Pada hari raya kurban (‘Id al-Adha) umat Islam disunnahkan untuk mengumandangkan takbir dan tahmid termasuk membaca talbiyah bagi jamaah haji di Makkah. Takbir dan tahmid artinya mengakui dan menegaskan bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Besar, tidak ada Tuhan selain Allah Yang yang patut dipuji dan disanjung. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Tiada Tuhan yang wajib dan berhak disembah dan diagung-agungkan selain Allah SWT itu jua. Inilah tauhid yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan para Nabi dan Rasul Allah Saw. Tauhid adalah penegasian terhadap seluruh tuhan-tuhan yang ada di dunia ini, baik itu tuhan materi, tuhan kekuasaan, tuhan pangkat dan kedudukan maupun tuhan-tuhan yang lain. Semua tuhan-tuhan itu harus kita singkirkan dari benak pikiran kita.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, boleh saja seseorang kehilangan pangkat dan kedudukan, jabatan dan kekuasaan, tetapi yang tidak boleh hilang adalah keyakinan dan keimanan kepada Allah SWT. Jangan sampai karena jabatan dan kedudukan tadi kemudian umat Islam menyembah, memuji dan mengagungkan kekuasaan dan penguasa, mengorbankan orang lain dan keimanannya. Bisa saja dalam hidup ini seseorang kehilangan kekayaan, merugi dalam berdagang, tetapi tidak boleh merugi di hadapan Allah SWT.
Nabi Ibrahim As. adalah figur manusia yang berjiwa tauhid, yang bersedia berkorban untuk mencapai derajat takwa. Ibadah korban merupakan manifestasi ajaran tauhid yang tidak terlepas dari semangat pemupukan jiwa solidaritas sosial di sekitar kita. Dalam surat al-Hajj ayat 27-28, Allah berfirman:
Dan berserulah kepada manusia untuk melaksanakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta (yang lurus) yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut asma Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah berikan kepada mereka, berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian dari padanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.
Kepedulian sosial (Ith’am al bais al-faqir) adalah merupakan satu kesatuan ayat yang tidak bisa dipisahkan dari inti ajaran tauhid dan iman. Di samping itu semua tugas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi setiap muslim merupakan tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan, baik secara individual maupun secara kolektif.
Jika kita gali lebih dalam, sesungguhnya ibadah korban itu lebih dari sekadar ibadah simbolik dengan menyembelih binatang ternak, tetapi ia sarat dengan nilai-nilai substansial dan fundamental. Umat Islam diperintahkan untuk memiliki kekokohan iman dan mentaati semua perintah Tuhan, meski tampak berat sekalipun. Perintah menyembelih anak dalam kasus Ibrahim merupakan ujian yang sangat luar biasa bagi seorang Bapak. Umat Islam diperintahkan untuk meyakini sepenuhnya, bahwa apa yang datang dari Allah SWT adalah benar, tidak boleh diragukan. Maka makna perintah berkorban dalam konteks ini bukan sekadar menyembelih ternak dan kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir-miskin, begitu setiap tahun dilakukan ramai-ramai, dan pada saat yang sama mereka juga mengorbankan fakir-miskin tersebut untuk kepentingan pribadinya, ambisi politiknya dan segala macam bentuk mengorbankan orang lainnya. Yang diperintahkan oleh Allah SWT adalah berkorban untuk melahirkan nilai-nilai takwa, bukan membuat orang lain jadi korban, atau terkorbankan, seperti yang terjadi selama ini dan beberapa praktik pembangunan yang dilakukan oleh sejumlah elit pemilik modal di negara-negara sekuler, seperti yang dilukiskan oleh Peter L. Berger dalam Piramida Korban Manusia-nya. Demikian juga yang dilakukan oleh beberapa elit penguasa dan pengusaha kita di negeri ini. Itulah maka Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya: “Bukan daging dan darahnya yang sampai kepada Allah, melainkan takwamu”. (QS. Al-Hajj:37).
Jika kita perhatiakn secara cermat, bahwa semua amal ibadah dalam ajaran Islam hakikatnya merupakan penjabaran dari pelaksanaan tanggung jawab sosial, yang erat kaitannya dengan masalah kepedulian sosial, mulai dari shalat, puasa, zakat, haji dan syariat korban. Misalnya ibadah puasa mengandung hikmah menumbuhkan rasa kasih sayang kepada kaum dhuafa’. Zakat, infaq dan shadaqah memiliki hikmah memberantas sifat kikir dan membantu kaum mustadh’afin dan mengentas kemiskinan. Demikian juga ibadah haji memupuk jiwa ketundukan kepada Tuhan dan memahami makna egalitarianisme dalam masyarakat. Dengan demikian semua ajaran dan ibadah dalam Islam selalu terkait dengan relasi vertikal dan horizontal, hablun minallah wa hablun minannas.
Orang Islam tidak dibenarkan hidup egois dan melepaskan diri dari tanggung jawab sosialnya. Masing-masing pribadi muslim diperintahkan untuk peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini Rasulullah saw. sangat benci terhadap orang Islam yang bersikap acuh terhadap kepentingan masyarakat dan mengabaikan perjuangan agamanya, sebagaimana sabda beliau: “Barang siapa yang tidak mau mementingkan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka”.
Kesediaan orang mukmin meyembelih ternak korban, sebagaimana yang dicontohkan oleh nabi Ibrahim as. merupakan wujud pengamalan iman untuk lebih mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. dengan rasa taat dan ikhlas karena Allah semata. Kemudian, daging korban yang dibagi-bagikan kepada fakir-miskin itu secara kongkret telah menunjukkan kepedulian orang-orang beriman untuk turut melaksanakan ajaran keadilan sosial dan rasa kesetiakawanan yang diajarakan oleh Islam. Sebab, ibadah korban jelas merupakan pengamalan ajaran Islam yang melambangkan rasa solidaritas dan kasih sayang antarsesama manusia. Perintah korban juga merupakan manifestasi kongkret seberapa jauh Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk senantiasa memiliki perhatian sosial di sekelilingnya. Di samping itu semua tugas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi setiap muslim merupakan tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan, baik secara individual maupun secara kolektif, terutama bagi para pemimpinnya.
Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin tidak dibenarkan hidup egois dan melepaskan diri dari tanggung jawab sosialnya. Masing-masing pribadi muslim diperintahkan untuk peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Mereka dituntut untuk berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan lahir dan batin, pembangunan manusia seutuhnya, bukan dalam slogan-slogan, tetapi diwujudkan secara kongkret dalam masyarakat.
Ibadah korban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim juga sejatinya lebih dari sekadar menyembelih ternak korban untuk dibagi-bagikan kepada fakir dan msikin, tetapi secara substansial ia merupakan ibadah memerangi egoisme dan menyerahkan jalan hidup ini hanya kepada Tuhan semata. Tidak akan pernah terjadi seorang ayah yang karena perintah Allah SWT. bersedia menyembelih anak kesayangannya untuk dijadikan korban sebagaimana Nabi Ibrahim. Demikian pula Ismail, yang dengan ikhlas dan lapang dada menerima perintah tersebut untuk dikorbankan. Ini adalah peristiwa yang amat berat dan luar biasa yang harus ditanggung oleh keluarga. Itulah profil pemimpin yang mampu memerangi sikap egoisme. Dari deegoisme inilah kemudian melahirkan sikap toleran dan peduli sosial dari figur seorang pemimpin.
Seharusnya kita belajar dari peristiwa korban seperti yang dialami oleh Nabi kita Ibrahim As. seorang figur pemimpin yang jauh dari sikap egois, dan bebas dari godaan dan rayuan materi. Nabi Ibrahim saat itu sempat tergoda oleh rayuan dan bujukan syetan, supaya membatalkan niat berkorban. Tetapi karena kekokohan iman itulah beliau mampu mengatasi segala macam godaan dan cobaan tersebut dan berhasil melepaskan kepentingan pribadinya untuk tujuan yang lebih mulia, nilai-nilai kemanusiaan. Wallahu a'lam bi al-Shawab.