Pada saat sedang di Madinah, saya memperoleh pengalaman yang saya rasakan sangat mengesankan, sehingga sulit terlupakan. Suatu ketika, saya berbelanja di pertokoan di depan Masjid Nabawi. Setelah membayar, seperti biasa, saya hitung uang pengembaliannya. Melihat apa yang saya lakukan, pemilik toko mengingatkan dengan kalimat sederhana dan singkat : 'ini ada di Madinah'.
Lewat peringatan itu, rupanya pemilik toko ingin meyakinkan saya, bahwa di Madinah tidak perlu khawatir ada orang yang akan berbohong dalam jual beli, tukar menukar, atau pembayaran apapun. Nabi mengajarkan agar umatnya selalu jujur dalam melakukan apa saja. Ajaran mulia itu tetap dipegangi hingga sekarang oleh penduduk Madinah al Munawwaroh. Betapa pentingnya sikap jujur atau tidak berbohong, dapat ditangkap dari kisah berikut. Dalam sebuah riwayat, ada seorang datang kepada nabi, menanyakan amalan apa yang mudah tetapi jika dikerjakan berhasil menjadikan dirinya sebagai seorang Islam yang baik. Pertanyaan sederhana itu dijawab oleh nabi, : 'jangan bohong'.
Selain melalui kisah tersebut, berbohong juga dikaitkan dengan kemunafikan. Ada tiga pertanda seseorang disebut munafiq, yaitu manakala berkata ia berbohong, manakala berjanji ia berkhianat, dan manakala bersumpah, ternyata sumpahnya selalu palsu. Orang munafiq tergolong buruk. Mereka itu tidak jelas, apakah benar-benar beriman atau tidak. Kelompok apapun, manakala di dalamnya terdapat orang munafiq, dan lebih-lebih kemunafikan itu ada pada diri pemimpinnya, maka pasti akan rusak, dan tidak akan mengalami kemajuan.
Dalam membangun masyrakat, Nabi mengajak orang menjalankan shalat, zakat, puasa, dan haji. Nabi juga mempersatukan kaum muhajirin dan kaum anshar. Persatuan dianggap sedemikian penting di dalam Islam. Nabi juga membangun masjid lalu memfungsikannya untuk berbagai jenis kegiatan, mulai dari shalat berjama'ah, pendidikan, menyelesaikan berbagai persoalan sosial, dan lain-lain. Lebih dari itu, Nabi juga membangun gerakan ekonomi dengan membuka lahan pertanian, di khaibar misalnya.
Sebagai kepala negara, nabi juga menunjuk orang-orang terpercaya untuk menduduki posisi-posisi strategis, misalnya menjadi penguasa di suatu daerah, pemimpin perang, mengurus harta kekayaan negara, memenuhi kebutuhan orang miskin dan anak yatim, maupun yang lain-lain. Di dalam menentukan para pemangku jabatan dimaksud, selain mempertimbangkan kemampuan atau kompetensi, diutamakan adalah orang-orang yang amanah atau bisa dipercaya.
Akhlak mulia bagi nabi, di dalam membangun masyarakat, adalah sangat diutamakan dan bahkan yang utama. Kegiatan ritual, seperti banyak mengingat Allah atau berdzikir, shalat, zakat, puasa, dan juga haji, adalah dimaksudkan untuk memperbaiki akhlak bagi siapapun yang menjalankannya. Shalat misalnya, agar mereka yang menjalankannya terjauh dari perbuatan keji dan mungkar. Berzakat untuk mendekatkan antara yang kaya dan yang miskin, berpuasa agar meraih derajat taqwa, dan seterusnya.
Dengan demikian, tugas nabi ke muka bumi, dengan membawa agama adalah agar kehidupan umat manusia menjadi terpelihara. Lewat ajaran agama, umat manusia diharapkan menjadi selamat dan berbahagia, dan bahkan keselamatan dan kebahagiaan itu dalam perspektif yang panjang, yaitu di dunia maupun di akherat. Oleh karena itu, tatkala sebuah bangsa ingin meraih cita-cita yang mulia, yaitu mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, selamat, sejahtera lahir maupun batin, sebenarnya agama telah memberikan tawaran yang jelas bagaimana meraih cita-cita itu.
Namun sayangnya, ajaran agama yang sedemikian indah dan komprehensif itu oleh sementara kalangan hanya dipahami dari aspek-aspek tertentu, terutama yang menyangkut kegiatan ritual, misalnya. Akibatnya, agama menjadi semarak hanya tatkala di masjid, pada saat menjalankan puasa, hari-hari besar Islam, menjalankan pernikahan, dan kematian. Sedangkan aspek lainnya, misalnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, ekonomi, menegakkan keadilan, kegiatan sosial, cara-cara bekerja yang tepat, dan seterusnya belum dianggap sebagai bagian dari kegiatan yang terangkum dalam tugas kenabian. Akibatnya, gambaran masyarakat ideal yang dicita-citakan tidak semakin dekat, tetapi justru sebaliknya, ialah menjadi semakin menjauh.
Nabi di dalam membangun masyarakat lewat pendekatan komprehensif, yaitu menyentuh baik jasmani maupun rokhani, lahir maupun batin, menempatkan ilmu pada posisi strategis, bekerja secara profesional, membangun dan menegakkan keadilan, kejujuran, menghargai dan menghormati sesama, menekankan pentingnya sillaturakhiem, dan membangun akhlak mulia. Dibangun hubungan vertikal dengan Tuhan dan sekaligus secara horizontal lewat berbagai kegiatan sebagai bentuk ibadah, baik dalam kegiatan ritual, intelektual, sosial, maupun kemanusiaan lainnya yang didasari oleh akhlak mulia. Maka seharusnya, cara atau pendekatan yang dicontohkan oleh nabi sebagaimana dimaksudkan itu menjadi pilihan tatkala bangsa ini menjadi benar-benar ingin sejahtera, adil, dan makmur. Wallahu a'lam