Islam mengajarkan agar selalu memelihara tali sillaturakhiem dengan siapapun. Secara jelas al Qur'an menyebut bahwa manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar di antara mereka saling kenal mengenal. Oleh karena itu sebenarnya perbedanaan antar sesama manusia bukan merupakan barang baru, melainkan sudah menjadi kodrat sejak awal kejadian.
Bangsa Indonesia selama ini dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Terdiri atas berbagai jenis suku, bahasa daerah, adat istiadat, mata pencaharian, dan juga agama yang dipeluknya. Kenyataan yang demikian itu telah diakui dan disadari bersama. Oleh karena itu, perbedaan tidak selayaknya menjadi sebab tidak saling berkomunikasi, saling membatasi, dan sejenisnya.
Pada kenyataannya, perbedaan tidak saja terjadi antar agama, tetapi di dalam intern agama sendiri juga terdapat aliran, madzhab, sekte yang berbeda-beda. Hal demikian itu sebenarnya tidak akan menjadi masalah seumpama sillaturrakhiem tetap terpelihara. Namun jika perbedaan dijadikan sebab terputusnya tali sillaturrakhiem, maka yang muncul adalah buruk sangka, saling merendahkan, merasa benar sendiri, dan akhirnya yang terjadi adalah disharmoni di tengah kehidupan masyarakat.
Perbedaan seharusnya justru dijadikan pendorong untuk saling mengisi dan menyempurnakan, sehingga beragama sekalipun juga menjadi semakin dinamis. Masing-masing orang yang berbeda akan saling memberi, guna menambah pengetahuan agamanya yang kemudian diharapkan membuahkan peningkatan kualitas keberagamaannya. Sayangnya, keberagamaan seseorang pada umumnya bersifat tertutup. Informasi baru tentang keberagamaan dianggap mengganggu dan bahkan membahayakan sehingga tidak mudah diterima.
Perasaan takut dirinya terpengaruh menjadikan pengetahuan tentang agama diterima secara selektif, tergantung siapa yang menyampaikannya. Seseorang akan menerima pengetahuan agama jika yang menyampaikan memiliki kesamaan madzhab, aliran, atau organisasinya. Atas dasar kenyataan itu, kajian agama hanya diikuti oleh orang-orang yang sama latar belakangnya. Dalam mencari pengetahuan agama, seseorang tidak mencari yang baru, melainkan yang memperkukuh pengetahuan yang telah dimilikinya.
Sebagai contoh tentang serba selektif dalam menambah pengetahuan agama, orang NU misalnya, mereka tidak akan merasa enak jika mendengarkan pandangan yang disampaikan oleh orang Muhammadiyah, dan begitu pula sebaliknya. Sebatas informasi tentang awal atau akhir bulan puasa saja misalnya, seseorang tidak segera percaya jika yang memberikan bukan sesama organisasinya.
Perbedaan tersebut menjadi pembatas komunikasi atau bahkan juga sebagai penghalang sillaturrakhiem. Hanya sekedar merasa berbeda, seseorang tidak mau mendengar apalagi menerima informasi atau pandangan dari orang lain. Perbedaan seperti itu menjadikan orang lain dianggap keliru, salah, dan bahkan sesat. Adanya perbedaan tersebut menjadikan orang saling menjauh dan atau tidak saliing bersillaturrakhiem.
Umpama keberagamaan bersifat terbuka, setidaknya di kalangan pemeluk agama yang sama, maka selain penting untuk menambah pengetahuan masing-masing, juga tidak akan mengganggu tali silatutrakhiem. Ukhuwah intern agama menjadi terpelihara. Selain itu buruk sangka, salah menyalahkan, dan sejenisnya, yang semuanya itu sebenarnya justru dilarang oleh ajaran agama tidak terjadi atau dapat dikurangi. Agama mengajarkan persatuan, kebersamaan, kedamaian, saling menghormati dan menghargai, dan sillaturrahkhiem adalah merupakan kunci yang harus dipelaihara dan atau ditumbuh-kembangkan. Wallahu a'lam