POTRET RELASI ANTARUMAT BERAGA DI KOTA MALANG
Hari Rabu, 5 Agustus 2015 lalu, di Polinema telah diselenggarakan forum silaturrahim antartokoh se-Malang Raya. Dalam forum ini juga dikokohkan “Deklarasi Damai” anatartokoh agama (enam tokoh). Yang menarik, Korem 083/ Baladhika Jaya telah menyumbangkan kepada enam tempat ibadah senilai masing-masing 10 jt. Inilah sebuah apresiasi yang menarik dari Korem 083/ Baladhika Jaya. Berkat kerjasama antartokoh di Malang Raya selama ini, maka kondisi kerukunan antarumat beragama dapat diatasi, dan hampir bisa dikatakan tidak ada konflik antarumat beragama di Malang Raya ini. Kalaupun ada masih sebatas wajar dan bisa segera diselesaikan.
Dalam konteks relasi antarumat beragama, hasil penelitian penulis menunjukkan, bahwa terdapat dua formasi sosial elit agama di Malang, yaitu fundamentalis dan moderat. Dari kedua formasi elit agama tersebut, maka melahirkan konstruksi tentang pluralisme dan dialog antarumat beragama yang bervariasi, yaitu:
Pertama, bagi kelompok elit Islam fundamentalis, konstruksi pluralisme agama berwajah deontic-diachronic/ non-reduksionis, artinya bahwa ditetapkannnya Muhammad saw. sebagai pembawa risalah Islam terakhir, memutuskan mata rantai penyempurnaan tradisi agama, sekaligus menuntut seluruh umat manusia untuk memeluk wahyu terakhir ini sebagai konsekuensi dari pengamalan dan pelaksanaan perintah Ilahi.
Sementara itu terdapat dua wajah pluralisme elit agama moderat. Bagi elit Islam moderat, pluralisme agama mereka berwajah normatif (normative-religious pluralism), artinya mereka tetap menyeru toleransi dan menjauhkan arogansi. Sedangkan bagi elit Kristen moderat (baik Protestan maupun Katolik) pluralisme agama yang mereka konstruk berwajah normatif-soteriologik (normative-soteriological-religious pluralism), artinya mereka menyeru toleransi dan menjauhkan arogansi, dan menurut mereka, penganut agama-agama besar di dunia memiliki kedudukan yang sama dalam konteks justifikasi keyakinan agama. Atau dengan kata lain, mereka memandang bahwa kebenaran agama bersifat nisbi; kebenaran setiap agama memiliki nilai yang sama dan tidak satupun berada di atas yang lainnya, dan setiap agama tidak bisa dipaksa bersatu dan meniadakan agama yang lain.
Kedua, bahwa sikap keberagamaan elit agama di Malang juga bervariasi. Bagi Islam fundamentalis sikap keberagamaan mereka bercorak eksklusif-Islamsentris dan bagi elit Islam moderat ada yang bercorak inklusif-Islamsentris di satu sisi, dan bercorak inklusif-teosentris di sisi lain. Sementara itu, bagi elit agama moderat dari kalangan Kristen bercorak plural.
Ketiga, bahwa pola relasi dan dialog antarumat beragama elit agama di Malang juga bervariasi. Bagi elit Islam fundamentalis, pola relasi mereka bercorak ko-eksistensi, artinya bahwa mereka bisa menerima kehadiran agama lain (toleran). Hanya saja toleransi mereka lebih menunjukkan pada tataran permukaan, belum menyentuh pada subsatansinya. Sementara bagi elit agama moderat (baik Islam maupun Kristen) bercorak pro-eksistensi, yaitu mereka beranggapan, bahwa agama-agama eksistensinya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan keberadaannya untuk kehidupan bersama. Agama-agama berjuang bersama untuk mengatasi masalah kemanusiaan bersama, misalnya kebodohan, kemiskinan, korupsi dan sebagainya. Semua agama bersama-sama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan dan memberantas kebatilan dan kezaliman. Sementara itu orientasi dialog antarumat beragama yang dibangun oleh elit agama di Malang (baik elit Islam maupun Kristen) pada umumnya berorientasi kemasyarakatan (dialogue in community/ dialogue of life), kecuali dari elit Islam fundamentalis yang berorientasi teologis-islamisasi
Di kalangan elit Islam terdapat dua kecenderungan, yaitu fundamentalis di satu sisi, dan moderat pada sisi lain, atau inklusif dan teosentris di satu sisi, dan fundamentalis-ekslusif di sisi yang lain. Kenapa elit Kristen cenderung moderat dan plural tidak sebagaimana elit Islam? Demikian pula, kenapa elit Katolik tidak mengikuti kelompok evangelis yang ekslusif, namun mereka justru mengikuti pola pikir dan tindakan yang diambil oleh para tokoh pluralis yang Calvinis dan Lutherian? Hal ini, karena doktrin extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar gereja atau di luar agamanya) sudah diganti dengan "doktrin keselamatan umum" oleh Konsili Vatikan II pada tahun 1962.
Sebagaimana pengamatan penulis, bahwa pada umumnya hampir semua elit Kristen --khususnya di Malang-- memiliki pandangan yang plural. Hal ini bisa dimaklumi, karena istilah pluralisme agama selama ini dipahami sebagai human response yang hanya bersifat sosiologis. Inilah yang memang membedakan antara Islam dan Kristen di satu sisi.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Legenhausen, bahwa pluralisme agama menurut Legenhausen merupakan kelanjutan dari Reformasi dan Liberalisme (Protestanisme Liberal) yang berusaha mencari landasan teologis menuju toleransi beragama. Tokoh pluralisme agama ini antara lain Frederick Schleirmacher (1768-1834), Rudolf Otto (1869-1987) dan kemudian dipopulerkan oleh John Hick di dunia modern sekarang. Legenhausen sendiri menganggap pluralisme agama ini memiliki kelemahan mendasar jika dikaitkan dengan pemikiran Islam, karena pemisahan agama dari tatanan sosial didasarkan pada asumsi bahwa pemisahan tersebut sesuai dengan semua sekte, padahal yang demikian itu secara langsung bertentangan dengan Islam.
Konstruksi sosial elit agama tentang pluralisme dan dialog antarumat beragama tidak terlepas dari teks-teks dan pola pikir yang digunakan oleh para tokoh pendahulunya. Mereka berargumentasi dengan dasar-dasar teks yang dapat menguatkan pendapatnya. Dalam konteks ini, elit agama di Malang memposisikan teks-teks tersebut sebagai posisi sentral dan sebagai instrumen pandangan hidup (world view) mereka. Mereka juga beradaptasi dengan tindakan dan interpretasi para pendahulunya yang diikuti. Sebagaimana kata Ibn Khaldun (tt: 29) bahwa manusia mengikuti pola tindakan pemimpinnya (al-Nas 'ala Dini Mulukihim). Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh elit agama di Malang tidak dapat terlepas dari pendapat para pendahulunya. Dalam konteks ini maka, jika mereka dari anggota atau pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), maka mereka akan mengikuti fatwa dan pola pikir MUI, jika mereka dari pesantren atau NU, maka mereka akan mengikuti pola pikir pesantren atau NU. Jika mereka dari pesantren, NU dan MUI, maka mereka akan memilih di antara pilihan-pilihan yang ada. Dalam konteks penelitian ini, maka kelompok elit fundamentalis Islam lebih memilih dan mengikuti pola pikir MUI. Sementara itu, kelompok elit moderat Islam lebih memilih dan mengikuti para pendahulunya, para ulama Shafi'iyyah dan NU yang tasamuh, tawassut} dan tawazun. Demikian pula jika mereka dari Kristen atau Katolik, maka mereka akan mengikuti pola pikir Kristen atau Katolik. Maka, pola pikir (model for reality) dan juga pola tindakan tersebut (model of reality) --menggunakan istilah Tibbi-- akan terkait dengan tokoh pendahulunya dan institusi di mana ia berada.