Bekerjasama Dengan Pemeluk Agama Yang Berbeda
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Rabu, 28 Desember 2016 . in Dosen . 25411 views

Merasakan suasana harmoni antar pemeluk agama yang pada akhir-akhir ini agaknya terganggu, saya menjadi terdorong untuk mengungkapkan sedikit pengalaman tentang kerjasama dengan kawan-kawan yang berbeda agama. Kerjasama itu terjadi dalam waktu lama, terutama terkait dengan posisi saya sebagai pimpinan perguruan tinggi yang berbasis agama, yaitu ketika ikut memimpin Universitas Muhammadiyah Malang dan kemudian berlanjut memimpin Universitas Islam Negeri Malang.

Mengurus perguruan tinggi, sekalipun berbasis agama, agar menjadi maju, maka harus bersedia membuka diri. Mengungkung diri dengan cara terlalu selektif dalam berkomunikasi dan membangun pertemanan hanya akan menjadikan kampus sulit berkembang. Itulah sebabnya, mencari teman sebanyak dan seluas-luasnya menjadi kebutuhan yang tidak boleh diabaikan.

Kebetulan ketika ikut memimpin Universitas Muhammadiyah Malang, saya bertugas mengembangkan akademik, yakni sebagai Wakil Rektor I, selama 13 tahun. Sebagai penanggung jawab di bidang akademik, saya merasa harus berkomunikasi dengan siapapun, lebih-lebih pada waktu itu keadaan kampus masih terbatas. Jumlah dosen masih belum sebanyak seperti sekarang ini. Selain itu harus menjalin komunikasi dengan pihak pemerintah, yaitu Kopertis. Para pejabat di instansi itu tidak semua beragama Islam, yakni ada yang penganut HIndu, Kristen, Katholik dan lain-lain.

Menghadapi kenyataan tersebut, saya merasa harus realistis, meniru cara kerja pedagang. Para pedagang dalam mendapatkan dan menjual dagangannya tidak akan memperhatikan agama orang yang diajak berkomunikasi maupun bekerjasama. Jika pedagang hanya mau membeli barang miliki pemeluk agama yang sama dengan dirinya, maka usahanya tidak akan maju. Sebagai pedagang, yang terpenting adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Demikian pula ketika mendapatkan dosen, penguji ujian negara, maupun kepentingan administrasi terkait pihak Kopertis, saya tidak pernah memperhatikan latar belakang agama yang bersangkutan. Siapa saja boleh mengajar asalkan berkeahlian, dan memenuhi syarat. Begitu pula agama apapun yang dipeluk oleh pejabat di Kopertis, tidak menjadi pertimbangan.

Mereka yang berbeda agama tersebut ternyata mau diajak bekerjasama untuk membesarkan Universitas Muhammadiyah Malang. Sebagai contoh, Sekretais Kopertis, ketika itu dijabat oleh IB. Alit, SH, pemeluk agama Hindu, terasa sangat besar bantuannya kepada perguruan tinggi yang berbasis Islam. Demikian pula, tidak sedikit dosen yang berlatar belakang Kristen, Katholik, dan lain-ain, mereka bersedia membantu dengan ikut mengajar dan juga bertindak sebagai penguji ujian negara. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk saling membantu dalam membesarkan kampus.

Demikian pula ketika mendapatkan amanah memimpin UIN Malang, kerjasama dengan berbagai pihak yang berlatar belakang berbeda agama juga saya lakukan. Mengawali memimpin UIN Malang, untuk menambah wawasan pengelolaan perguruan tinggi, para pimpinan kampus, saya tugasi melakukan studi banding ke berbagai perguruan tinggi yang berlatar belakang selain Islam. Ketika itu saya berpandangan, jika mereka saya beri arahan agar studi banding ke perguruan tinggi Islam, khawatir mereka hanya memperoleh pengalaman dan pengetahuan yang sama dengan yang telah dimilikinya sendiri.

Para anggota pimpinan UIN Malang ketika itu saya anjurkan berstudi banding ke Universitas Kristen Petra Surabaya, Universitas Katholik Widya Mandala Surabaya, Universitas Sugiya Pranata Semarang, Universitas Santya Wacana Salatiga, Universitas Parahyangan Bandung, UKI Jakarta, dan lain-lain. Anjuran saya, agar berstudi banding ke mana saja, asalkan tidak ke perguruan tinggi Islam.Program tersebut ternyata membawa hasil yang luar biasa. Sepulang dari melakukan studi banding, selain memperoleh banyak informasi, mereka menjadi sadar bahwa selama ini, mereka sudah jauh tertinggal dan harus segera mengejar ketertinggalannya itu.

Selanjutnya, mendasarkan pada prinsip keterbukaan kampus, saya berusaha menjalin komunikasi dengan berbagai jenis perguruan tinggi. Tanpa memperhatikan latar belakang agamanya, siapa saja saya undang masuk kampus, baik untuk berdiskusi maupiun untuk bekerjasama. Hasilnya, UIN Malang menjadi semakin dikenal masyarakat luas. Bahkan ada hal aneh, seorang beragama Budha tertarik dengan kegiatan mahasiswa penghafal al Qur'an. Sebagai bukti bahwa ia benar-benar mengapresiasi para penghafal al Qur'an, yang bersangkutan memberi beasiswa kepada 15 mahasiswa tahfidz pada setiap tahunnya.

Selain itu, saya juga mengapresiasi prestasi kerja seorang gubernur yang beragama Kristen dengan menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa. Selaku Rektor UIN Malang, saya memberikan gelar akademik kepada Dr Sinyo Hari Sarundayang, Gubernur Sulawesi Utara. Hasilnya cukup positif, setelah yang bersangkutan memperoleh penghargaan dimaksud, beliau memberikan dukungan yang cukup besar kepada STAIN di Manado. Selain itu juga memberikan dukungan dana untuk kegiatan Majelis Ulama di provinsi itu dalam jumlah yang cukup besar.

Melalui keterbukaan itu pula, UIN Maupana Malik Ibrahim Malang diakui dan dipercaya oleh Perguruan Tinggi Agama Hindu Negeri dan Agama Budha Negeri di seluruh Indonesia bertindak sebagai penilai profesionalisme para dosennya. Mereka percaya bahwa perguruan tinggi Islam juga mampu bekerja obyektif, adil, jujur, dan profesional. Penilaian seperti itu tentu sangat penting untuk membangun kesan di mata agama lain bahwa Islam sebagai ajaran yang benar dan mulia. Selain itu yang tidak kurang pentingnya lagi adalah bahwa kerjasama antar umat beragama ternyata benar-benar dapat dilakukan. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up