Kebanyakan orang bersepakat bahwa harta kekayaan itu amat penting untuk menopang kehidupan sehari-hari. Tanpa memiliki harta yang cukup, orang tidak bisa membiayai kehidupannya. Sehari saja tidak ada beras, oleh karena tidak mampu membeli, maka orang akan kelaparan. Tanpa gizi yang cukup, oleh karena miskin, maka orang akan berpenyakit kurang gizi atau gizi buruk.
Tanpa memiliki harta yang cukup, orang juga tidak bisa membangun rumah yang pantas, membiayai sekolah anak-anaknya, membeli pakaian, termasuk untuk menjalankan shalat, dan juga tidak bisa bersedekah. Di tengah-tengah masyarakat, orang yang tidak memiliki harta biasanya tidak dihargai dan akan dianggap menjadi beban orang lain. Padahal, hidup yang hanya menjadi beban orang lain juga tidak diangap tepat.
Lebih dari itu, orang yang tidak memiliki harta juga tidak akan bisa meringankan beban orang lain, tidak mendapatkan keutamaan dari membayar zakat, tidak bisa menjalankan umrah atau haji. Orang miskin derajadnya dianggap rendah. Miskin identik dengan kebodohan. Orang miskin dan bodoh akan dianggap rendah oleh orang lain, dan apalagi oleh pemeluk agama lain (bukan islam). Itulah sebabnya menjadi kaya dengan cara mencari harta dengan benar adalah sangat dianjurkan terhadap kaum muslimin.
Akan tetapi sebenarnya, seseorang yang memiliki harta kekayaan melimpah, dalam ajaran Islam, tidak secara otomatis menjadi orang yang paling terhormat, dihargai, dan dianggap sebagai orang yang sukses hidupnya. Kemuliaan dalam menjalani kehidupan ini, ---menurut pandangan Islam, bukan diukur dari banyak dan atau sedikitnya harta kekayaan yang berhasil dimiliki, melainkan dari ketaqwaan dan ketinggian akhlaknya. Orang yang kaya raya, tetapi pelit, menumpuk-numpuk harta, dan bahkan menyombongkan diri hanya karena jumlah hartanya itu, maka derajad yang bersangkutan justru dianggap rendah, dan bahkan celaka.
Benar bahwa masyarakat pada umumnya akan menghargai orang yang memiliki harta kekayaan melimpah. Dan dengan harta itu, pada zaman demokrasi seperti sekarang ini, bisa digunakan untuk memenuhi keinginannya meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Misalnya, menjadi Bupati, Wali Kota, Gubernur, anggota parlemen, dan seterusnya. Tanpa banyak uang pada zaman sekarang ini, siapa saja tidak akan berpeluang meraih posisi-posisi penting dalam jabatan politik atau mungkin jabatan lainnya.
Akan tetapi memperoleh kekuasaan dengan menggunakan uang, dalam pandangan Islam, tidak diperbolehkan. Jika memaksa diri melakukannya, maka pada akhirnya yang bersangkutan akan mendapatkan kehinaan atau kesengsaraan, dan bahkan masyarakat juga akan menjadi rusak sebagai akibat perilaku yang dijalankan itu. Akhirnya, harta bukan memberi manfaat bagi diri dan masyarakatnya, melainkan akan menjadi sebab kerusakan masyarakat.
Namun harta menjadi penting jika dimanfaatkan untuk kebaikan atau kemaslahatan, yaitu untuk menolong orang yang sedang mengalami kekurangan, kesengsaraan, penderitaan, dan untuk memecahkan problem kemanusiaan. Keberadaan harta menjadi penting dan mendatangkan kebahagiaan manakala diberikan atau dibelanjakan secara tepat dan sebaliknya, bukan ditumpuk dan dijauhkan dari orang lain. Harta akan mencelakaan terhadap pemiliknya jika ditahan, berada pada orang yang pelit, dan apalagi menjadi sebab ekonomi di tengah masyarakat tidak berjalan hingga banyak orang menderita.
Fitnah juga bisa disebabkan oleh harta yang tidak dikelola secara benar. Harta kekayaan juga bisa menyebabkan antar orang, antar tetangga, sesama keluarga dan antar kelompok menjadi bertengkar, saling berseteru, konflik, dan bahkan saling membunuh. Disebabkan oleh harta kekayaan pula antar negara menjadi perang yang menyebabkan pertumpahan darah. Akhirnya, keberadaan harta memang penting, akan tetapi hal yang perlu disadari bahwa oleh harta pula, berbagai jenis kerusakan, baik fisik dan bahkan juga psikhis, bisa saja terjadi. Pada akhir-akhir ini di mana-mana, penjara menjadi penuh sesak juga adalah oleh karena harta kekayaan. Maka dari itu, seringkali kita mendapatkan pesan, agar berhati-hati terhadap harta. Wallahu a'lam