Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan produktifitas kerja bagi para pegawai negeri, di antaranya adalah melalui apa yang disebut dengan remunerasi. Melalui pendekatan itu, semangat kerja para pegawai dipacu dengan imbalan sesuai dengan volume kerjanya, tentu imbalan dimaksud adalah selain gaji sebagai pegawai negeri itu sendiri. Mungkin pertimbangannya, jika gaji pegawai negeri disamakan, maka tidak akan melahirkan semangat kerja dan atau berkompetisi dalam meraih prestasi.
Pandangan tersebut kiranya ada benarnya jika orang bekerja hanya untuk memperoleh gaji atau imbalan berupa uang. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak semua orang berkerja hanya mendasarkan pada motivasi untuk memperoleh imbalan itu. Banyak orang bekerja atas dorongan hatinya agar dapat memberikan sesuatu yang terbaik terhadap orang lain. Itulah sebabnya, banyak orang bekerja bukan semata-mata berharap upah atau gaji, bahkan juga sekaligus berkorban.
Sebagaio contoh, para pengasuh pesantren melayani pendidikan bagi masyarakat tidak pernah berharap imbalan. Bahkan tidak sedikit di antara mereka justru harus mengeluarkan hartanya untuk membiayai lembaga pendidikan yang dikelolanya. Bagi kyai, terutama di pedesaan zaman dahulu, adalah hal biasa menjual sapi, kerbau dan bahkan sebagian tanahnya untuk membiayai pengembangan pesantren dan atau madrasahnya. Apa yang dilakukan oleh kyai dimaksud kiranya dapat dijadikan bukti bahwa orang bekerja keras bukan selalu termotiovasi oleh upah dan atau gaji.
Remunerasi dipandang sebagai cara yang tepat hanya oleh karena mereka melihat manusia secara sederhana. Manusia dianggap hanya sebagai makhluk yang hanya membutuhkan uang, upah atau penghasilan. Padahal kenyataannya tidak selalu seperti itu. Manusia membutuhkan pengakuan, merasa diperlukan, bermanfaat bagi orang lain, dan bahkan juga merasa perlu berkorban sebagai pengabdian kepada tuhannya. Bagi mereka yang berpikiran seperti itu, gaji atau upah sekalipun perlu, bukan menjadi segala-galanya. Akibatnya, remunerasi tidak selalu berhasil mencapai sasarannya, yaitu meningkatkan produkitifitas kerja.
Konsep menghargai prestasi kerja dengan besar kecilnya upah atau imbalan hanya akan menjadikan para pegawai negeri bermental buruh. Selain itu, mereka akan bekerja secara mekanik, yaitu bagaikan mesin. Di mana saja dan kapan saja tidak pernah ada alat modern, yakni mesin, semakin lama semakin baik kualitasnya, tetapi justru semakin berkurang. Demikian pula mesin tidak pernah mampu bekerja kreatif, sehingga dengan meniru mesin, orang menjadi tidak akan kreatif, bahkan semakin lama akan merasa bosan, dan akibatnya prestasi akan semakin rendah.
Memang dalam mengatur dan atau mengendalikan tenaga kerja banyak orang percaya dengan pendekatan sistem. Siapapun ketika dimasukkan pada suatu sistem akan berperilaku menyesuaikan kehendak sistem yang dimaksudklan itu. Mungkin untuk jenis pekerjaan tertentu, yaitu yang bersifat teknis, pendekatan sistem akan bisa dijalankan. Akan tetapi untuk jenis pekerjaan yang memerlukan kreatifitas, ide, dan inovasi, maka pendekatan sistem tidak selalu tepat. Secara fisik seseorang bisa diatur atau dibuat mekanis, akan tetapi dari aspek non fisik, yaitu kegiatan yang berkaitan dengan memproduksi ide, prakarsa, seni, dan sejenisnya tidak akan bisa diatur. Jika dipaksakan, maka hasilnya dimungkinkan tidak akan sesuai dengan harapan.
Program remunerasi, jika hal itu sudah menjadi keharusan, karena dianggap merupakan kebijakan pemerintah pusat yang harus diimplementasikan, maka yang perlu diantisipasi adalah bagaimana agar dampak negatifnya kebijakan tersebut tidak terlalu jauh., baik terhadap lembaganya sendiri maupun masyarakat yang seharusnya dilayani secara maksimal. Selain itu, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar kreatifitas, ide, inovasi, dan berpikir out of the box yang dibutuhkan sebagai lembaga pendidikan tinggi masih dapat dijalankan. Jika hal-hal terakhir tersebut tidak bisa dilakukan, maka remunerasi sebenarnyua tidak perlu disambut dengan suasana kegembiraan yang berlebihan. Wallahu a'lam