Ketika Rasa Syukur Telah Hilang
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Rabu, 7 Desember 2016 . in Dosen . 11425 views

Bersyukur itu mudah, tetapi ternyata tidak semua orang bisa merasakannya. Syukur terkait dengan nikmat. Tanpa diminta nikmat itu sebenarnya sudah diterima sejak seseorang memulai hidupnya. Nikmat itu bermacam-macam, baik berupa hidup itu sendiri, kesehatan, rizki, kehormatan, kedudukan, kepercayaan, dan tentu masih banyak lagi lainnya.

Perintah agar manusia selalu bersyukur sedemikian banyak di dalam al Qur'an. Tapi memang hanya sedkit orang yang dapat bersyukur. Orang yang dapat bersyukur akan ditambah nikmatnya, sebaliknya orang yang kufur diancam dengan siksa di akherat kelak. Akan tetapi juga begitu, dikaruniai nikmat berapapun banyaknya, seseorang tidak selalu mampu bersyukur.

Kemampuan bersyukur tidak terkait dengan jenjang pendidikan, usia, atau posisi seseorang di tengah masyarakat. Tidak sedikit orang yang tidak berpendidikan tetapi pandai bersyukur dan sebaliknya, orang yang berpendidikan tertingi, ternyata tidak bersyukur. Kemampuan bersyukur bisa saja diraih oleh orang yang tidak mengenal pendidikan dan atau tidak memiliki posisi apa-apa di tengah masyarakat.

Betapa sulitnya orang bersyukur, ahingga ada seorang kyai yang mengilustrasikannya melalui kisah sederhana tetapi jelas dan mengena. Dalam kisah itu disebutkan ada seorang yang sebenarnya sudah berhasil membangun rumah sekalipun berukuran kecil. Ketika awal rumah itu ditempati, semua keluarganya merasa senang menempati rumah kecil dan sederhana dimaksud. Akan tetapi, setelah anak-anaknya menginjak dewasa, dirasakan rumahnya itu sudah tidak mencukupi. Anak dan isterinya sehari-hari merasa sumpek dan usul, agar rumahnya diperluas.

Oleh karena tidak tersedia anggaran untuk memenuhi kemauan isteri dan anaknya tersebut, dalam suasana kebingungan, yang bersangkutan datang ke rumah kyai untuk meminta nasehat. Mengetahui kenyataan tersebut, pemuka agama dimaksud menyarankan agar pergi ke pasar membeli kambing dan pada waktu malam meletakkannya di rumah. Sedemikian percayanya pada kyai, dibelilah kambing dan pada waktu malam diletakkannya di rumah yang sudah dirasa sempit dimaksud.

Melihat keputusan kepala keluarga tersebut, maka isteri dan anaknya ribut. Suasana keluarga yang tidak menyenangkan tersebut diadukan kepada kyai yang telah memberi nasehat kepadanya. Mendengar laporan itu, kyai menyarankan agar kambingnya ditambah. Menyaksikan kambingnya ditambah, maka seluruh anggota keluarga semakin marah. Suaminya dibilang gila dan atau tidak waras. Rumah yang sempit masih ditambah beberapa ekor kambing.

Maka kembalilah ia ke rumah kyai, melaporkan keadaan rumah tangganya setelah kambingnya ditambah jumlahnya. Disampaikan bahwa, keluarganya semakin ribut dan marah. Namun laporan itu, kyai menyarankan agar semua kambingnya segera dijual semuanya dan segera melaporkan keadaan rumah tangganya kepadanya.

Setelah merasakan tidak ada kambing di rumahnya, maka ternyata seluruh keluarga merasakan nikmatnya. Rumah dimaksud menjadi bersih dan tidak berbau. Semua keluarganya merasa senang dan bahagia kembali. Padahal rumahnya masih tetap berukuran kecil dan sederhana. Rupanya, sekedar agar bisa bersyukur, seseorang harus merasakan keculitan terlebih dahulu.

Sekedar menjadi bersyukur ternyata tidak mudah. Seseorang baru merasakan nikmat dan bisa bersyukur setelah melawati penderitaan yang mendalam. Tanpa merasakan pengalaman itu, ternyata tidak mudah seseorang mampu berbuat syukur. Padahal ketika rasa syukur itu telah hilang, maka kehidupan ini tidak akan ada artinya apa-apa. Bahkan jika rasa syukur itu tidak dimiliki, nikmat tidak akan ditambah dan bahkan sebaliknya, kelak di akherat diancam dengan adzab yang pedih. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up