WANITA MUSLIMAH DALAM PROBLEMA KEHIDUPAN MODERN
Ada Hadits Nabi yang sangat populer berbunyi : Addunya Mata’un wa khairu mata’iha Al-mar’atus Shalihah. Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah. Hadits ini menunjukkan bahwa wanita muslimah seharusnya adalah wanita yang shalihah, dan wanita itulah yang menjadi hiasan terbaik di dunia.
Bagaimana wanita yang shalihah itu? Seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ : 34, Allah menjelaskan bahwa wanita shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri (dari menyeleweng dan rahasia serta harta suaminya) ketika suaminya tidak ada.
Secara fisik memang wanita diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang rata-rata lemah dibanding kaum pria. Tetapi kelemahan wanita bukan berarti tidak memiliki arti, justru kelemahan itu menjadikan ia cocok untuk dijadikan partner pria. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya wanita itu juga sama-sama memiliki kekuatan fisik yang kuat sama dengan pria, tidak lembut dan feminin, .mungkin tidak pernah ada pasangan suami istri di dunia ini. Kehadiran Adam adalah sekaligus kehadiran Hawa. Barangkali tidak ada sejarah manusia tanpa kehadiran Hawa, yang berarti sepilah dunia ini.
Persoalan potensi, pada umumnya wanita juga tidak lebih potensial dari pria. Tentu porsi potensi pria lebih besar dan ini bukan tidak beralasan kalau Tuhan mentakdirkan begini, sebab dalam teori-teori ilmu-ilmu sosial pun dikemukakan, bahwa dalam masyarakat secara wajar terdapat dua kelompok yang berbeda peran sosialnya, yaitu yang memimpin dan yang dipimpin.
Tuhan sendiri memberikan kepercayaan terhadap kaum pria untuk menjadi pemimpin bagi kaum wanita. Sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ : 34 Allah berfirman :
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas bagian yang lain (wanita).”
Kalau misalnya Allah menjadikan wanita dan pria itu memiliki potensi yang sama, maka tidak akan terjadi istilah kepemimpinan. Itulah sebabnya kenapa harus terjadi perbedaan kodrat dan sifat itu. Jadi, sebenarnya keduanya memiliki peran masing-masing. Oleh karena itu mesti ada pembagian kerja secara seksual. Tentang penciptaan pria dan wanita sesungguhnya tidak perlu digugat dan dengan demikian tuntutan persamaan hak sesungguhnya juga harus dilihat konteksnya.
Di sisi Tuhan semua manusia itu sama, baik bagi wanita maupun pria. Mereka sama-sama memiliki kewajiban mengabdikan diri (beribadah) kepada-Nya (QS. Az-Zariyat : 56). Mengenai persamaan hak, Al-Qur’an banyak menyebbutkan, misalnya QS. 33:35, 3:195, 4:124, 16:97, 40:40, 9: 72, 4:32, 4:7. Dan yang menjadikan mereka lebih mulia disisi Tuhan (Allah) adalah karena kadar ketaqwaannya. (QS. Al-Hujurat : 13).
Kehidupan Modern
Kehidupan modern dicirikan oleh sofistikasi teknologi dan kemajuan dibidang industri serta semakin berkurangnya sektor agraris. Menguatnya rasionalisme dan munculnya individualisme yang berimplikasi kepada alinasi menandai adanya itu.
Pengertian Modernisasi memang memiliki tekanan aspek teknologi dan perubahan di bidang ekonomi. Lebih jauh Manfred Halpern mengartikan, bahwa revolusi modernisasi meliputi transformasi semua sistem yang diorganisasikan oleh masyarakat, sosial, politik, ekonomi, intelektual, agama dan sistem psikologi.
Alvin Toffler seorang futurolog kenamaan mengatakan, bahwa saat ini tengah muncul perubahan baru yang membawa sistem sosial baru. Masyarakat ini adalah masyarakat informasi yang bercirikan super efisiensi, spesialisasi yang kuat, standarisasi dan sistematisasi dan disiplin.
Melihat ciri-ciri dari modernisasi ini amatlah besar biaya-biaya modernisasi itu, dan banyak menimbulkan ekses-ekses sosial dan dehumanisasi. Seperti yang digambarkan Abu Al-Hasan An-Nadwi, bahwa peradaban modern telah kehilangan nilai kemanusiaan dan kesadaran religiusnya dan tersibukkan oleh produk teknologi. Tidak hanya itu saja budaya modern juga menimbulkan banyak krisis-krisis kejiwaan, ekologi, kepercayaan dan seterusnya. Sehingga masyarakat modern menjadi masyarakat rigid dan egoistik.
Aktualisasi Potensi
Ya, Islam tidak melarang kaum wanita untuk memanfaatkan potensinya, sepanjang tidak menyalahi kodrat kewanitaan dan norma-norma Islam. Wanita karier pun tidak menjadi persoalan, asal bisa menjaga diri dari fitnah dan mafsadah.
Semua orang berhak dan harus mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Dan Islam mewajibkan menuntut ilmu tidak hanya tertuju kepada kaum pria saja, tetapi juga kaum wanita. Hadits yang sangat lekat dalam ingatan kita adalah : Thalibul ‘ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin, menunjukkkan hal itu. Nampak jelas bahwa pengembangan potensi, intelektualitas sangat ditekankan oleh Islam.
Dalam perspektif sejarah (baca: Islam), tampilnya wanita muslimah dalam bidang keilmuan juga menandai adanya perolehan dalam kesempatan berpendidikan dan pengajaran. Ummahatul Mu’minin adalah cermin dari kaum wanita muslimah yang melakukan aktivitas itu. Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu yang menjadi guru dari sekian tokoh pria. Aisyah sendiri adalah ilmuwan yang kritis, demikian pula Syuhrah yang diberi gelar Fakhrunnisa’ (tokoh kebanggaan wanita) yang menjadi guru Imam Syafi’i. Imam Abu Hasan mencatat tiga nama wanita yang menjadi guru tokoh imam mazhab, yaitu : Mu’nisat Al-Ayyubi, Syamiyat At-Taimiyah dan Zainab. Kemudian pada zaman berikutnya muncul Rabi’ah Adawiyah, Khansa’ dst.
Tanggungjawab dalam rumah tangga juga merupakan kontribusi besar kaum wanita bagi kaum pria. Kenyataan ini seperti yang dikatakan nabi, bahwa wanita adalah pemimpin rumah tangga suaminya, dan ia dimintai pertanggungjawabannya.
Problematika yang dihadapi wanita muslimah kini adalah masalah modernisasi yang mengarah pada tuntutan emansipasi. Emansipasi adalah akibat dari tuntutan kaum wanita barat (Women’s Lib) yang merasa tidak mendapatkan tempat dan teralinasi dari kaum pria. Dominasi kaum pria dan perlakuan yang semena-mena berimplikasi munculnya tuntutan kebebasan kaum wanita yang juga berlebihan. Ide persamaan hak (equal righats) sendiri juga mengandung kontradiksi yang cukup membingungkan terutama dalam hal konsep dan aplikasinya dalam undang-undang dan kebijakan sosial. Pada tingkat konsep, feminisme menginginkan persamaan antara wanita dan pria tetapi di pihak lain tuntutannya cenderung menghendaki wanita harus diperlakukan khusus. Misalnya perlu adanya proteksi terhadap pekerjaan wanita, hak cuti hamil, cuti melahirkan, hak libur menstruasi setiap bulan, dan seterusnya. Hingga hari ini belum ada konsensus mengenai apa yang disebut dengan equality antara wanita dan pria. Apakah persamaan hak berarti persamaan perlakuan tanpa memandang gender? Misalnya undang-undang yang mengharuskan wanita hamil juga bekerja pada shift malam seperti halnya pria? Seperti yang dikatakan oleh Ratna Megawangi, pengamat feminisme, bahwa kecenderungan “matematis” antara pria dan wanita merupakan fokus utama gerakan feminisme modern. Kesemuanya ini akibat tidak adanya konsep yang jelas mengenai tugas dan kewajiban antara pria dan wanita. Berbeda dengan pandangan Islam, maka persoalan tugas dan tanggungjawab bagi kedua jenis insan itu sudah diatur dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, meski secara garis-garis besarnya, tetapi cukup elementer.
Dalam perspektif Islam, prinsip rumah tangga itu harus bisa mewujudkan unsur-unsur: sakinah, mawaddah dan rahmah, yaitu terwujudnya rumah tangga yang penuh kedamaian, saling pengertian, aman dan penuh cinta kasih sayang. Sebagai pemimpin rumah tangga suami berkewajiban mencukupi nafkah (lahir maupun batin) istri dan anak-anaknya., jika memang mampu. Sementara istri juga berkewajiban mengatur persoalan rumah tangga bersama suami demi terwujudnya keluarga yang sejahtera (sakinah) tadi.
Sebetulnya tidak ada persoalan (diskriminasi dan eksploitasi) terhadap wanita oleh pria jika kedua jenis pasangan suami istri tersebut saling menyadari hak dan kewajibannya. Secara umum, memang kewajiban suami adalah mencari nafkah untuk kepentingan keluarga sementara istri memiliki kewajiban mengatur urusan keluarga ketika suami sedang di luar. Tetapi pada dasarnya semua persoalan keluarga tetap menjadi tanggungjawab keduanya demi terwujudnya rumah tangga yang harmonis dan penuh cinta kasih sayang tadi. Diskriminasi dan eksploitasi itu tidak akan terjadi jika suami memahami hak dan kewajibannya, maka ia akan memperlakukan istri itu secara proporsional, adil, karena dasar Al-Qur’an sendiri menyatakan : Hunna libasun lakum wahum libasun lahun. Mereka (istri-istri) itu bak pakaian milik suami-suami, dan mereka (laki-laki) itu bak pakaian (istri-istri juga). Ada hak kepemilikan bersama, jika kesadaran hak dan kewajiban ini dipahami bersama, maka tidak akan ada penyelewengan. Munculnya WIL dan PIL dewasa ini karena memang tidak ada saling pengertian antara keduanya dan saling menyembunyikan rahasia. Mudah-mudahan wanita muslimah tetap tegar dalam era globalisasi ini. Semoga.
(Author)