MUHAMMADIYAH-NU DAN GERAKAN EKSTREMISME
Dr. HM. Zainuddin, MA Jumat, 31 Juli 2015 . in Wakil Rektor I . 6989 views

 

Problem penanggulangan gerakan ekstremisme --saya lebih cocok menggunakan istilah ini dari pada radikalisme-- memang tidak mudah, sebab gerakan ini semakin massif dan bersifat transnasional. Berkali-kali penanggulangan yang dilakukan oleh TNI-Polri maupun Densus 88 selama ini masih bersifat sporadis. Terkesan bak bermain game, begitu sasaran muncul langsung tembak. Padahal pola gerakan ekstremisme ini bersifat ideologis dan massif. Oleh sebab itu tidak cukup hanya dengan penanggulangan seperti yang dilakukan oleh Densus 88 selama ini, maka perlu penanggulangan secara ideologis pula. Namun, jika penanggulangan gerakan ini tepat sasaran, maka tidak terlalu sulit untuk dilakukan.

Muhammadiyah dan NU merupakan gerakan sosial-keagamaan yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Organisasi tersebut sudah menjadi bagian dari tradisi dan bahkan pola pikir dan gaya hidup warga bangsa. Oleh sebab itu, sebetulnya tidak mudah menghilangkan atau merubah pola pikir dan gaya hidup yang sudah mendarah daging ini. Gerakan penetrasi dari luar tidak akan begitu saja dapat mempengaruhi mereka, kecuali hanya bersifat sesaat dan pragmatis. Lihat saja, bagaimana para anggota gerakan ekstremisme itu adalah mereka yang direkrut dari kalangan muda, berpendidikan rendah dan anak-anak yang kurang luas pergaulannya.

Muhammadiyah-NU, meski pada aspek tertentu berbeda (ikhtilaf), tetapi tidak pada aspek doktrin kenegaraannya. Pada aspek ini mereka memiliki visi yang sama, mempertahankan NKRI. Dengan demikian, organisasi keislaman yang tidak membela NKRI berarti melawan arus besar (mainstream) dua organisasi Islam Indonesia tersebut. Apalagi NU nyata-nyata selalu mengusung wacana besar “Islam kultural” khas Indonesia, bahkan dalam Muktamarnya, 1-5 Agustus nanti, tema besar yang diusung adalah “Islam Nusantara”, jelas ini merupakan penegasan, bahwa keislaman NU adalah keislaman genuin Indonesia. Meski Muhammadiyah adalah organisasi Islam puritan, namun puritanisme Muhammadiyah tetap menolak ekstremisme dan penetrasi ideologi keislaman transnasional yang melakukan kekerasan atas nama agama sebagaimana yang dilakukan oleh ISIS dan kelompok Islam lain yang sejalan dengannya. Perbedaan Muhammadiyah-NU lebih pada persoalan hukum Islam (Baca: Fiqh) yang bersifat trivial, furu’iyyah-khilafiyyah, bukan teologis-fundamental, menyangkut doktrin kenegaraan. Sementara itu NU dengan doktrin tawazun, tawassuth dan tasamuh-nya tetap menolak penetrasi ideologi Barat yang transnasional, dan segala macam bentuk kekerasan yang berbau agama, bahkan NU sering melakukan advokasi-advokasi terhadap kelompok agama atau aliran lain yang termarginalkan dan terdiskriminasi, seperti Ahmadiyah dan Syi’ah. Islam Nusantara jelas menegaskan adanya bentuk pembelaan terhadap kehidupan keberagamaan (Islam) di Indonesia yang sarat dengan budaya dan tradisi lokal yang berkembang. Namun bukan berarti bahwa akomodasi NU terhadap budaya dan tradisi tersebut  menegaskan bahwa keislaman NU identik dengan budaya dan tradisi yang sudah mengakar itu, melainkan lebih merupakan bentuk dari pola dan pendekatan yang bersifat ngemong atau pola dan pendekatan yang persuasif-akomodatif dalam berdakwah, atau dengan istilah lain “islamisasi” tradisi dan budaya, dan ini pada umumnya berada pada masyarakat desa. Sesungguhnya ini juga tidak berbeda dengan Muhammadiyah, yang melakukan “islamisasi” di kalangan masyarakat kota.

Sesungguhnya islamisasi Muhammadiyah-NU merupakan sharing islamisation, pembagian wilayah garap, dan ini seperti merupakan kesepakatan tidak tertulis dalam pembagian wilayah islamisasi di Indonesia. Oleh sebab itu hal ini justru merupakan modal besar Islam Indonesia dalam pembagian wilayah dakwah, tidak perlu dipermasalahkan. “Islam berkemajuan” dan “Islam Nusantara” yang diusung dalam tema Muktamar kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini memang perlu dirumuskan secara baik yang hasilnya dapat dijadikan sebagai platform wawasan keislaman Indonesia ke depan dan pembangunan Indonesia secara bersamaan.

Tantangan Lebih Kompleks

Muhammadiyah-NU harus menjadi organisasi Islam Indonesia yang dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan Indonesia, tidak hanya dulu, melainkan kini dan yang akan datang. Sebab tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks seiring dengan perkembangan zaman itu sendiri. Kontribusi Muhammadiyah-NU tentu menjadi harapan semua warga bangsa untuk menentukan nasib Indonesia ke depan.

Era global menuntut masyarakat memiliki pandangan (world-view) yang lebih luas dan bidang garap yang lebih bersifat mondial dan humanistik. Ideologi dan bahkan agama dituntut mampu melakukan proyek atau bidang garap seperti ini, jika tidak maka ideologi dan agama akan ditinggalkan oleh manusia. Era global menuntut relasi sosial berbasis pada pertimbangan kemanusiaan, bukan golongan dan sektarian, ini artinya bahwa ideologi dan agama dituntut mampu mengedepankan dan merumuskan konsep kemanusiaan dan sosialnya secara komprehensif dan universal melintasi batas etnisitas, sekte, ideologi dan agama itu sendiri. Dalam era global, semua organisasi sosial-keagamaan tidak bisa lepas dari bidang garap yang terkait dengan kelompok-kelompok interest-group seperti petani, buruh, nelayan dan sebagainya. Nah, bagaimanakah Muhammadiyah-NU menghadapi persoalan ini? Bagaimana dengan watak Muhammadiyah yang puritan, elitis dan anti tradisi, mampu hidup berdampingan dengan tradisi dan budaya masyarakat global dan multikultural? Haruskah Muhammadiyah bertahan dengan watak aslinya, atau bersedia melakukan adaptasi dan akomodasi dengan tuntutan budaya yang ada?

Secara ideologis, Muhammadiyah mengklaim diri sebagai organisasi sosial keagamaan yang puritan dan anti TBC (takhayul, bid'ah dan khurafat). Konsekuensi dari ini semua adalah, Muhammadiyah tidak bisa tidak harus tegas melawan budaya yang mengakar dalam masyarakat, terutama di Jawa. Selama ini gerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah masih berkutat pada persoalan di atas. Kalaupun ada pembaruan, belum memiliki arti yang substantif. Resiko organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah yang anti tradisi ini memang tidak kecil, sebab tradisi dan budaya dalam suatu masyarakat memiliki akar yang luar biasa kuatnya. Oleh sebab itu, untuk merubahnya perlu waktu dan pendekatan yang akomodatif dan toleran. Lebih dari itu ia harus melintas batas agama. Misalnya saja, keberanian untuk memprakarsai dialog antarumat beragama, doa bersama dan sebagainya. Beranikah Muhammadiyah melakukan gerakan lebih jauh seperti itu? Sementar itu NU harus dapat melakukan terobosan-terobosan, baik di bidang hukum, politik maupun pemikiran keislamannya. Program-program peningkatan peberdayaan ekonomi haruslah menjadi concern yang serius, sebab mayoritas jama’ah NU berada dalam masyarakat desa yang masih memerlukan uluran tangan elitnya.

Dalam era global dan multikultral, Muhammadiyah-NU sudah saatnya untuk terus melakukan evaluasi dan reorientasi dalam melakukan pembaruannya. Sebab, bagaimanapun kondisi objektif masyarakat dan konteks sosial harus dilihat secara cermat untuk melakukan dakwah ke depan. Kecenderungan-kecenderungan untuk lebih peka terhadap hal-hal yang bersifat trivial, khilafiyah dan furuiyyah sudah saatnya untuk dihilangkan. Persoalan yang lebih besar, seperti kepekaaan terhadap problem-problem sosial: masalah hak-hak asasi manusia (HAM), demokratisasi, supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kemiskinan dan seambrek isu-isu sosial lainnya merupakan lahan garap yang mendesak yang mesti dilakukan dan diprioritaskan oleh organisasi sosial Islam seperti Muhammadiyah-NU ini. Karena kita menyadari, bahwa selama ini secara empirik lembaga-lembaga Islam masih belum memiliki kekuatan yang berarti jika dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan bisnis maupun politik yang ada. Kita sadar, bahwa pusat-pusat kebudayaan dan kekuatan-kekuatan yang berpengaruh sekarang ini bukan berada pada lembaga Islam, melainkan ada pada dunia bisnis dan politik. Dalam setting seperti ini lembaga sosial kemasyarakatan Islam terancam oleh subordinasi. ***

 

 

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up