terhadap perjuangan kelompok Islamis: FPI (37 %, 18.1 %), MMI (35.9 %, 14,7 %), HTI (12.7 %, 5.2 %), dan JI (41.8 %, 13.4 %). Hasil survei juga menunjukkan terjadi peningkatan intoleransi terhadap pemeluk agama lain. Sikap keberatan terhadap orang Kristen; mengajar di sekolah negeri (24.8 %), melakukan kebaktian (40.8 %) dan membangun gereja (49.9 %).
Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil survei tersebut adalah: meskipun terjadi peningkatan dalam sikap-sikap politik Islamis (Islamist political attitudes) tidak selalu melahirkan tindakan-tindakan yang menjadi realisasi sikap Islamis tersebut (Islamist political acts). Misalnya jumlah besar penolakan terhadap pembangunan gereja merupakan sikap, namun belum tentu mereka setuju atau ikut terlibat langsung dalam aksi dan tindakan penutupan gereja. Sikap intoleran belum tentu melahirkan tindakan intoleran, seperti penyerangan, kekerasan dan lain-lain.
Namun, dalam empat bulan terakhir ini, jarak antara sikap intoleran dan tindakan intoleran menjadi nisbi dengan maraknya aksi-aksi penyerangan dan kekerasan terhadap kelompok agama lain. Selaput kesucian kerukunan agama mulai terobek pada 15 Juli ketika Markas Jamaah Ahmadiyah Al Mubarok di Parung diserang oleh sekelompok umat Islam. Setelah itu muncul fatwa MUI yang kembali menyesatkan kelompok tersebut melalui 11 butir fatwa 27 Juli kemudian. Fatwa itu juga mengharamkan doa bersama lintas agama, paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme. Setelah itu, rantai kekerasan “terorisme lokal” sambung-menyambung; penutup gereja-gereja di Jawab Barat, Solo, penyerangan terhadap markas Jamaah Ahmadiyah di wilayah-wilayah Indonesia, dan puncaknya adalah “terorisme global”: bom Bali kedua pada tanggal 1 Oktober lalu.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertama, pemerintahan SBY—MJK tampaknya terpojok dengan isu kebijakan ekonomi yang tidak populis. Kenaikan BBM dua kali, semakin memudarkan pesona publik SBY—Kalla. Untuk hal itu, SBY—Kalla tidak ingin menambah pengambilan kebijakan yang tidak populis. Bisa jadi, jaminan terhadap kebebasan beragama bukan isu populis, malah bisa kontraproduktif. Kedua, pemerintah SBY—Kalla didukung oleh parlemen yang berasal dari gabungan partai-partai agama konservatif yang selama ini siap mengamankan kebijakan ekonomi SBY. Dalam hal ini, kompensasi kenaikan BBM adalah pemasungan kebebasan beragama.
Ketiga, tidak ada sikap tegas departemen, dan lembaga pemerintah yang sebenarnya memiliki tanggungjawab langsung. Kapolri tidak memandang aksi tersebut sebagai aksi kriminal. Malah Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Edi Darnadi membantah telah terjadi penutupan sejumlah gereja di Jawa Barat secara paksa. Menurutnya berita tersebut adalah “kabar bohong”. Menteri Agama Maftuh Basyuni berkali-kali melontarkan pernyataan yang semakin memojokkan jamaah Ahmadiyah. Sikap departemen dan lembaga pemerintah tersebut ikut menyuplai darah segar bagi kelompok-kelompok teroris untuk meneruskan aksinya.
Keempat, tidak ada tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok atas nama agama yang melakukan tindakan kriminal tersebut. Kita dikejutkan munculnya kelompok-kelompok baru, seperti AGAP (Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan) BAP (Barisan Anti Pemurtadan) KUIS (Koalisi Umat Islam Surakarta) yang rajin menyerang gereja-gereja. Ada FUI (Forum Umat Islam) yang meminta pemerintah menyiapkan undang-undang untuk melarang liberalisme, pluralisme dan sekularisme. Hingga Forum Umat Islam Utan Kayu yang bersikeras mengusir Jaringan Islam Liberal (JIL) dari Utan Kayu.
Inilah potret kebebasan beragama selama setahun SBY—Kalla memerintah. Jika SBY—Kalla tidak ingin disudutkan dengan gerakan terorisme, maka, pemerintahan ini harus menjamin kebebasan beragama. Kejadian empat bulan terakhir ini membuktikan, sikap dan pandangan yang intoleran telah melahirkan tindakan dan aksi kekerasan, sebagai bentuk “terorisme lokal” yang berpotensi menjadi “terorisme global”. Wallahu Al’lam.
27/11/2005 |
Kliping |
#
Komentar
Komentar Masuk (2)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)
Kalo boleh untuk memilih dari beberapa pendapat.
Saya cenderung untuk memilih pendapat semua agama adalah salah, dari pada memilih pendapat yang menyatakan semua agama adalah benar. Ini lebih bisa dinalar secara ilmiah, Jika kita melihatnya secara ilmiyah saja. Besa logis berdasarkan ilmiyah khan pendapat itu?
Jadi buat apa memusingkan upcara dll. tetek bengek yg ga jelas. Hukum rimba yang kuat yang menang… itu tidak hanya berlaku di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain bahkan negara yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia sekalipun.
Tentu jika hanya melihat secara logic ilmiah yang bebas nilai. atau nanti mungkin ada agama baru yang menjunjung tinggi nilai-nilai logic kali ya ? logic dong yang jadi tuhannya… Ah udah, malah ngaco…
-----
Posted by garisTakdir on 01/30 at 01:01 PM
Menurut kami, hendaklah memberi kebebasan orang-2 kristen untuk memeluk, melakukan ibadahnya, dan membangun gereja sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Janganlah agama dipolitisir,yang pada akhirnya benar dikatakan salah dan sebaliknya , yang hanya bertujuan meningkatkan kuantitas, yang pada akhirnya dengan jumlah yang besar tapi kecil kualitasnya.
Dalam kenyataannya yang sering membuat gaduh, bahkan membunuh orang-2 kristen juga orang muslim sendiri.
Posted by Asrul abdullah on 01/13 at 05:01 AM