Keinginan kuat untuk melakukan koreksi terhadap UUD 1945, termasuk khususnya tuntutan untuk menghidupkan kembali tujuh kata (kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalam Piagam Jakarta, muncul menggema secara luas pasca tumbangnya rezim Orde Baru (1966-1998). Karena itu, pada Sidang Tahunan MPR 2000, 2001 dan 2002, beberapa partai Islam (misalnya PPP dan PBB) menuntut agar pelaksanaan syariat Islam diakui di dalam konstitusi. Lewat presentasi ini, saya ingin mengajukan argumen bahwa terdapat dissonance (kejanggalan) di dalam usaha mengamandemen pasal 29 UUD 1945 tentang Agama. Dissonance tersebut terletak pada fakta bahwa hak-hak keagamaan umat Islam yang dituntut oleh partai Islam tersebut sesungguhnya adalah kewajiban keagamaan. Alih-alih berupaya memperjuangkan hak kebebasan beragama seutuhnya, upaya partai Islam untuk memasukkan tujuh kata ke dalam pasal 29 UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR 2002, sesungguhnya mencoba membelenggu serangkaian hak kebebasan, termasuk kebebasan beragama, yang disebutkan di dalam pasal 28, yang sudah selesai diamandemen dua tahun sebelumnya. Nyatanya, jika amandemen terhadap pasal 29 UUD 1945 itu berhasil, dissonance tentu akan makin terlihat jelas karena secara ironis hakhak individual kebebasan beragama akan tenggelam dalam hak-hak kolektif keagamaan. Flyer |