Rupanya ada kesadaran dari penduduknya sendiri, bahwa kota Madinah adalah merupakan kota suci sebagaimana kota Makkah. Kesucian itu dijaga oleh penduduknya dan juga oleh orang-orang datang berziarah ke tempat itu. Kesucian dimaksud bukan sekedar yang bersifat dhahir atau yang tampak, tetapi juga dari aspek batinnya. Diyakini oleh penduduknya bahwa Madinah disebut sebagi kota yang penuh dengan cahaya, atau petunjuk hingga disebut Madinah al Munawarrah.
Sebagai contoh kecil yang pernah saya ketahui dan alami sendiri. Pada suatu saat, ketika sedang berbelanja dan menerima uang pengembalian, saya hitung uang dimaksud. Melihat apa yang saya lakukan, penjaga toko di mana saya berbelanja dimaksud, mengingatkan bahwa kota ini adalah Madinah al Munawarah. Dikatakan olehnya bahwa di kota ini tidak ada orang yang berani berbohong. Oleh karena itu tanpa dihitung kembali, jumlah pengembalian itu pasti tepat. Dan ternyata, apa yang dikatakan oleh penjaga toko memang benar.
Mendengar peringatan dari penjaga toko di Madinah al Munawarrah tersebut, terus terang saya merasa malu. Di Indonesia, yang penduduknya mayoritas pemeluk Islam, berbuat bohong sudah menjadi pekerjaan sehari-hari. Berbohong dilakukan oleh kebanyakan orang, dan tidak pandang latar belakang pendidikannya. Semakin tinggi pendidikannya tidak semakin jujur. Pendidikan seakan-akan tidak ada kaitannya dengan upaya membangun kejujuran.
Sebagai bukti sederhana bahwa pendidikan dipandang tidak terkait dengan kejujuran, ketika diselenggarakan ujian, dan apalagi ujian nasional, pemerintah sebagai penyelenggara kegiatan dimaksud seakan-akan dibikin kualahan. Sekedar menyelenggarakan ujian, pemerintah harus menyediakan pengawas dalam jumlah besar, mengerahkan polisi untuk mengamankan soal, dan bahkan sekedar mengawasi ujian hingga melibatkan orang perguruan tinggi. Kebijakan itu menggambarkan bahwa para guru juga sudah tidak bisa dipercaya lagi.
Hidup di tengah orang-orang yang tidak dapat dipercaya menjadikan kepada siapa saja serba ragu, khawatir, dan bahkan menjadi berbiaya mahal. Perasaan khawatir akan ditipu, diakali atau dikerjain orang lain selalu membayangi kehidupan sehari-hari. Hidup menjadi mahal oleh karena apa saja membutuhkan pengawasan, kontrol, tenaga keamanan, yang sudah barang tentu semua itu harus menambah biaya operasional.
Sebaliknya, umpama kebanyakan orang dapat dipercaya atau jujur, maka tidak akan ada perasaan ragu dan berburuk sangka dengan orang lain. Seperti tulisan saya terdahulu, meyakini kejujuran orang Madinah, para pedagang kaki lima di kota itu, ketika mendengarkan suara adzan, mereka segera meninggalkan dagangannya dan menuju ke masjid shalat berjama'ah. Mereka tidak ragu bahwa dagangannya akan hilang sekalipun tidak ada yang menjaganya.
Sebenarnya di Madinah juga terdapat orang miskin, dan bahkan sekalipun jumlahnya tidak banyak, pengemis pun juga ada. Akan tetapi para pengemis itu pula rupanya juga jujur. Mereka tidak mau mengambil barang dagangan yang sedang ditinggal pergi oleh pemiliknya. Umpama saja orang miskin dan bahkan pengemis mau mengambil barang dagangan yang ditinggal pemiliknya, maka orang-orang di kota itu tidak merasa aman. Ternyata, orang Madinah selalu menjaga kesucian kotanya, hingga berbohong sekalipun, mereka mampu menghindari.
Ketika sedang di Madinah, saya membayangkan, umpama kejujuran berhasil dimiliki oleh semua orang, maka pasti penjara akan kosong, uang negara tidak dikorupsi, tidak diperlukan lagi polisi, satpol PP, dan sejenisnya. Namun rupanya, menjadikan kebanyakan orang mampu berbuat jujur ternyata tidak mudah. Bahkan ironisnya, orang yang mengajak jujur sekalipun, kadang dirinya juga tidak mampu berbuat jujur. Wallahu a'lam