Tatkala Rasa itu Telah Hilang
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Selasa, 17 Januari 2017 . in Dosen . 2170 views

Seseorang, oleh karena perasaan sedihnya, menceritakan apa yang baru saja dilihatnya. Tetangganya, dikatakan baru saja meninggal. Kebetulan rumahnya di dalam gang sempit. Lagi pula, oleh karena rumah orang yang sedang berduka itu berukuran kecil, mereka yang bertakziyah terpaksa harus duduk-duduk di kursi yang diletakkan berjajar di pinggir gang, persis di depan rumah tersebut.

Mestinya, siapa saja merasa sedih dan ikut duka atas musibah kematian itu. Siapapun yang lewat di gang itu, mengetahui bahwa ada musibah kematian memberi empatik dan ikut berduka. Namun hal yang dirasakan aneh, tidak sedikit anak-anak muda, yang sedang lewat gang itu, tidak peduli atas musibah tersebut. Ketika melewati gang itu tetap saja membunyikan mesin, dan bahkan ada yang masih tidak mau turun dari sepeda motornya.

Melihat kenyataan yang dirasa tidak pantas itu, hingga ada seseorang yang sedang bertakziyah memperingatkan orang yang lewat agar mematikan dan turun dari sepedanya. Masih beruntung saran dimaksud dipenuhi. Hanya persoalannya, mengapa hal sederhana itu masih harus menunggu ada saran atau himbauan dari orang lain. Bukankah, persoalan itu sebenarnya sederhana dan semua orang sudah mengerti tanpa diberi tahu apa yang seharusnya dilakukan.

Kenyataan tersebut menjadikan orang merasa sedih dan prihatin, bahwa sudah sedemikian jauh kehidupan ini dari nilai-nilai kesopanan, kepedulian, empati, dan hormat terhadap sesama. Kepada orang yang sedang berduka saja sudah tidak peduli. Maka timbul pertanyaan, apa sebenarnya yang hilang dari kehidupan masyarakat dan bangsa ini.

Jika dirasakan secara saksama, rupanya memang ada sesuatu yang semakin hilang dari kehidupan ini. Melalui pendidikan, dengan berbagai jenjangnya, orang diajak untuk berpikir rasional. Apa saja yang dilakukan harus mendasarkan pada untung rugi, menang kalah, efektif efisien, dan sejenisnya. Namun mengenai hal-hal yang menyangkut rasa, rupanya tidak selalu memperoleh perhatian. Akibatnya, orang menjadi sedemikian rasional tetapi ternyata berdampak pada kehilangan rasa yang seharusnya selalu dipeliharanya.

Rasa dalam kehidupan ini, kapan dan di manapun, sedemikian pentingnya. Sebagai contoh sederhana, seorang memilih berbagai jenis buah, oleh karena rasanya berbeda-beda. Memilih buah durian oleh karena, buah itu memiliki rasa durian. Memilih nanas oleh karena ingin merasakan nanas yang ada pada buah nanas itu. Seseorang membeli daging kambing oleh karena berkeinginan merasakan daging kambing. Begitu pula orang, membeli daging ayam, daging bebek, atau lainnya oleh karena mereka ingin merasakan daging dimaksud. Manakala rasa buah, daging dan lainnya itu sudah hilang, maka tentu semua orang tidak akan memilih dan mau membeli dan mengkonsumsi buah atau daging dimaksud. Maka akhirnya, betapa pentingnya rasa itu bagi kehidupan ini.

Namun rupanya, rasa itu sudah tidak diperhatikan lagi di dalam kehidupan. Orang sudah tidak lagi menganggap rasa hormat itu penting, rasa peduli itu perlu, rasa empatik itu harus dikembangkan, dan bahkan rasa malu, di kalangan sementara orang, sudah tidak dipelihara lagi. Akibat tidak memiliki rasa malu, orang berbuat sekehendak hatinya. Itulah mungkin di antara jawaban, mengapa seseorang lewat di depan orang yang sedang berduka tidak mau mematikan dan bahkan masih mengendarai motornya. Mereka itu telah kehilangan rasa yang ada pada dirinya. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up