TRADISI "SURO" DALAM MASYARAKAT JAWA
Dr. HM. Zainuddin, MA Jumat, 23 Oktober 2015 . in Wakil Rektor I . 133298 views

 

Istilah suro yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia khususnya Jawa, berasal dari ‘asyura (bahasa Arab) yang berarti  kesepuluh (maksudnya tanggal 10 bulan suro). Istilah itu kemudian dijadikan sebagai bulan permulaan hitungan dalam takwim jawa. Sementara itu dalam Islam, istilah suro sebagaimana yang telah dipahami oleh mayoritas masyarakat Islam, adalah bulan Muharam. Muharam adalah bulan yang telah lama dikenal sejak pra Islam. Kemudian di zaman Nabi hingga Umar Ibnu Khattab di resmikan sebagai penanggalan tetap Islam.

Secara etimologis Muharam berarti bulan yang diutamakan dan dimuliakan. Makna bahasa ini memang tidak terlepas dari realitas empirik dan simbolik yang melekat pada bulan itu, karena Muharam sarat dengan berbagai peristiwa sejarah baik kenabian maupun kerasulan. Muharam dengan demikian merupakan momentum sejarah yang sarat makna. Disebut demikian karena berbagai peristiwa penting dalam proses sejarah terakumulasi dalam bulan itu.

Beberapa peristiwa penting terkait dengan suro itu misalnya peristiwa para Nabi dan Rasul Allah. Nabi Adam as. diterima taubatnya ketika masih berada di surga dan ketika itu pula Adam dan Hawa sedang beribadah kepada-Nya. Nabi Idris memperoleh derajat luhur atas sikap kasih sayangnya terhadap sesamanya. Nabi Isa memperoleh anugerah kitab Taurat ketika berada di bukit Tursina (Sinai). Nabi Nuh terlindungi dari bahaya banjir bersama umatnya yang patuh. Nabi Ibrahim terhindar dari bahaya api dan fitnah raja Namrud. Nabi Yusuf bebas dari tahanan raja Mesir akibat tuduhan zina dengan Dewi Zulaichah. Nabi Ya’qub sembuh dari penyakit mata karena menangisi anaknya Yusuf yang telah lama menghilang. Nabi Yunus bisa keluar dari perut ikan Hiu, sebagai tempat persembunyiannya ketika ia dikejar-kejar umatnya. Nabi Sulaiman memperoleh istana indah. Nabi Daud disucikan dari segala dosanya. Nabi Musa selamat dari kejaran Fir’aun dan kaumnya (bani Israil). Nabi Muhammad SAW memperoleh Al-Quran sebagai pegangan hidup sepanjang masa bagi umatnya.

Setiap menyambut bulan Muharram, umat Islam sedunia menyadari pentingnya makna bulan. Sejak itu pula Muharam yang menjadi permulaan bulan diperingati sebagai awal kebangkitan. Di bulan ini, sambil memperingati tahun baru hijriah, umat Islam menyelenggarakan berbagai kegiatan Islami yang bermanfaat. Imbasnya pun  ke Indonesia, berbagai seminar dalam satu dasawarsa ini diadakan di mana-mana untuk menyambut abad kebangkitan.

Tetapi seringkali kita menyaksikan ada keganjilan dalam setiap peringatan bulan itu. Banyak kepercayaan bersifat dongeng, mitos dan irrasional. Pada malam 1 suro misalnya orang beramai-ramai mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sakral dan keramat. Ada yang datang ke makam lalu membakar kemenyan, minta kekayaan, minta banyak rizqi, minta laris dagangannya, minta cepat naik kariernya, minta segera mendapatkan jodoh. Ada yang datang ke laut dengan melemparkan makanan atau kepala kurban (kerbau) yang dianggap sebagai sedekah laut. Demikian juga di Seduda (nama tempat rekreasi di daerah Nganjuk) misalnya, setiap tanggal 15 Muharam banyak kalangan muda dan mudi yang berdatangan di tempat itu. Mereka berkeyakinan bahwa siapa yang mandi pada tanggal itu  bisa awet muda, panjang umur. Selain itu tradisi mencuci keris banyak juga dilakukan pada bulan itu. Bahkan di gunung Kemukus di Sragen, jawa Tengah ada semacam legenda, barangsiapa yang menginginkan jodoh maka mereka harus berbuat mesum di tempat itu.

Terasa aneh memang. Lalu apa sejatinya makna di balik tahun baru hijriah yang penuh anugerah dan kemuliaan itu? Tahun baru hijriah atau Muharam sering kita jadikan sebagai momentum untuk menempatkan kita sebagai lakon dalam sejarah kemanusiaan. Setiap kali ingat Muharam kita menjadi optimis, karena pada momen itu Islam pernah membawa bendera peradaban dunia. Pertanyaannya adalah bisakah Islam bangkit kembali, sebagaimana yang pernah ditulis oleh ilmuwan Barat, bahwa Islam ketika itu adalah jaya? Yang terpenting dari belajar sejarah di atas adalah bahwa kebangkitan atau kejayaan bukanlah terkait dengan periode, kurun atau momen tertentu yang pernah mengalami kejayaan, melainkan pada apa yang bisa kita lakukan untuk mewariskan nilai-nilai sejarah itu. Allah akan merubah nasib kita, peradaban kita, jika kita mau merubah peradaban kita sendiri, tanpa terikat oleh momen, dan kurun waktu tertentu.

Pada bulan Muharam itu pula Tuhan membuka luas rahmat-Nya, sehingga manusia dianjurkan untuk berlomba-lomba memperoleh rahmat itu. Tetapi sayang, kebanyakan orang tidak paham dengan peristiwa itu. Mereka justru banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan pada bulan itu. Mereka juga tidak bisa menangkap kata-kata bijak dari moyang kita dulu. Ungkapan mandi dalam 1 suro itu saja juga disalahmengertikan. Lalu apa arti mandi itu?

Mandi berarti membersihkan dan mensucikan kotoran atau najis. Ini berarti isyarat bahwa pada malam 1 suro itu orang harus mensucikan dirinya dari segala dosa dan perbuatan munkarat-nya dengan memohon magfirah Allah Sang Maha pengampun. Kemudian meniti hidup baru dengan langkah yang lebih positif serta semangat baru pula. Allahumma thawwil a'marana wa shahhih ajsadana wa hassin a'malana wa ausi' arzaqana wa yassir umurana, amin.....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up