TANTANGAN NU KE DEPAN: PERLU PEMIMPIN BERWAWASAN GLOBAL
Dr. HM. Zainuddin, MA Sabtu, 1 Agustus 2015 . in Wakil Rektor I . 5020 views

 

Perhelatan besar jam’iyyah NU kini telah berlangsung (1-5 Agustus) di tempat kelahirannya, Jombang. Muktamar kali ini tentu memiliki tantangan yang lebih besar dibanding muktamar-muktamar sebelumnya, karena dari sini akan menentukan perjalanan organisasi Islam terbesar di Indonesia ke depan dalam percaturan dunia global. Jika start muktamar kali ini tidak visioner, maka akan membawa nasib NU ke depan menjadi suram.

Paling tidak ada dua hal penting yang perlu ditentukan secara matang dan visioner terkait dengan muktamar nanti. Pertama adalah soal profil ketua umum (rais ‘am), dan yang kedua adalah soal program besar ke depan. Siapa profil pemimpin NU ke depan pasca Said Aqil? Dan siapa tokoh NU yang mampu menjadi penggerak perubahan besar pasca Gus Dur?

Perjalanan NU kemaren hendaknya menjadi pertimbangan sebagai bahan evaluasi dan menuju program ke depan yang lebih baik dan visioner. Sebab yang terjadi selama ini NU terlena dengan khittah-nya. Kecenderungan berpolitik bagi warga nahdhiyyin sudah begitu kental dan membudaya. Maka sebelum meninggal, Gus Dur pernah mengingatkan kepada warga NU, terutama para kiainya, untuk tidak berebut menduduki jabatan di pemerintahan. Peringatan tersebut disampaikan oleh Gus Dur setelah marak dari kalangan kiai NU yang berebut mendaftarkan diri sebagai calon Bupati di beberapa daerah, dan ini terjadi hingga saat ini.

Peringatan ini memang harus dipahami oleh para elit kiai di NU. Gus Dur sangat paham dengan psikologi warga nahdhiyyin, sehingga beliau mampu memimpin NU cukup lama dan berhasil. NU besar sebetulnya tidak lepas dari peran yang dimainkan oleh beliau. Sebagai seorang pemimpin NU, beliau juga sangat paham dengan konsep kultur, kebangsaan dan kenegaraan. Oleh sebab itu, misi yang dikembangkan beliau dalam membawa umat dan bangsa Indonesia ke depan ini adalah misi keumatan dan kebangsaan untuk menuju terwujudnya masyarakat yang berkeadilan dan berkemakmuran.

Tantangan ke Depan

Memasuki masyarakat ekonomi Asia (Asian Economic Community), masalah sumber daya manusia (SDM) semakin memperoleh perhatian yang amat serius dari hampir seluruh masyarakat Asia. Era ini juga disebut sebagai millenium ke-3, yang dianggap sebagai puncak badai globalisasi yang menerpa kawasan Asia Tenggara. Kondisi seperti ini tentu akan berpengaruh terhadap akselerasi perubahan di seluruh lini kehidupan manusia: sosial, politik, ekonomi dan budaya. ASEAN community (yang akhir tahun ini sudah terjadi), yaitu pasar bebas, baik pasar pendidikan maupun pasar ekonomi. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi jika Indonesia sudah dimasuki oleh lalu lalang perdagangan bebas Asean (Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Myanmar, Cambodia, Brunei, Vietnam). Pasti terjadi persaingan yang ketat, tidak saja pendidikan dan ekonomi, tetapi juga budaya dan nilai hidup.

Sementara itu Millenium Development Goals (MDGs) menetapkan delapan sasaran prorgram yaitu: (1) memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim (eradicate extreme hunger and poverty), (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua (achieve universal primary education), (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (promote gender equality and empower women), (4) menurunkan angka  kematian anak (reduce child mortality), (5) meningkatkan kesehatan ibu (improve maternal helath), (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya  (combat HIV/AID, malaria and other diseases), (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup (ensure environmental sustainability), dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (develop a global partnership for development).  Kedelapan sasaran tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat issu besar yakni kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan  lingkungan (Sudijono Sastroatmodjo, 2012: 3).

Dalam konteks Bonus Demografi, sebagaimana yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa. Kelak pada 2045, mereka yang usia 0-10 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan yang usia 10-20 tahun berusia 45-54. Pada usia-usia ini mereka akan memegang peran penting di kancah Indonesia. Mereka diharapkan akan menjadi generasi yang cerdas, produktif, inovatif, dan berperadaban unggul. Mereka akan menjadi generasi emas yang sekaligus juga menjadi pemimpin bangsa (Ibid, 4).

Potensi kuantitas manusia Indonesia berada pada posisi ke-4 dalam daftar negara berpopulasi tertinggi, demikian pula potensi kekayaan alamnya. Lembaga Survey Internasional Goldman Sach memprediksi, Indonesia akan berada dalam 10 besar negara dengan ekonomi termaju di tahun 2050 bersama China, India (dan masih di atas Jepang maupun Korea Selatan). Sementara itu laporan Mc-Kinsey Global Institute 2012 melaporkan, bahwa tahun 2030 Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar di dunia nomor tujuh (Mc-Kinsey, 2012). Suatu posisi yang optimistik, yang tentu saja mungkin tercapai bila Indonesia memiliki pemimpin berkualitas dan sumber daya manusia yang secara kuantitatif besar sekaligus berkualitas. Oleh sebab itu diperlukan pemimpin Indonesia di masa depan yang memiliki daya kompetisi yang kuat, baik kompetisi eksternal maupun internal.

Menyadari akan kompleksnya peluang dan tantangan di atas, maka perlu dirumuskan hal-hal yang menyangkut NU ke depan, yaitu bagaimana mempersiapkan pemimpin, dan bagaimana merancang program 5 tahunan ke depan (road map). Paling tidak ada enam program besar yang perlu dirumuskan, yaitu: pertama, bagaimana NU menghadapi era globalisasi, MEA dan MDGs; kedua, bagaimana dengan bonus demografi, NU mempersiapkan generasi emas pada dasawarsa ke depan; ketiga, bagaimana NU merumuskan Islam dalam wawasan kebangsaan dan kenegaraan di era global; keempat, bagaimana NU berperan dalam  memperkokoh NKRI; kelima, bagaimana NU meposisikan peran politiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; keenam, bagaimana NU memposisikan perannya dalam konteks pembangunan ekonomi keumatan.

Mempersiapkan Pemimpin Ideal

Figur pemimpin yang ideal memiliki jiwa demokratis, yaitu seorang pemimpin yang memberikan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia),  dst. Gus Dur menyebut nilai pokok demokrasi adalah kebebasan, persamaan, musayawarah dan keadilan. Kebebasan artinya kebebasan individu di hadapan kekuasaan negara dan adanya keseimbangan antara hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari masyarakat (Zainuddin, 2002). Dalam konteks jam’iyyah NU, maka pemimpin demokratis harus memiliki sikap toleran terhadap jama’ahnya, memberikan kebebasan untuk perpendapat dan bersedia untuk bermusyawarah dalam memutuskan suatu perkara.

Pemimpin NU ke depan selain visioner, juga harus memiliki kompetensi sosial, etis dan komunikatif. Sebab tantangan yang dihadapi NU ke depan semakin kompleks menyangkut berbagai aspek kehidupan: sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Sosok pemimpin yang memiliki wawasan humanis dan etis mutlak diperlukan, dan NU pernah memiliki figur seperti ini, yaitu Gus Dur.

Kepemimpinan di NU masih menganut pola kepemimpinan patriarchal, artinya seorang elit figur masih menjadi penentu organisasi --meski seringkali juga terjadi dinamika. Pola hubungan elit pemimpin NU dan jama’ah di tingkat bawah masih kental dengan nuansa kepatuhan dan ta’zim-nya, namun juga tanpa meninggalkan sikap kritisnya, dan kritik di sini harus tetap dalam koridor etika dan moral. Maka dalam konteks ini, saya kira Gus Dur benar ketika menegaskan bahwa Islam menjadi besar jika mengutamakan politik sebagai moralitas, bukan politik sebagai institusi dan kepentingan pribadi. Dan itulah yang sesungguhnya diemban Nabi dalam risalahnya. Apa pun namanya yang dipraktekan Nabi dalam memimpin umat di Madinah sebetulnya tidak lepas dari urusan penegakan moral tersebut (Innama buistu liutammima husn al-akhlaq).

Program Lima Tahunan ke Depan

Pemimpin NU terpilih mesti melakukan review terhadap program kerja yang telah dirancang selama ini. Berbagai persoalan yang tak kalah pentingnya menyangkut program peningkatan umat, baik secara konseptual maupun sosial harus segera diselesaikan. Saat ini warga NU yang dibentuk dari pendidikan modern sudah semakin bertambah. Banyak para santri setelah menamatkan pendidikan di pesantren yang melanjutkan program Doktor baik di Barat maupun Timur Tengah. Inilah aset yang mesti dimanfaatkan secara optimal. Fenomena munculnya generasi baru intelektual NU sekarang sudah terlihat di kelas-kelas menengah kota dan beberapa perguruan tinggi. Lahirnya para generasi pemikir muda yang bergabung dalam forum-forum kajian di berbagai wilayah kota besar di Jawa telah menandai dimulainya era kebangkitan baru intelektual muda NU. Mereka harus dirangkul dan diajak bersama-sama untuk merancang dan sekaligus menyelesaikan masalah keumatan.

NU harus menjadi organisasi Islam Indonesia yang dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan Indonesia, tidak hanya dulu, melainkan kini dan yang akan datang. Sebab tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks seiring dengan perkembangan zaman itu sendiri. Kontribusi NU tentu menjadi harapan semua warga bangsa untuk menentukan nasib Indonesia ke depan.

Era global menuntut masyarakat memiliki pandangan (world-view) yang lebih luas dan bidang garap yang lebih bersifat mondial dan humanistik. Ideologi dan bahkan agama dituntut mampu melakukan proyek atau bidang garap seperti ini, jika tidak maka ideologi dan agama akan ditinggalkan oleh manusia. Era global menuntut relasi sosial berbasis pada pertimbangan kemanusiaan, bukan golongan dan sektarian, ini artinya bahwa ideologi dan agama dituntut mampu mengedepankan dan merumuskan konsep kemanusiaan dan sosialnya secara komprehensif dan universal melintas batas etnisitas, sekte, ideologi dan agama itu sendiri. Dalam era global, semua organisasi sosial-keagamaan tidak bisa lepas dari bidang garap yang terkait dengan kelompok-kelompok interest-group seperti petani, buruh, nelayan dan sebagainya. Nah, bagaimanakah NU menghadapi persoalan ini?

Dalam era global dan multikultral, NU sudah saatnya untuk terus melakukan evaluasi dan reorientasi dalam melakukan pembaruannya. Sebab, bagaimanapun kondisi objektif masyarakat dan konteks sosial harus dilihat secara cermat untuk melakukan dakwah ke depan. Kecenderungan-kecenderungan untuk lebih peka terhadap hal-hal yang bersifat trivial, khilafiyah dan furuiyyah sudah saatnya untuk dihilangkan. Persoalan yang lebih besar, seperti kepekaaan terhadap problem-problem sosial: masalah hak-hak asasi manusia (HAM), demokratisasi, supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kemiskinan dan seambrek isu-isu sosial lainnya merupakan lahan garap yang mendesak yang mesti dilakukan dan diprioritaskan oleh organisasi sosial Islam seperti NU ini. Karena kita menyadari, bahwa selama ini secara empirik lembaga-lembaga Islam masih belum memiliki kekuatan yang berarti jika dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan bisnis maupun politik yang ada. Kita sadar, bahwa pusat-pusat kebudayaan dan kekuatan-kekuatan yang berpengaruh sekarang ini bukan berada pada lembaga Islam, melainkan ada pada dunia bisnis dan politik. Dalam setting seperti ini lembaga sosial kemasyarakatan Islam terancam oleh subordinasi.

Oleh sebab itu, muktamar kali ini harus dapat merumuskan keputusan-keputusan penting menyangkut program ke depan. Paling tidak empat issu besar MDGs yaitu: kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan dapat dirancang untuk menjadi bidang garapan. Semoga.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up