Islam KTP
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Rabu, 19 Oktober 2016 . in Dosen . 13270 views

Sewaktu masih berusia sekolah SD, saya tinggal di desa. Kebanyakan masyarakat mengaku beragama Islam, tetapi tidak sedikit yang meninggalkan shalat. Mereka itu jika suatu ketika ditanya tentang agamanya, pasti menjawab beragama Islam. Namun demikian, mereka itu tidak pernah bersembahyang, atau ke masjid untuk shalat berjama'ah, tidak membayar zakat, tidak berpuasa dan apalagi menjalankan ibadah haji, tentu berkepikiran saja tidak.

Sekalipun begitu, jika datang hari raya, biasanya mereka juga berpakaian baru dan ikut shalat di masjid. Mereka itu oleh kebanyakan orang disebut Islam KTP atau Islam abangan. Istilah itu kemudian ternyata juga digunakan oleh Clifford Geerdz dalam penelitiannya di Pare Kediri. Tatkala mengkategorikan orang Jawa, peneliti asing itu membagi komunitas Jawa menjadi priyayi, santri, dan abangan, sekalipun kemudian juga memperoleh kritik dari berbagai pihak.

Kelompok Islam abangan seperti itu dalam perkembangannya lebih lanjut ternyata jumlahnya makin menyusut. Mereka itu semakin lama ternyata semakin ada kemauan untuk menjalankan shalat lima waktu, menjalankan puasa di bulan Ramadhan, dan bahkan, ---bagi mereka yang berekonomi kuat, juga menjalankan ibadah haji. Oleh karena itu tidak sedikit di pedesaan, orang yang bergelar haji padahal sebelumnya adalah tergolong Islam KTP.

Memang sekalipun diberi identitas sebagai Islam KTP, tetapi dalam hal-hal tertentu, mereka mengkuti tradisi santri atau orang Islam taat. Sebutan taat di sini sebenarnya hanya untuk menggambarkan bahwa yang bersangkutan sehari-hari menjalankan shalat dan datang ke masjid di hari Jum'at. Selain itu sebagai seorang Islam KTP, mereka juga berkhitan, menikah dengan cara Islam, dan juga menjalankan kegiatan ritual seperti slametan pada hari-hari tertentu, seperti pada saat menjelang bulan puasa, memperingati lahirnya Nabi Muhammad, tahun baru hijriyah (bulan Suro) dan sejenisnya.

Orang KTP sebagaimana digambarkan tersebut di beberapa desa jumlahnya cukup banyak, bahkan kadang melebihi jumlah orang Islam yang taat. Perbedaan seperti itu tidak menjadi penghalang di antara mereka untuk bergaul secara bebas pada setiap hari. Orang yang belum menjalankan shalat lima waktu dianggap masih belum ada kesadaran. Namun anehnya, orang yang ber-Islam KTP itu juga hormat atau menghargai kepada mereka yang menjalankan shalat lima waktu. Mereka bukan tidak mau shalat, tetapi disebut belum kalir atau belum memiliki kesadaran untuk menjalankannya.

Bagi kebanyakan orang Islam taat juga tidak membenci kepada orang Islam KTP. Padahal orang Islam KTP memiliki tradisi yang tidak diukai oleh orang Islam taat, misalnya dalam kesenian. Orang Islam KTP memiliki kesenian tersendiri, disebut kuda lumping, tandaan dengan disertai kegiatan mnum minuman yang memabukkan, dan lain-lain. Berbeda dengan Islam KTP, orang Islam taat memiliki kesenian yang disebut dengan gambus, shalawatan, jedor, dan semacamnya. Sekalipun demikian, seingat saya, perbedaan itu tidak mengganggu komunikasi atau persaudaraan di antara mereka yang berbeda itu.

Perbedaan dalam menjalankan agama tersebut tidak berdampak pada kehidupan di pedesaan, termasuk kegiatan politik, misalnya dalam pemilihan kepala desa dan perangkat lainnya. Saling mengolok, merendahkan, dan menghalangi seseorang yang berbeda untuk memperoleh berbagai keuntungan tidak pernah terjadi. Namun anehnya, lama kelamaan, ternyata orang Islam KTP bisa berubah menjadi santri atau Islam taat. Afiliasi partai politiknya tetap, tetapi kualitas keberagamaannya meningkat. Dulu orang Islam KTP atau kaum abangan menjadi pendung PNI atau sekarang PDIP dan atau Golkar. Rupanya dalam berafiliasi politik perubahannya tidak semudah dibandingkan dengan dalam beragama. Sekalipun sudah menjadi satri taat, mereka masih berafiliasi pada partai politik sebagaimana sebelumnya.

Melihat kenyataan yang digambarkan secara sederhana itu, ternyata kualitas keberagamaan seseorang perlu melewati proses yang panjang. Orang yang semula disebut sebagai Islam KTP, namun lambat laiun melalui proses panjang akhirnya berhasil menjadi Islam taat. Mungkin ada pertanyaan, apakah proses itu sampai mencapai kesempurnaan, maka kiranya tidak ada seorang pun yang mampu menilainya. Sebab kualitas keber-Islaman tidak cukup hanya dilihat dari aspek dhahirnya, seperti baju dan atau asesoris lainnya, melainkanm lebih dari itu adalah menyangkut aspek batinnya. Dalam beragama dinyatakan, Tuhan tidak melihat seseorang dari aspek dhahirnya, melainkan akan melihat terhadapm niat dan hati seseorang. Wallahu a'lam.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up