Akhir-akhir ini terdengar beberapa informasi terkait dengan kehidupan keagamaan yang terasa memprihatinkan. Misalnya, ada tokoh agama yang ditolak memasuki suatu wilayah provinsi tertentu, pembakaran tempat ibadah, pelarangan berjilbab, penyelesaikan masalah dengan kekerasan, dan lain-lain. Berbagai kejadian itu memberikan kesan yang kurang menyenangkan, seolah-olah Islam adalah agama yang berkemungkinan melahirkan suasana yang tidak aman, membuat gaduh, kekerasan, dan bahkan teror.
Upaya membangun kesan bahwa Islam adalah agama damai, toleran, menghargai orang lain, berorientasi pada keselamatan dan sejenisnya, akhirnya menjadi tidak mudah dipahami dan dipercaya. Atas kejadian tersebut menjadikan sementara orang memahami bahwa Islam, ---sebagaimana yang mereka lihat, adalah komunitas yang perlu dicurigai dan membahayakan, pendidikannya tidak maju, ekonominya tidak terurus, tidak mampu bersatu, berperilaku keras, dan seterusnya. Kesan negatif yang demikian itu terbangun melalui apa yang mereka lihat dan dengarkan dari penampilan sebagian penganut Islam.
Sebaliknya, terhadap komunitas penganut agama lain sengaja dibangun kesan lebih maju, ekonominya unggul, pendidikannya berkualitas, mampu bersaing dalam berbagai lapangan kehidupan, dan lain-lain. Pendek kata, mereka lebih berhasil dalam membangun kehidupannya. Jika Islam melalui para tokohnya disebut menawarkan ajaran tentang kemajuan, keselamatan, dan kesejahteraan, maka secara mudah dapat dibantah atas dasar kenyataan yang oleh umat Islam tampakkan sendiri.
Persoalannya adalah di mana dan siapa sebenarnya yang patut dikoreksi atas berbagai kenyataan tersebut. Islam mengajarkan tentang kemajuan, cara hidup yang ideal, keselamatan, kedamaian, dan seterusnya, tetapi umatnya ternyata belum selalu berhasil mewujudkannya. Maka pertanyaannya adalah apa dan siapa sebenarnya yang menjadi penyebab, hingga Islam belum tampak ideal atau bahkan masih gagal dipahami oleh umatnya sendiri.
Persoalan tersebut sebenarnya juga bukan hal baru dan belum tersedia jawabnya. Sebenarnya sudah banyak pemikir Islam menjawab persoalan tersebut. Akan tetapi pada tataran impleentatif, ternyata juga belum berhasil menyadarkan dan kemudian menggerakkan umat untuk memperbaiki keadaan itu. Di mana-mana umat Islam masih banyak yang tertinggal dan kalah dibanding komunitas lainnya. Benar bahwa jumlah pemeluk Islam di berbagai tempat semakin bertambah, tetapi pada realitasnya kualitas kehidupannya masih sulit ditingkatkan.
Nabi Muhammad sebagai pembawa Islam, menurut sejarahnya, berhasil menyelesaikan persoalan kehidupan secara gemilang. Kehidupan yang disebut dengan jahiliyah atau kebodohan berhasil diubah menjadi masyarakat yang berakhlak mulia dan maju. Sebutan sebagai masyarakat madinah hingga kini masih dipandang ideal dan bahkan dijadikan idaman dan cita-cita pembangunan bagi banyak kalangan di dunia ini.
Umat Islam sendiri bermaksud meniru apa yang telah dijalankan oleh Nabi Muhammad. Akan tetapi rupanya, apa yang ditiru belum sepenuhnya utuh dan komprehensif. Umat Islam pada batas-batas tertentu baru meniru aspek asesoris atau wilayah luar yang tidak terlalu mendasar, sekalipun hal itu penting. Bahkan dalam hal meniru, umat Islam banyak berdebat dan berbantah tentang hal yang kurang mendasar dimaksud hingga menguras energi secara berlebihan.
Untuk membangun pribadi dan masyarakat, Nabi Muhammad meninggalkan kepada umatnya dua pusaka, yaitu al Qur'an dan Sunnahnya. Selain itu, secara jelas, Nabi juga meninggalkan sifat-sifatnya yang amat mulia, yaitu siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Rupanya masih banyak umat Islam yang meniru sebatas aspek asesorisnya, dan belum pada aspek mendasar yang merupakan kunci kemajuan. Padahal umpama umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari, selalu meniru sifat-sifat Rasulullah, atau berusaha mensifati dirinya dengan sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh anutannya, yaitu Muhammad saw., maka Insya Allah akan mengalami kemajuan dan bahkan akan menjadi tauladan atau pelopor bagi umat lain di manapun. Wallahu a'lam