Beberapa hari yang lalu, ketika kebetulan sedang berada di Yogyakarta, saya ditanya tentang pandangan saya terkait peraturan Menteri yang mewajibkan para dosen agar menulis di jurnal ilmiah. Kewajiban itu dikaitkan dengan penerimaan tunjangan pada setiap bulannya. Bagi guru besar yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka sebagian jenis tunjangannya akan dihentikan.
Kebijakan baru tersebut di beberapa tempat kabarnya melahirkan keresahan. Tidak sedikit dosen atau juga guru besar yang memandang bahwa kebijakan menteri tersebut berlebihan. Kewajiban menulis artikel tersebut dengan berbagai argumentasinya dianggap terlalu berat. Persoalannya bukan terletak pada menulisnya, tetapi adalah keharusan tulisan itu dimuat di jurnal yang terakreditasi dan bahkan harus bertaraf internasional.
Mendapatkan pertanyaan tentang hal tersebut, saya menjawabnya ringan saja. Ketika itu saya tidak mengetahui bahwa kebijakan menteri tersebut membuahkan keresahan yang berlebihan. Menurut hemat saya, menulis artikel adalah keharusan bagi siapa saja yang mengaku menjadi dosen. Tugas dosen dan juga guru besar adalah meneliti dan hasilnya dituangkan dalam bentuk tulisan, baik berupa buku, atau juga di jurnal sebagaimana dimaksudkan itu.
Bahkan sebenarnya tidak bisa dibayangkan, apa yang diajarkan jika para dosen dan guru besar tidak pernah menulis. Kegiatan meneliti dan juga menulis sebenarnya sama dengan kegiatan berpikir. Orang yang sehari-hari tidak meneliti dan tidak menulis, bagi seorang dosen atau guru besar, sama artinya dengan tidak berpikir maksimal. Oleh karena itu, meneliti dan menulis bagi seorang dosen adalah keniscayaan atau keharusan.
Keberhasilan menulis buku dan sejenisnya, bagi seorang dosen atau guru besar, seharusnya dimaknai sebagai prestasi yang harus diwujudkan. Sebagaimana petani, buku bagi dosen atau guru besar adalah hasil panennya. Seorang dosen atau guru besar yang tidak berhasil menulis buku atau jenis lainnya sama artinya dengan petani yang tidak panen, atau sebagaimana nelayan yang tidak berhasil menangkap ikan.
Seorang petani pada umumnya ketika melihat hasil panennya akan merasa bangga dan berbahagia. Siapapun yang datang ke rumahnya akan ditunjuki hasil panennya itu. Seharusnya hal demikian itu juga dilakukan oleh seorang dosen dan atau guru besar. Siapa saja yang datang dan atau bertemu ditunjuki keberhasilannya dalam menulis buku, jurnal, dan lain-lain. Tanpa berhasil menulis buku, seorang dosen dan atau guru besar tidak akan ada sesuatu yang dibanggakan. Mereka akan menjadi sama dengan petani yang tidak panen atau nelayan yang gagal menangkap ikan.
Mendasarkan pada logika tersebut, sebenarnya kebijakan menteri mewajibkan para dosen dan guru besar agar menulis memang keterlaluan. Akan tetapi hal demikian itu, bisa dipahami oleh karena para dosen dan atau guru besar, juga keterlaluan pula. Seharusnya seorang dosen dan juga guru besar pekerjaan menulis tidak boleh dirasa berat, sehingga tidak menulis. Bagi mereka tidak menulis itu sebenarnya sudah salah. Oleh karena itu, mewajibkan kepada para dosen agar menulis seharusnya dimaknai sebagai upaya mengingatkan orang yang telah melakukan kekeliruan, sehingga sekalipun dinilai keterlaluan tetapi kebijakan tersebut sesungguhnya justru benar. Wallahu a'lam