Dulu semasa masih kecil, saya belajar membaca al Qur'an di masjid bersama anak-anak tetangga. Sudah menjadi kebiasaan, sepulang dari sekolah, anak-anak sekolah dasar di pedesaan mengaji di masjid. Pelaksanaannya mulai pukul 15.00 sampai menjelang maghrib. Kegiatan itu biasanya dilakukan tiga kali dalam seminggu, diajar oleh guru mengaji, tanpa dibayar, dan demikian pula santrinya juga tidak dipungut biaya.
Sejak dulu jumlah jam pelajaran agama di sekolah dasar juga terbatas, namun tidak pernah dipersoalkan, oleh karena pada sore hari, anak-anak juga sudah belajar agama di masjid atau di mushalla dekat rumah mereka masing-masing. Pada waktu itu, fungsi masjid atau mushalla bukan saja untuk shalat berjama'ah, tetapi juga digunakan untuk belajar agama bagi anak-anak yang bertempat tinggal di sekitarnya.
Tradisi mengaji atau belajar al Qur'an hingga saat ini ternyata juga masih ada di Masjid Nabawi, yang dalam sejarahnya mulai ada sejak zaman Nabi dan sahabat. Pada saat sekarang ini, usai shalat berjama'ah, baik selesai shalat ashar dan maghrib, sambil meninggu waktu shalat berikutnya terdapat kelompok-kelompok mengaji al Qur'an yang diberikan oleh para guru yang diberi tugas untuk itu. Pesertanya anak-anak muda setempat, termasuk juga jama'ah umrah yang sedang berziarah ke Masjid Nabawi.
Sekalipun sehari-hari, anak-anak di sekitar masjid di Madinah, berkomunikasi dengan menggunakan bahasa arab, tetapi rupanya untuk dapat membaca al Qur'an secara benar, mereka masih perlu berlatih sebagaimana bukan orang Arab. Dalam latihan itu, sebagaimana yang saya alami ketika masih kecil di kampung, seorang ustadz membaca beberapa ayat, dan kemudian para santrinya menirukan. Selanjutnya, satu demi satu secara bergantian, para murid disuruh membacanya. Sedangkan gurunya mendengarkan, dan memberikan koreksi manakala terdapat kesalahan baca yang dilakukan oleh anak-anak yang sedang belajar.
Pada akhir-akhir ini, sering terdengar keluhan bahwa semakin banyak anak-anak muda yang belum mampu membaca al Qur'an dan bahkan juga menimpa para mahasiswa perguruan tinggi agama Islam sekalipun. Dapat dibayangkan, betapa sedihnya mendengarkan kenyataan itu. Keadaan yang memprihatinkan itu sebenarnya tidak akan terjadi manakala tradisi belajar membaca al Qur'an yang telah lama dikembangkan di masjid, mushalla, masih dapat dipelihara. Tradisi tersebut ternyata masih dijalankan Masjid Nabawi hingga sekarang.
Di tengah-tengah budaya yang serba materialistik seperti sekarang ini, kegiatan apa saja diukur dengan jumlah perolehan uang. Sebaliknya, hal-hal yang tidak mendatangkan keuntungan material ditinggal orang. Namun pada akhir-akhir ini, muncul gejala yang menggembirakan, yaitu adanya lembaga pendidikan TPQ atau TPA untuk pendidikan anak-anak. Namun hal demikian itu tentu masih perlu dikembangkan dan bahkan diperluas jangkauannya. Jika usaha itu berhasil, maka sebenarnya tidak perlu lagi dikeluhkan tentang rendahnya kemampuan membaca al Qur'an dan juga keterbatasan jam pelajaran agama di sekolah, sebab kekurangan itu setidaknya sudah tercukupi oleh pendidikan agama di Masjid atau Mushalla dimaksud. Wallahu a'lam