Tatkala banyak lulusan lembaga pendidikan dirasakan kurang sesuai dengan harapan, seperti misalnya berperilaku menyimpang, tidak mampu bekerja, suka hura-hura, dan lain-lain, kiranya perlu dilihat kembali tentang bagaimana pendidikan itu dijalankan. Di sekolah, para siswa diajari biologi, kimia, fisika, sosiologi, bahasa inggris, bahasa indonesia, agama, dan lain-lain. Bahan pelajaran itu sudah ditentukan, termasuk cara mengajarkan dan bahkan buku yang harus diajarkan.
Manakala bahan pelajaran itu sudah diterangkan oleh semua guru yang bertugas dan waktu yang disediakan sudah habis, maka dilakukan penilaian melalui evaluasi atau ujian. Para siswa yang mampu menjawab sebagaimana target yang ditentuan dianggap lulus, sebaliknya mereka yang belum mampu menjawab soal-soal yang diberikan dianggap gagal. Pengertian pendidikan menjadi sangat sederhana, yaitu sekedar mengajarkan sekelompok pengetahuan yang dianggap penting itu.
Melihat kenyataan itu, sebenarnya ada sesuatu yang masih dilupakan dan justru merupakan hal penting, yaitu memberi contoh dan membiasakan. Perilaku manusia sebenarnya terbentuk dari contoh-contoh dan kebiasaan itu. Kedua orang tua ketika di pagi-pagi mendengar adzan subuh dan segera bangun, mengambil air wudhu, dan kemudian datang ke masjid, sholat berjama'ah, serta tidak lupa mengajak anak-anaknya, maka orang tua yang bersangkutan telah menjalankan proses pendidikan.
Sebaliknya, manakala orang tua tatkala mendengar suara adzan subuh, mereka tetap saja meneruskan tidurnya dan hal itulah yang menjadi kebiasaannya, maka disadari atau tidak, yang bersangkutan telah memberi contoh negatif kepada keluarganya. Keluarga itu tidak akan mungkin berhasil membentuk perilaku sebagai seorang muslim ideal. Manakala di antara salah seorang anaknya tidak meniru perilaku orang tuanya, melainkan ia segera datang ke masjid, maka bisa jadi, anaknya itu meniru tetangga atau gurunya di sekolah.
Mendidik adalah kegiatan memberi contoh dan membiasakan itu. Pertanyaannya adalah, bagaimana kepala sekolah dan guru-gurunya di sekolah telah menunaikan tugas-tugas itu. Manakala guru hanya sekedar mengajar biologi, dan yang lain mengajar kimia, fisika, sosiologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, agama, dan lain-lain, maka sebenarnya, hal itu masih ada sesuatu yang kurang. Dalam kontek pendidikan yang perlu dipertanyakan adalah siapa yang memberi contoh dan membiasakan terhadap para siswa agar berperilaku sebagaimana yang diharapkan itu. Manakala tidak ada, maka pantas saja para siswa setelah lulus masih berperilaku sembarangan. Hal itu disebabkan oleh karena mereka di sekolah tidak mendapatkan contoh dan juga tidak dibiasakan melakukan sesuatu yang diinginkan itu. Artinya, mereka sudah diajar tetapi belum dididik.
Jika demikian itu halnya, maka artinya pada umumnya anak bangsa ini sudah diajar tetapi belum dididik. Para siswa, setelah lulus, sekalipun hingga tingkat sekolah menengah atas, dan bahkan sampai perguruan tinggi sekalipun, tatkala mereka belum mampu bekerja adalah hal wajar. Mereka memang belum mendapatkan contoh dan pembiasaan untuk mampu bekerja dan bahkan juga berperilaku sebagaimana yang diharapkan itu. Mereka sudah lulus IPA, IPS, bahasa, atau apa saja, tetapi belum diberi ketrampilan untuk bekerja atau berperilaku yang seharusnya sehari-hari. Dalam Bahasa sekarang, mereka belum memiliki soft skill.
Alumni pondok pesantren, terkait dengan nilai pendidikan ini memiliki keunggulan. Mereka bertempat tinggal di lingkungan pondok. Sehari-hari oleh kyai pengasuhnya pada waktu shalat lima waktu, mereka diajak shalat berjama'ah, membaca al Qur'an, dan bahkan pada malam hari dibangunkan untuk shalat tahajud dan kemudian mendoakan kepada kedua orang tuanya. Selain itu, beberapa pesantren juga mengajari santrinya berwirausaha, sebagai petani, peternak, atau juga membuka usaha. Konsep pendidikan di pondok pesantren ternyata lebih utuh. Para santri tidak saja diajari tentang pengetahuan yang harus dikuasai, tetapi juga diberikan contoh dan dibiasakan untuk berperilaku sebagaimana yang diharapkan.
Saya pernah datang ke Maroko. Di negara itu terdapat sebuah etnis, bernama Susi. Anehnya, dari etnis itu sulit dicari lulusan sekolah, sekalipun hanya sekedar Sekolah Dasar. Anak-anak ketika sudah mampu berhitung, membaca, dan menulis, banyak yang meninggalkan sekolah. Mereka tidak merasa perlu menunggu ujian sekolah dan juga ijazah. Anak-anak yang meninggalkan bangku sekolah itu selanjutnya segera bergabung dengan orang tuanya untuk berlatih bekerja. Mereka mengikuti pendidikan, -------contoh danm pembiasaan, di rumah atau lingkungannya masing-masing. Ternyata dengan cara itu, di masyarakat Susi tidak ada pengangguran dan juga orang miskin. Gambaran itu terasa berbalik dengan di negara kita, yaitu banyak orang memiliki ijazah, dan juga bahkan gelar akademik yang kadang cukup banyak, tetapi menganggur dan juga tidak kaya.
Hal yang menarik lagi, Raja Maroko, sebagai upayanya untuk meningkatkan perekonomian di kerajaannya itu, pernah menunjuk seorang dari etnis Susi menjadi perdana menteri. Oleh karena mencari orang yang berijazah kesulitan, maka ditunjuk siapa saja, asalkan berasal dari etnis dimaksud. Akhirnya, nama yang diajukan sekalipun tanpa berbekalkan ijazah diterima. Ternyata perdana menteri dimaksud berhasil memperbaiki ekonomi di kerajaan itu. Tanpa sekolah, perdana menteri dimaksud sudah melewati proses pendidikan, yaitu diberi contoh dan dibiasakan.
Belajar dari pemikiran dan kenyataan tersebut, sebenarnya untuk memperbaiki pendidikan bangsa ini, kiranya tidak perlu harus meniru Etnis Susi, tetapi sekolah perlu mengembangkan ketauladanan dan pembiasaan perilaku ideal sebagaimana yang diinginkan. Memperbaiki pendidikan hanya sekedar mengambil kebijakan berupa mengubah kurikulum dan mempertahankan ujian nasional, sekalipun harus mengeluarkan dana besar, kiranya tidak banyak hal yang bisa diharapkan terhadap generasi ke depan. Wallahu a'lam.