Pilihan Antara Keluarga Dan Dinas
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Senin, 2 Desember 2013 . in Dosen . 4909 views

Tatkala memberikan ceramah di hadapan para pejabat Kementrian Agama Provinsi Maluku Utara pada tanggal 28 Nopember 2013 yang lalu, saya mendapatkan pertanyaan menarik, yaitu mana yang harus didahulukan antara keluarga dan dinas. Seringkali sebagai seorang pegawai atau pun juga pejabat selalu dihadapkan pada dua pilihan yang tidak mudah, yaitu antara lebih mementingkan keluarga dan atau dinas. Kepentingan keluarga tidak mungkin diabaikan, dan begitu pula berdinas. Sedangkan memenuhi kedua-duanya secara maksimal seringkali juga dirasakan tidak mungkin dilakukan.

Pertanyaan tersebut saya jawab dengan menceritakan kisah Nabi Ibrahim, as., seorang Rasul yang kemudian mendapatkan gelar sebagai Khalilullah. Nabi Ibrahim dalam kehidupannya penuh dengan pilihan perjuangan kemanusiaan yang luar biasa. Bersama dengan isterinya, Siti Sarah, Nabi Ibrahim yang juga diikuti oleh pembantunya, Siti Hajar, meninggalkan Mesir menuju ke Palestina. Jarak yang sedemikian jauh, entah dengan menggunakan kendaraan apa, ditempuh oleh Ibrahim bersama kedua perempuan itu. Dikisahkan bahwa, Siti Hajar, seorang wanita berkulit hitam, pada waktu itu, belum mengikuti keimanan Ibrahim, dan baru mengikutinya sesampai di Palestina.

Hal menarik dari kisah itu, keimanan yang ditanamkan oleh Ibrahim kepada pembantunya, yaitu Siti Hajar, ternyata berhasil luar biasa. Kadar keimanan seorang wanita berkulit hitam tersebut sedemikian kokoh, hingga mendatangkan kekaguman isteri Ibrahim sendiri, Siti Sarah. Dalam kisahnya, di tengah malam, Siti Sarah mendapati pembantunya sedang bersujud dengan khusus'nya. Melihat hal demikian itu, Siti Sarah merasa kagum hingga menyampaikan pendapat agar wanita hitam itu dinikahi oleh suaminya, Ibrahim. Usul yang datang dari isterinya sendiri yang dimaksud itu oleh Ibrahim dipenuhi. Usul itu juga terasa logis oleh karena pada saat itu, Ibrahim dan isterinya belum dikaruniai anak.

Perkawinan Ibrahim dan Siti Hajar, oleh Allah ternyata dikaruniai anak laki-laki, dan diberi nama Ismail. Dalam kisah selanjutnya, adalah sebagai sesuatu hal yang wajar, setelah Siti Hajar mendapatkan putra yang disayangi, Ibrahim dirasakan oleh isterinya yang peratama, menjadi lebih dekat dengan isteri kedua, Siti Hajar. Keadaan yang demikian itu menjadikan isteri pertama cemburu, dan bahkan mengusulkan agar Ibrahim mengeluarkan Siti Hajar dari rumah yang selama itu dihuni bersama-sama.

Atas usul Siti Sarah, isteri pertama itu, Siti Hajar bersama anak satu-satunya yang amat dicintai itu, oleh Ibrahim dibawa ke tanah tandus, di Makkah. Jarak di antara kedua tempat itu, -------kita mengetahui, adalah amat jauh. Setibanya di Makkah, hal yang sebenarnya bagi orang biasa dirasakan sangat tidak manusiawi, Ibrahim meninggalkan keduanya. Padahal di tempat itu tidak ada manusia dan apalagi makanan serta minuman yang bisa digunakan untuk menyambung hidup. Ibrahim sampai hati meninggalkan anak dan isteri yang dicintai di tempat seperti itu. Menghadapi hal aneh dan berat itu, Siti Hajar bertanya pada suaminya, tentang alasan yang digunakan untuk mengambil keputusan itu. Dijawab oleh Ibrahim, bahwa keputusan itu adalah perintah Allah. Mendengar bahwa hal itu adalah perintah Allah, maka Siti Hajar pun menyetujui.

Dalam kisah selanjutnya, tidak lama Ibrahim, as., meninggalkan keduanya, Ismail mengalami kelaparan dan kehausan. Menghadapi keadaan itu, Siti Hajar berusaha mencari air atau makanan. Wanita yang dalam keadaan sendirian itu berlari, mondar mandir antara bukit Shofa dan Marwa untuk mencari sesuatu yang bisa diberikan kepada anaknya. Ternyata, atas pertolongan Allah, di tempat bayi laki-laki, bernama Ismail itu, muncullah air yang bisa segera diminum. Sumber air itu kemudian dalam sejarah selanjutnya menjadi sumur, yang kita kenal sekarang ini dengan sebutan sumur Zam-Zam. Singkat cerita, akhirnya keduanya bisa hidup dari sumber air itu.

Untuk kepentingan perjuangan kemanusiaan, pengorbanan Ibrahim sedemikian berat. Ia harus memilih antara keluarga dan berjuang untuk menyampaikan misi kerasulannya. Bahkan dalam kisah selanjutnya, putra satu-satunya yang amat dicintai, ---------lewat mimpi, diperintahkan untuk disembelih, maka juga dilakukan oleh Ibrahim. Untuk memenuhi perintah itu, Nabi Ismail pun disembelih, ------sekalipun dalam pelaksanaannya, Ismail kemudian oleh Allah diganti dengan seekor domba. Apapun yang diperintahkan oleh Allah, Ibrahim melaksanakannya. Atas ketaatannya itu, Ibrahim mendapat gelar kholilullah. Ia selalu mendahulukan perintah Allah dari kepentingan lainnya.

Kisah singkat kehidupan Nabi Ibrahhim, as., tersebut, kiranya bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan di muka. Berjuang untuk kemanusiaan seharusnya lebih didahulukan daripada kepentingan keluarga. Kepentingan masyarakat atau orang banyak harus didahulukan daripada kepentingan keluarga dan apalagi yang bersifat pribadi. Relevan dengan itu, sebenarnya bagi pejabat pemerintah juga dikenal adanya sumpah jabatan dan atau juga sebagai pegawai negeri. Disebutkan dalam sumpah itu bahwa kepentingan negara harus didahulukan daripada kepentingan pribadi dan golongan. Oleh karena itu, kiranya untuk memilih antara kepentingan keluarga dan dinas sebenarnya tidaklah sulit, oleh karena sudah ada pedoman yang kuat dan jelas. Wallahu a'lam.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up