TASAWUF KONTEKSTUAL
Dr. HM. Zainuddin, MA Senin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 34180 views
Salah satu fenomena yang sering diramalkan akan menjadi trend di abad XXI ini adalah munculnya gerakan spiritualitas baru. Terhadap gerakan ini, Rederic dan Maryann Brussat (Ruslani (ed.), 2000: vi-vii) mengistilahkannya dengan “kemelekan spiritual” atau kebangkitan spiritual. Ekspresi gerakan ini sering tampil dengan wajahnya yang sangat beragam, mulai dari Cult, Sect, New Thought, New Relegious Movement, Human Potential Movement, hingga gerakan New Age. Namun demikian dari semua gerakan tersebut, jika ditarik garis horizontalnya, hampir memiliki kesamaan misi, yakni memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati. Tuntutan untuk melakukan gerakan ini dilatarbelakangi oleh banyak hal, antara lain, pertama: kebutuhan untuk melakukan responsi terhadap paradigma modernisme yang telah mengalami kegagalan dalam beberapa aspeknya; kedua, sebagai respon terhadap kebutuhan masyarakat akibat dari dampak hegemoni Barat yang mengesampingkan nilai-nilai spiritualitas dan lepas dari tuntutan ajaran keagamaan. Sebagai konsekuensinya, gerakan tersebut banyak yang berpaling dari agama Barat Untuk kemudian  berpihak ke agama-agama Timur, seperti Hinduisme, Budhisme, Zen dan Taoisme; ketiga, tidak menutup kemungkinan gerakan tersebut muncul karena  perubahan budaya yang amat cepat dalam kehidupan keseharian akibat dari kesalahan disain kita sendiri. Gerakan New Age pada hakikatnya juga merupakan reaksi atas dosa-dosa sains modern yang hampa terhadap perasaan (dehumanisasi), dosa-dosa kapitalisme dan imperialisme yang belum bisa lepas dari watak eksploitasinya. Untuk menghadapi ini, gerakan New Age mencoba berpaling dari eksploitasi, selanjutnya berpihak pada upaya-upaya perdamaian, toleransi, kesadaran dan keseimbangan alam. Dengan demikian gerakan ini bisa diartikan sebagai sebuah proses pencarian jati diri manusia, setelah sekian lama manusia ditimpa oleh krisis kemanusiaan yang tak kunjung reda. Sementara itu agama formal yang mestinya dijadikan tempat kembali mereka, kini dianggap telah kehilangan pesan-pesan universalitasnya. Sehingga wajar jika kemudian pendukung dari gerakan ini sering menggunakan jargon Spirituality Yes, Organized Religions No.   Makna Tasawuf Tasawuf, yang sering juga disebut dengan istilah mistik (tetapi bukan mistik Jawa) yang terkait dengan urusan batin (tetapi bukan kebatinan), pengertiannya adalah suatu upaya pendekatan kepada Sang Khaliq yang bergerak dalam lingkup rasa, esoteris, (zauq) dan hati (qalb). Upaya pendekatan yang bergerak dalam ranah hati ini membutuhkan kejernihan dan ketulusan. Oleh karena itu kejernihan batin atau hati inilah yang sering diidentikkan dengan istilah tasawuf (tashawwuf, Arab) yang orangnya disebut sufi (al-mutashawwif). Apakah tasawuf atau hidup bertasawuf itu melepaskan hasrat dan interes keduniaan? Demikianlah citra umum yang ada pada masyarakat selama ini. Sebenarnya sejarah munculnya tasawuf itu jika dilacak akar historisnya adalah muncul bersamaan dengan lahirnya Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. yang diutus untuk menyempaikan risalahnya. Sejak awal (sebelum menjadi rasul) beliau sudah senang ber-khalwat, ber-tahannus untuk menjauhkan diri dari distruksi sosial masyarakat jahiliyah saat itu. Ketika masih muda beliau dipersepsikan sebagai  pemuda yang jujur, pencari spiritual yang kritis. Meditasi atau ber-khalwat di goa Hiro’ yang dilakukan nabi itu bukan berarti beliau meninggalkan dunia tanpa memperhatikan masa depan Islam, melainkan untuk memohon diri kepada Yang Maha Kuasa agar memperoleh petunjuk-Nya. Di sebuah bukit, tempat dimana ia mengasingkan diri itulah selanjutnya  beliau memperoleh pengalaman spiritual yang tinggi. Akhirnya melalui pengalaman tersebut Muhammad saw. memperoleh apa yang dinamakan “wahyu” (surat al-‘Alaq sebanyak  lima ayat). Dari hasil khalwat itu beliau bisa meneruskan dakwah Islam yang dimulai dari para sanak keluarganya sampai kepada masyarakat luas: wa anzir ‘asyirataka ‘l-aqrabin (lihat QS: As-Syu’ara: 214); …fashda’ bima tumaru wa a’ridh an ‘l-musyrikin (Al-Hhijr: 94).  Jadi goa Hiro’ merupakan  lepas landas (take of) nabi ke masyarakat luas. Islam sendiri sebenarnya sangat perhatian terhadap tradisi spiritualitas dan moralitas. Dalam kenyataannya Islam memiliki tradisi spiritualitas yang kaya dan amat berharga yang sudah berjalan selama rentang waktu lebih dari 14 abad. Ajaran yang terkandung dalam wahyu tersebut, di satu sisi membuat beberapa orang tertarik,  di sisi lain membuat orang-orang takut, utamnya adalah kelompok Quraisy. Ketakutan seperti ini bukan semata-mata karena ajaran tauhidnya, tetapi karena ajaran sosial yang dibawa Muhammad saw. sebagai ajaran yang concern terhadap penegaan keadilan ekonomi dan persamaan sosial. Itulah yang akan selalu mengancam kemapanan monopoli perdagangan para kafilah Quraisy yang merupakan kunci untuk memperkaya diri mereka. Dengan demikian tradisi spiritualitas dalam Islam adalah spiritualitas yang sarat dengan pesan-pesan sosialnya. Belum lagi tradisi spiritualitas lain yang lebih penting dalam Islam. Tradisi spiritual dimaksud adalah shalat sehari semalam. Tradisi ini dianggap  sebagai jantung spiritualitas Islam, karena shalat diawali dengan penataan niat yang dalam untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan diakhiri dengan ucapan salam perdamaian terhadap sesama manusia. Inilah yang kemudian di dalam Islam disebut sebagai ibadah mahdlah, ibadah yang dilakukan manusia untuk berinteraksi dengan Tuhannya  dan diakhiri dengan sikap kritis terhadap kualitas moral dan spiritualitas dalam suatu tindakan sosial. Selanjutnya pengalaman spiritual yang dicontohkan nabi itu yang terpenting adalah keteladanan sikap dan akhlak beliau yang harus kita tiru. Bukan persoalan harus tinggal di goa bertapa meninggalkan keramaian dunia, bukan. Nabi selepas menjalankan pengalaman spiritualnya di Hiro’ tidak berhenti di situ saja, tetapi beliau tetap berkhalwat dan zuhud di dalam kesehariannya, dalam pengertian menjauhkan dari ketamakan dunia: hub al-dunya, hub al-jah. Jadi bukan sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan orang selama ini, bahwa bertasawuf adalah identik dengan nyepi, mengasingkan diri dari pergaulan manusia (‘uzlah) untuk selamanya. Berkhalwat bisa berarti berkonsentrasi, mengkhususkan perhatian akan Khaliq-nya. Dari hasil khalwat itu itu diimplementasikan dalam bentuk amal saleh untuk kepentingan dunia dan akhirat. Nabi sendiri dan juga Allah SWT tidak menghendaki adanya kepincangan hidup. Hal ini bisa dilihat dalam firman-Nya --yang kemudian dikenal dalam masyarakat muslim sebagai doa sapu jagat— Rabbana atina fi ’l-dunya hasanah wafi ’l-akhirati hasanah waqina azaba ‘l-nar. Lihat juga  QS. Al-Qashash: 77. Bahkan jika kita cermati QS.Al-Qashash:77 tersebut kita dapatkan tiga persoalan besar, yatu: teologis, antropologis dan kosmologis. Secara teologis manusia diperintahkan untuk beribadah kepada Allah SWT untuk memperoleh keuntungan akhirat, tetapi di sisi lain tetap diperintahkan untuk bekerja, mencari rizki di dunia, tidak boleh salah satu diabaikan. Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani sendiri --yang dianggap oleh kebanyakan orang Islam sebagai sulthan al-auliya’-- tidak pernah mempunyai sikap hidup yang mengasingkan diri, dalam arti membenci dunia, tidak kawin dan bersikap seperti pendeta (rahbaniah), tetapi ia menolak untuk menikmati keinginan-keinginan dunia yang menimbulkan tenggelamnya hati, sehingga mengakibatkan lupa terhadap penciptanya (Allah SWT). Ia sangat memegangi sabda Nabi, yang artinya : “Sesungguhnya dunia itu diciptakan untukmu (manusia), sedangkan kamu sekalian diciptakkan untuk akhirat.” Dengan kata lain ia tidak melarang seseorang memiliki atau menguasai dunia, tetapi ia melarang seseorang dikuasai dunia dan diperbudaknya. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam  salah satu khutbahnya : “Kuasailah dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kau diceraikan olehnya. Janganlah engkau dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah hartanya seorang  hamba yang shaleh.”  (Al-Nadwi, 1979: 275).   Kemudian secara sosiologis, manusia harus selalu berbuat baik kepada orang lain. Tidak boleh melakikan penyimpangan dan segala macam keburukan lainnya. Dan secara kosmologis manusia tidak boleh membuat kerusakan (distruktif) terhadap alam, merusak lingkungan. Karena manusia dipercaya oleh Tuhan sebagai Khalifah fil-Ardh, maka ia harus memelihara dan melestarikan ajaran Islam yang disebut-sebut sebagai agama rahmatan lil-‘alamin itu. Dan ini adalah tanggung jawab manusia beriman untuk senantiasa mematuhinya sebagai khalifah fil-Ardh tadi, jika tidak mampu, tidak amanah, maka predikat itu tercabut dengan sendirinya. Statemen Tuhan tersebut juga menunjukkan, bahwa Islam menghendaki terwujudnya keseimbangan (balance) antara kehidupan dunia dan akhirat.

Sufi dan Islamisasi di Indonesia

            Dalam pandangan banyak ahli sejarah Islam di Indonesia, para tokoh sufi memiliki peran penting dalam proses islamisasi  di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang melebihkan peran mereka dalam proses islamisasi tersebut, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah hanya aspek sufisme saja yang berkembang di Indonesia. Dalam hal ini Victor Tanja (1982:21) mengatakan, bahwa Islam yang mula-mula datang ke kepulauan Nusantara  ialah Islam yang bercorak sufistik. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya walisongo sebagai penyebar agama Islam di  kepulauan Jawa. Dalam beberapa tulisannya, A.H. Johns (1961:1975) seorang ahli filologi Australia, mengatakan bahwa atas jasa para sufilah Islam menjadi sangat berakar dalam masyarakat Indonesia. Walaupun Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad ke 8 M, konversi secara besar-besaran baru terjadi pada abad ke 13 M seiring dengan runtuhnya Baghdad ke tangan Mongol tahun 1258 M. Para sufilah yang memotori proses islamisasi tersebut. Bagi para sufi, sebetulnya sufisme dan syari’ah tidak dipandang sebagai dua dimensi yang bertentangan tetapi saling melengkapi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Meskipun demikian, dalam sejarah dan perkembangan masyarakat memang terjadi pertentangan dan konflik antara kedua penganut dimensi Islam tersebut. Sebagai satu ajaran, sufisme merupakan dimensi batin atau esoteris yang seringkali dibedakan dengan syari’ah (eksoteris). Sebagai gerakan, dalam sejarah dan perkembngnnya, para sufi dapat dikategorikan dalam  dua kelompok, yaitu: pertama, sufi individualis yang terpanggil untuk mempraktekkan kehidupan asketis dan mistis yang menghasilkan karya-karya sufisme dan dikenal lewat karya tersebut oleh para sufi belakangan. Acapkali para sufi dibesarkan oleh sejumlah pengikut yang menganggapnya sebagai special figure yang dapat mengikat mereka pada suatu aliran tertentu (misalnya sosok Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, yang kemudian melahirkan nama tarekat Qadiriyah, Syeikh Yusuf Taj al-Khalwati dengan munculnya tarekat Al-Khalwatiyah dst.);  kedua, para sufi yang diikat oleh suatu aliran tertentu dan merupakan suatu persaudaraan (brotherhood) yang sering disebut dengan tarekat. Kadang-kadang suatu tarekat merupakan institusi semi formal yang bergerak di bidang sosial, ekonomi dan bahkan politik (Gilsenan, 1973: 1). Dalam sejarah perkembangan masyarakat, sufisme merupakan dimensi Islam yang tak kalah kontroversial. Hakikat dan eksistensinya seringkali disalahpahami dan diremehkan. Secara teologis ajaran-ajaran tasawuf oleh beberapa kalangan --terutama golongan yang berorientasi modernis-- dipandang sebagai ajaran yang tidak berasal dari ajaran Islam sehingga penganutnya dapat menjadi musyrik. Ia dianggap sebagai ajaran  yang mengndung TBC (tahayul, bid’ah dan churafat). Secara sosial, tasawuf yang mengajarkan kehidupan asketis menjadi penghambat pembangunan dan kemajuan zaman sehingga tidak mengherankan kalau Al-Ghazali dipandang bertanggung jawab terhadap ketertinggalan  dan kemunduran umat Islam. Tuduhan dan kritik terhadap tasawuf tersebut memang seringkali tidak beralasan. Tuduhan dan kritik tersebut biasanya datang dari golongan yang tidak memahami tasawuf secara komprehensif dan tidak melihatnya dari perspektif sufi itu sendiri. Secara teologis, sesunguhnya tasawuf memiliki dasar doktrin yang kuat di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah dan menurut Nurcholish Madjid (1985), tasawuf memiliki akar yang lebih kuat di dalam Al-Qur’an dibanding dengan syari’ah. Sufisme yang dianggap sebagai simbol kejumudan dan kepasifan juga merupakan kesimpulan yang over-generalisation,  karena dalam banyak kasus di dunia muslim para sufi dan pengikut tarekat berperan aktif dalam berjuang melawan kaum kolonial. Di Indonesia, beberapa tarekat merupakan kelompok masyarakat yang ditakuti pemerintah kolonial Belanda karena gerakan-gerakan “pemberontakan” yang mereka lakukan (Kartodirdjo, 1966). Akhir-akhir ini perhatian dan kecenderungan masyarakat kepada tasawuf tampak meningkat. Buku-buku yang bertema tasawuf tampaknya merupakan buku terlaris di pasaran. Kajian-kajian intensif tasawauf yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan sosial keagamaan menarik minat cukup tinggi dari kaum terdidik perkotaan (Azra, 1996:286). Termasuk di Aswaja Center UNISMA sendiri kajian tasawuf juga tidak kalah perhatiannya. Fenomena men-ziarahi para tokoh sufi dan tarekat marak dilakukan, tidak hanya masyarakat pedesaan tetapi juga oleh golongan kelas menengah perkotaan. Terlepas dari tujuan mereka memiliki perhatian (concern) dan memasuki dunia tarekat, yang jelas hal ini merupakan fenomena yang menarik. Di tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan sosial budaya, tasawuf tampaknya semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Fenomena ini menolak anggapan bahwa tasawuf menjadi faktor penghambat pemabangunan dan kemajuan masyarakat. Untuk waktu yang lama kajian tasawuf di Indonesia masih didominasi oleh para ilmwuan Belanda yang kebanyakan mengikuti filologi. Tradisi ini kemudian diikuti oleh beberapa filolog Indonesia baik dari universitas-universitas umum maupun dari perguruan tinggi Islam. Demikianlah beberapa tokoh sufi Nusantara dan karya-karyanya diteliti secara historis dan filologis meskipun dominasi filologinya masih kuat. Dalam tradisi studi ini aspek-aspek sosiologis, antropologis, dan historis tasawuf dan tarekat di Indonesia tertinggalkan. Ironisnya, gerakan tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Banten pada akhir abad ke 19 M, oleh Kartodirdjo (1966) dipandangnya sebagai gerakan petani. Saya kira perlu diketahui --dan ini merupakan fakta sejarah-- bahwa di Afrika Utara, Sudan pada tahun 1943  muncul gerakan  sufi terkenal, yaitu sekte Ashiqqa dan Marabaouts (al-Murabbithun), yang mempunyai peranan besar dalam percaturan politik melawan penjajahan. Kaum sufi pun bisa bertingkah laku berang dan berperan sebagai reformis dan top leader (lihat: Donald E. Smith, Religion And Political development: 135, 137). Pada masa dinasti Saljuk sufisme juga berfungsi sebagai gerakan protes terhadap tirani kekuasaan. Mereka  mengecam  ulama yang terikat intim dengan penguasa (yang oleh al-Ghazali disebut sebagai ulamasu’). Sufisme juga menolak pandangan aristokratis (lihat Kamaluddin Hilmi, 1975:202). Ini merupakan kenyataan, bahwa praktik sufi tidak hanya bisa diasumsikan sebagai ibadah zuhud dan zikir dalam pengertian ritual ansich. Dalam kondisi modern dan era teknologi kini, praktik sufi pun masih relevan dan bahkan sangat diperlukan, dengan catatan bahwa pengertiannya tidak sesempit yang dipahami sementara orang (mengasingkan diri dari komunikasi massa). Tetapi ia harus dijabarkan dalam arti yang kontekstual. Dan kita bisa melihat gejala sosiologis, bahwa di Pesantren Suryalaya Jawa Barat (yang terkenal dengan Pesantren Tareqat), telah dilakukan gerakan kultural yang wujudnya berupa masalah pertanian, koperasi, lingkungan hidup. Bahkan Pesantren tersebut banyak mendapat perhatian para ilmuwan dan juga pemerintah sendiri. Pengobatan non medis bagi cacat jiwa (narkoba dsb.) dengan menggunakan formula yang dikenal dengan formula zikrullah adalah merupakan keistimewaan tersendiri bagi Abah Anom (julukan Kiai dan pengasuh pesantrennya). Bukankah bentuk dan realita seperti ini lalu dapat mengubah gambaran kita tentang dunia sufi? Berbagai tarekat masuk dan berkembang di Indonesia, meskipun tidak diketahui secara pasti tarekat mana yang pertama hadir, tapi yang jelas tokoh sufi terkenal Hamzah Fansuri diceritakan sebagai guru tarekat Qadiriyah di Indonesia. Dia sendiri banyak melakukan perjalanan di wilayah-wilayah Indonesia termasuk Jawa (Kartodirdjo, 1966:145). Nuruddin Al-Raniri adalah penganut tarekat Rifa’iyah dan ‘Aidarusiyah. ‘Abdur Ra’uf Al-Sinkili adalah guru tarekat Syattariyah yang memiliki seorang murid terkenal dari Jawa Barat yang bernama ‘Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat tarekat tersebut menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan Syaikh Yusuf Taj Al-Khalwati mengikuti berbagai macam tarekat walaupun ia lebih terkenal sebagai guru tarekat Khalwatiyah. Pada periode berikutnya beberapa tarekat lain berkembang di Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Bahkan beberapa tarekat “lokal” mampu menarik sejumlah pengikut.

Penutup

Dalam  kehidupan modern yang serba kompleks ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi begitu canggih dan mengelaborasi  ke hampir seluruh kawasan dunia. Pada saat mana manusia harus berkelit dengan problem kehidupan yang serba materialistis. Hubungan antara manusia pada zaman modern juga cenderung “impersonal”, tidak akrab lagi antara satu dengan yang lain. Masyarakat tradisional yang guyub dikikis oleh gelombang masyarakat modern yang tembayan. Fenomena ini membuat manusia semakin kehilangan jati dirinya. Kondisi demikian juga mengharuskan manusia untuk benar-benar mampu bertahan dan mengendalikan dirinya, untuk kemudian tetap tegar dalam kepribadian. Dalam hidup ini, yang dibutuhkan oleh manusia tak ada lain adalah  ketenangan, ketentraman jiwa atau kebahagiaan batin. Dan itu semua  tidak banyak tergantung kepada faktor-faktor luar, seperti ekonomi, status sosial dan seterusnya, melainkan lebih tergantung kepada sikap hidup dan kedekatan kita kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, mendekatkan diri dan meminta pertolongan kepada Allah (isti’anah dan istighatsah), tetap relevan dan satu keharusan agar  memperoleh hidup sehat dan layak: jiwa yang seimbang, pribadi yang luhur dan hati yang tenang. Di sinilah makna sufisme itu: mengedapankan nilai ajaran agama, spiritualitas dan aspek esoteris yang menjadi benteng kepribadian, supaya terhindar dari hiruk pikuk materialisme dan hedonisme, terutama dalam kehidupan global yang penuh tantangan ini. ____________ *Penulis adalah Sekretaris Pusat Kajian dan Informasi ASWAJA (ASWAJA CENTER) Universitas Islam Malang (UNISMA).

DAFTAR PUSTAKA

   

DAFTAR PUSTAKA

    Abdul Baqi, Fuad., tt., Al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi.   Al-Nadwi. 1979. Rijal al-Fikri wa’l-Da’wak fi’l-Islam, Kuwait, Dar al-Qalam.   Azra, Azyumardi 1996. “Neo Sufism dan Masa Depamnnya” dalam M.W. Nafis (Ed.). Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Jakarta: Paramadina.

Gilsenan M. 1973. Saint and Sufi in Modern Egypt: An Essay on The Sociology of Religion. Oxfoprd University Press.

  Hilmi, Ahamad kamaluddin, 1975. As-Salajiqah Fi’l-Tarikh wa al-Hadharah, (Kuwait: Dar al Buhuts al-Ilmiah), dikutip dari Shadruddin al-Husaimi dalam Akbar al-Daulah al-Salajiqah.

Johns, A.H. 1961. “Sufism as a Category in Indonesia Literature in History” dalam Journal of Southeast Asian History, vol. 2 no. 2.

  Kartodirdjo, Sartono. 1966. The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: It’s Condition, Course and Sequence, A Case Study of Social Movements in Indonesia. The Hague: Nederlandsche en Steendrukkerij v/h Smiths.

Madjid, Nurcholish. 1985. “Tasawuf Sebagai Inti Keberagamaan” dalam Pesantren vol. 2 no. 3.

Ruslani (Ed.).2000. Wacana Spiritualitas Timur dan Barat, Yogyakarta:  Qalam. Smith, Donald E. tt. Religion And Political development.

Tanja,  Victor.1982. Himpunan Mahasiswa Islam. Jakarta: Sinar Harapan.

 

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up