PTKIN Dalam mengembangkan Pendidikan Islam Di Indonesia
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Jumat, 18 November 2016 . in Dosen . 5880 views

Pendahuluan

Berbicara PTKIN dikaitkan dengan pengembangan pendidikan, maka yang lebih relevan adalah mengungkap tentang Fakultas atau Jurusan Tarbiyah. Sedangkan fakultas lainnya, kalaupun dibicarakan sebatas sebagai pelengkap. PTKIN, baik berupa STAIN, IAIN, dan UIN semuanya memiliki fakultas atau jurusan Tarbiyah. Bahkan menurut berbagai informasi, fakultas dan jurusan yang paling banyak peminatnya di lingkungan PTAIN, salah satunya adalah fakultas dan jurusan ini. Dengan demikian lulusannya juga sudah cukup banyak, hingga berhasil memenuhi kebutuhan guru agama bagi madrasah di berbagai jenjang, sebagai guru agama di sekolah umum dan bahkan juga perguruan tinggi.

Selama ini Fakultas dan atau jurusan Tarbiyah telah berhasil melakukan peran sebagai penyedia calon guru agama dimaksud. Selain itu, dari hasil penelitian dan kegiatan akademik lainnya, fakultas yang tugas pokoknya adalah mencetak calon guru agama juga melakukan peran-peran akademik, memberikan sumbangan berupa pemikiran, atau konsep yang berhubungan dengan pengembagan pendidikan agama.

Fakultas Tarbiyah di beberapa IAIN dan UIN juga membantu pemerintah untuk melakukan tugas-tugas peningkatan kualitas guru melalui sertifikasi guru yang tersebar di seluruh tanah air. Selain itu, beberapa fakultas yang ditunjuk melakukan training dan atau peningkatan kualifikasi guru agama, bai melalui program-program gelar maupun program-program jangka pendek berupa penataran guru, kepala sekolah, pengawas dan sebagainya.

Peran-peran itu sudah barang tentu masih akan berlanjut. Namun di hadapannya terdapat berbagai tuntutan, tantangan dan problem yang tidak ringan diselesaikan. Berbagai tuntutan dan tantangan itu bersumber dari perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin cepat dan juga tuntutan masyarakat yang semakin besar.

Sebagai gambaran tentang besarnya tuntutan dan tantangan guru agama itu misalnya, bahwa dulu guru agama asalkan sudah menguasai bahan pelajaran berupa ilmu tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh, dan bahasa arab sekalipun pada tingkat sederhana, maka dianggap sudah mencukupi. Akan tetapi sebagaimana tuntutan pada disiplin ilmu lainnya, guru agama juga diharapkan untuk memperluas wawasan keagamaannya agar apa yang diajarkan relevan dengan tuntutan masyarakat. Guru agama dituntut mampu menjelaskan kaitan antara al Qurn dan hadits dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang selalu berkembang cepat.

Itulah sebabnya, PTKIN dan tidak terkecuali fakultas atau jurusan tarbiyah ke depan dituntut mengembangkan diri agar tetap dapat melakukan peran-peran strategis dalam mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia secara maksimal. Oleh karena itu, agar peran itu berhasil ditunaikan secara maksimal, maka harus ada kemampuan membaca secara jernih dan tepat tuntutan masyarakat dimaksud. Gagal dalam melakukan pembacaan itu, PTAIN akan kehilangan relevansinya di tengah-tengah masyarakat.

Tantangan Dan Harapan PTKIN Ke Depan

Saya melihat bahwa sejalan dengan pengembangan ilmu pengetahuan yang semakin cepat, luas dan mendalam, juga telah berpengaruh terhadap tuntutan terhadap guru agama. Guru agama ke depan dituntut tidak hanya sebatas mengajarkan ilmu tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh, bahasa arab, sebagaimana yang berjalan selama ini. Guru agama atau bahkan lulusan PTKIN akan dituntut untuk menerangkan Islam dalam berbagai perspektif yang luas.

Alam keterbukaan seperti yang terjadi sekarang ini, menuntut para agamawan, -----tidak terkecuiali Islam, tidak hanya mengajarkan bagaimana ritual harus dijalankan, melainkan mampu menjelaskan wilayah Islam dalam pengertian yang lebih luas. Orang di mana-mana belajar al Qurn dan hadits nabi dengan cara yang mudah dan terbuka. Kita lihat misalnya melalui alat-alat modern, kajian-kajian al Qurn dapat dilakukan oleh siapapun dan di mana saja.

Kenyataan tersebut seharusnya diartikan bahwa guru agama dituntut berani membuka diri seluas-luasnya dengan membekali diri berupa wawasan pemahaman kitab suci secara lebih mendalam dan luas. Guru agama Islam yang hanya berbekal pemahaman tentang beberapa ayat al Qur'an dan terjemahannya, maka jelas tidak akan mampu merespon kebutuhan masyarakat.

Lebih-lebih pada akhir-akhir ini, Islam banyak dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan. Orang mulai sadar, bahwa dalam kitab suci al Qurn tersedia jawaban-jawaban atas berbagai pertanyaan akademik. Setidak-tidaknya al Qurn sudah mulai dijadikan sebagai sumber dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan yang demikian itu menuntut seorang lulusan PTKIN ke depan memenuhi standar pengetahuan jauh dari yang dihasilkan pada tahun-tahun terdahulu.

Selain itu, para ilmuwan lulusan PTKIN harus mampu berdialog dengan kalangan yang lebih luas, yaitu mereka yang beraneka ragam latar belakang kultur, budaya dan bahkan juga agamanya. Lulusan PTKIN dituntut mampu menggelar ajaran yang diyakininya dalam wilayah yang luas dan tidak terbatas. Bahkan saya membayangkan, lulusan PTKIN harus mampu memberikan penjelasan yang cukup tentang al Qurn dan hadits nabi dalam berbagai perspektif dan rasional.

Doktrin Islam harus bisa dikomunikasikan secara rasional. Penjelasan yang bersifat fiqhiyah seperti haram, halal, makruh, dan mubah, sekalipun itu tetap perlu tetapi akan tidak mencukupi lagi. Demikian pula pendekatan teologis, tentang surga dan neraka, jumlah pahala yang didapat dari amal yang dilakukan, dan lain-lain harus disempurnakan dengan alam pikiran dan kebutuhan masyarakat modern.

Islam harus diterangkan tidak saja sebagai agama, tetapi adalah juga sekaligus sebagai peradaban yang luas. Dengan cara berpikir itu, maka Islam harus dimaknai sebagai ajaran yang membawa umatnya kaya ilmu pengetahuan, behasil melahirkan manusia unggul, menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan, memberikan pedoman ritual untuk memperkukuh spiritualitas dan memperkenalkan konsep amal shaleh atau bekerja secara professional.

Sarjana PTKIN yang mampu memberikan pemahaman Islam yang luas dan fungsional, serta relevan dengan tuntutan zaman seperti itulah yang ditunggu-tunggu masyarakat. Oleh karena itu, PTAIN dituntut untuk melakukan reorientasi visi dan misinya secara terus menerus, agar keberadaannya tidak tertinggal oleh perubahan zaman yang semakin cepat, dan lebih dari itu tetap berhasil memainkan peran-peranya di tengah masyarakat yang beraneka ragam.

Persoalan Yang Harus Dihadapi

Setidaknya PTKIN menghadapi tiga persoalan yang sama-sama beratnya untuk diselesaikan. Tiga persoalan itu adalah terkait dengan birokrasi pemerintah, internal institusinya sendiri, dan masyarakat lingkungannya. Ketiga hal itu harus dihadapi oleh PTKIN dalam mengembangkan dirinya agar mampu merespon tantangan masa depan.

Terkait dengan birokrasi, bahwa statusnya sebagai perguruan tinggi yang tersubordinasi oleh pemerintah, maka tidak akan memiliki keleluasaan untuk berkembang secara bebas. Pemerintah dengan alasan telah membiayai semua operasional PTKIN, maka merasa berwenang mengatur hingga tingkat detail-detailnya. Selain itu, perguruan tinggi keagamaan yang berada di bawah pemerintah juga harus mengikuti nomenklatur yang tidak mudah diubah. Sementara itu tuntutan masyarakat sudah sedemikian cepat yang harus dipenuhi.

Perguruan tinggi mestinya menyandang sifat atau berpegang pada kebebasan, keterbukaan, dan keberanian. Namun hal itu tidak pernah dimiliki. PTKIN dianjurkan untuk bergerak dinamis dan inovatif, tetapi selalu diikat oleh peraturan yang membelenggu. Sebagai contoh sederhana terkait dengan pengembangan program studi, yang sebenarnya harus dikembangkan dan bahkan diubah, tetapi tidak mudah dilakukan oleh karena ada peraturan yang harus diikuti.

Sejak madrasah berubah menjadi sekolah umum yang berciri khas agama, semestinya fakultas dan jurusan tarbiyah di PTKIN sebagai institusi yang bertugas menyediakan guru bagi madrasah juga harus diubah. Akan tetapi hal itu tidak mudah dilakukan, karena tidak tersedia pintu yang luas untuk mengubahnya. Maka akibatnya, lulusan tarbiyah ketika masuk menjadi guru di madrasah banyak yang disebut dengan istilah mismatch.

Persoalan berikutnya adalah terkait dengan internal insitusi Fakultas atau Jurusan Tarbiyah sendiri. Membawa perubahan pada tingkat institusi yang melibatkan orang banyak ternyata juga tidak mudah. Semangat berubah ternyata belum tentu tersedia. Banyak orang hanya berpedoman pada apa yang terjadi pada masa lalu. Padahal agar selalu meraih kemajuan, diperlukan sikap selalu berpegang pada kebutuhan masa depan.

Akibat dari kenyataan tersebut, berbuat dan bekerja apa adanya selalu menghiasi kehidupan di sebagian PTKIN. Perintah membaca dan berkreasi sebagaimana ditunjukkan dalam al Qurn dan hadits ternyata sangat sulit ditangkap oleh sebagian warga PTKIN. Inovasi menjadi tidak mudah ditemukan, dan bahkan yang berkembang adalah sifat curiga, khawatir jika terjadi perubahan, dan bahkan menutup diri. Persoalan tersaebvut tidak mudah diselesaikan oleh pimpinan PTKIN.

Persoalan berikutnya adalah datang dari stakeholder, yaitu masyarakat pendukung PTKIN. Misi PTKIN sebagai membawa pikiran baru seringkali berhadapan dengan pandangan masyarakat yang lebih menyukai kemapapan, lebih-lebih menyangkut keagamaan. Agama biasanya bersifat peka, dan depensif terhadap segala perubahan. Jika PTKIN sudah diberi label yang kurang disukai, semisal terlalu liberal, pluralis, dan apalagi radikalis, maka jangan berharap mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Persoalan tersebut jelas tidak ringan menghadapinya. Jika pendekatan yang dilakukan kurang tepat, maka bisa jadi akan ditinggalkan oleh pendukungnya. Di sini ada kontradiktif, antara misi perguruan tinggi dengan masyarakatnya. Sebagai lemaga pendidikan tingggi harus berhasil menemukan hal baru dari penelitian dan hasil kajiannya. Sementara hal baru itu selalu menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan. Keadaan seperti ini kiranya merupakan konsekuensi logis agama dikaji oleh perguruan tinggi, sehingga para pimpinan PTKIN harus benar-benar memahami dan sekaligus cakap mengelolanya.

Keberanian Mengubah Diri

Menghadapi persoalan tersebut, agar fakultas atau jurusan tarbiyah tidak kehilangan relevansinya dalam memainkan peran-perannya ke depan, maka perlu keberanian melakukan upaya-upaya pembacaan diri secara cermat maupun tantangan-tantangan eksternalnya yang semakin variatif, selalu berubah cepat, dan bahkan radikal. Dari hasil bacaan itu, maka fakultas tarbiyah tidak cukup hanya mengedepankan tradisinya yang dijalankan selama ini. Fakultas tarbiyah sebagai institusi yang memiliki misi di bidang pengembangan pendidikan, harus mampu melahirkan guru agama masa depan.

Sedangkan guru agama masa depan, sebagai yang saya bayangkan bukan sebatas orang yang mengajarkan fiqh, tauhid, tarekh, akhlak dan tasawwuf di depan para siswanya di kelas-kelas. Guru agama masa depan, harus akrab dengan kitab suci al Qur'an dan hadits Nabi plus disiplin bidang ilmu yang dikembangkannya. Sebagai contoh sederhana, tatkala madrasah berubah menjadi sekolah umum yang berciri khas agama, maka madrasah bukan saja harus menambah mata pelajaran umum dalam kurikulumnya dan mengurangi mata pelajaran agama dari jumlah sebelumnya. Akan tetapi, pelajaran umum yang dihadirkan pada madrasah harus memberi makna di dalam mengkaji Islam.

Sebagai berciri khas agama, semua pelajaran di madrasah harus diwarnai oleh dua jenis sumber, yaitu ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah. Tidak masalah lulusan fakultas tarbiyah mengajar biologi, fisika, kimia, matematika, sosiologi, ekonomi dan sejenisnya. Hal demikian itu sangat dimungkinkan oleh karena di Fakultas Tarbiyah membuka jurusan dimaksud. Penggunaan sumber ilmu tersebut bukan berarti mengurangi forsi yang harus dicapai sebagaimana kurikulum yang dijalankan oleh fakultas yang sama pada umumnya.

Selain itu, pelajaran yang dikenal sebagai ilmu umum tersebut oleh guru lulusan fakultas atau jurusan tarbiyah bukan hanya diorientasikan pada upaya agar para siswanya lulus ujian, baik ujian local maupun ujian nasional. Mempelajari biologi, fisika, kimia, sosiologi dan lain-lain, harus dipahami sebagai upaya mengimplementasikan perintah al Qur'an dan Hadits Nabi agar mempelajari ciptaan Allah baik yang ada di langit maupun di bumi. Lebih dari itu, pelajaran tersebut juga memiliki misi transcendent, yaitu mengantarkan para peserta didik pada puncak keimanannya hingga secara ikhlas mereka mengakui keagungan Allah dengan mengucapkan tasbih, takhmid dan tahlil.

Atas dasar pemikiran seperti ini maka, guru agama yang dihasilkan oleh fakultas atau jurusan tarbiyah mampu menanamkan dan membangun keimanan peserta didik melalui ilmu pengetahuan yang mendalam. Jika sosok guru agama seperti ini yang akan diharapkan lahir dari fakultas dan jurusan tarbiyah, maka PTKIN akan menjadi pelopor dalam pengembangan pendidikan Islam di masa depan. Sebaliknya, jika hanya sebatas menjalankan peran-perannya sebagaimana aturan, dan bahkan nomenklatur yang ada, saya yakin PTKIN, khususnya di bidang pendidikan, hanya akan menjadi pengikut dan bahkan posisinya selalu di belakang.

Atas dasar pandangan seperti itulah maka dari PTKIN sendiri diperlukan keberanian melakukan inovasi, modernisasi, dan reformulasi secara terus menerus tanpa mengenal waktu. Dengan demikian, misi besar yang diemban yaitu Islam harus berhasil mewarnai segala gerak perubahan dan bahkan pelopor perubahan akan berhasil diraih. Hanya dengan cara itu, maka PTKIN akan berhasil melakukan peran-peran strategisnya dalam pengembangan pendidikan Indonesia di masa depan.

Penutup

Peran-peran besar sebagaimana dikemukkan tersebut akan terwujud manakala PTKIN berhasil di antaranya membangun manajerial dan leadership yang kokoh, iklim akademik yang tangguh, mampu membangun jaringan kerjasama dan kebersamaan yang luas. Selain itu, juga dituntut untuk berani melakukan terobosan atau kebijakan yang dipandang lazim.

Saya menggambarkan fakultas dan atau jurusan tarbiyah harus berhasil melahirkan orang-orang yang berpikiran besar dan luas serta berhati lembut , yang semua itu sebenarnya adalah sebagai keberhasilan dalam menangkap pesan-pesan suci dari al Qur'an dan tauladan Rasulullah. Wallahu a'lam.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up