Kiranya semua pihak bersepakat, jika PTKIN ( Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) benar-benar menjadi kekuatan pengubah masyarakat. Sejak lama disebut-sebut bahwa umat Islam di mana-mana mengalami ketertinggalan, baik di bidang pendidikan, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain-lain. Masyarakat tidak mungkin secara keseluruhan mampu mengubah dirinya sendiri. Mereka pasti memerlukan uluran tangan pihak lain. Maka perguruan tinggi Islam seharusnya tampil menjadi kekuatan pengubahnya.
Peran strategis tersebut akan berhasil dilakukan jika perguruan tinggi Islam benar-benar memiliki kekuatan pengubah yang dimaksudkan itu. Sedangkan kekuatan itu akan lahir jika semua potensi yang dimiliki dimaksimalkan. Namun sayangnya tidak semua PTKIN berhasil memaksimalkan kemampuannya, sekalipun potensi yang tersedia sebenarnya sangat besar. Hambatan itu biasanya sederhana, yaitu bersumber dari cara memandang dirinya sendiri.
Banyak perguruan tinggi Islam Negeri, jangankan menjadi kekuatan pengubah masyarakatnya, sementara itu sebatas mengubah dirinya sendiri saja tampak cukup berat. Sudah sekian lama, sekedar mengubah kelembagaan saja, tidak semuanya berhasil dilakukan dengan cepat. Mengubah status kelembagaan dari STAIN atau IAIN ke bentuk universitas ternyata memerlukan waktu yang cukup panjang. Padahal perubahan itu telah dipahami dan diyakini sebagai syarat agarmereka lebih cepat maju. Keterlambatan itu alasannya bermacam-macam, misalnya faktor birokrasi, ketenagaan, pendanaan, dan lain-lain.
Jika dilihat secara saksama hingga potensi yang demikian besar tersebut tidak bisa dikembangkan, ---menurut hemat saya, adalah oleh karena faktor cara membaca dirinya sendiri, atau yang dilakukan oleh para pengelolanya kurang tepat. Misalnya, kampus hanya dimaknai sebagaimana sekolah. Sehari-hari yang dilakukan oleh mereka hanya memikirkan agar perkuliahan lancar, ujian terlaksana, dan wisuda berhasil diselenggarakan. Para dosen hanya digerakkan agar tertib dalam menjalankan kegiatan dimaksud.
Akibat dari cara melihat perguruan tinggi yang sederhana seperti itu, maka kegiatan kampus menjadi rutin dan tidak ubahnya sebagai perkantoran. Padahal perguruan tinggi tidak boleh terjebak pada kegiatan rutin. Lembaga pendidikan tinggi seharusnya menjadi tempat orang melakukan pengamatan secara kritis, penelitian, berdiskusi, berdebat, dan bahkan yang tidak kurang pentingnya lagi adalah menulis. Jika hal itu benar-benar dilakukan, maka perguruan tinggi Islam akan menjadi sumber informasi, ide, gagasan-gasan baru, yang selanjutnya dijadikan kekuatan untuk menggerakkan masyarakat.
Kekurangan lainnya, perguruan tinggi Islam terjebak pada kungkungan hegemonik birokrasi. Seolah-olah perguruan tinggi hanya sebatas sebagai pelaksana tugas birokrasi tingkat atasnya. Birokrasi pemerintah dipandang lebih menentukan dan berotoritas memberi petunjuk. Jika gambaran itu benar, maka sebenarnya perguruan tinggi telah kehilangan kekuatannya yang hakiki, yaitu sebagai sumber informasi, ide, dan gagasan perubahan. Keadaan yang demikian itu, menjadikan perguruan tinggi, jangankan mengubah masyarakat, sekedar mengubah dirinya sendiri saja tidak mampu dilakukan.
Oleh karena itu, agar perguruan tinggi Islam negeri benar-benar menjadi kekuatan pengubah maka institusi itu harus menyandang kebebasan, keberanian, dan keterbukaan. Diandaikan sebagai kandang singa, misalnya, maka binatang buas itu jangan dikarengkeng. Sekalipun singa itu tidak dilepas di hutan belantara, seharusnya masih diberi peluang untuk menggerakkan dirinya. Demikian pula para dosen atau tenaga akademisinya, mereka harus diberi peluang untuk berkreasi, mengembangkan ide dan gagasan melalui penelitian, dan semacamnya. Suasana seperti yang dimaksudkan itu akan menjadikan perguruan tinggi semakin kuat dan berwibawa. Kekuatan dan kewibawaannya bukan saja hanya karena keindahan gedung dan berbagai fasilitasnya, melainkan oleh karena kekuatan riil, yaitu keluasan dan kedalaman ilmu yang selalu dihasilkannya. Wallahu a'lam