Sebagaimana dipahami oleh banyak orang, berdakwah ditujukan kepada orang lain. Juru dakwah sebagaimana dipahami selama ini adalah bertugas mendakwahi siapa saja. Sementara itu dirinya sendiri sudah diangap cukup, dan kemudian tugasnya adalah mengajak orang lain. Pemahaman yang demikian itu, tentu tidak keliru, hanya sebenarnya seseorang boleh mengajak orang lain, sepanjang dirinya sendiri telah menjalankannya.
Seseorang, lebih-lebih juru dakwah, hendaknya sehari-hari menjalankan sesuatu yang dipandang baik dan kemudian baru orang lain diajaknya. Meniru jejak para nabi dan para rasul adalah demikian itu. Mereka menjalankan kebaikan, dan kemudian orang lain diajaknya serta. Namun pada kenyataannya, seseorang berdakwah justru kepada orang lain. Sementara dirinya sendiri belum tentu menjalankannya.
Berdakwah kepada orang lain, sementara itu dirinya sendiri belum menjalankannya maka sebenarnya ditegur keras oleh Allah. Disebutkan di dalam al Qur'an (2:44) : 'mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab. Maka tidaklah kamu berpikir? Teguran lainnya : (61: 2-3) Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Ajaran Islam ditujukan kepada semua orang. Di hadapan Allah dan Rasulnya, semua orang berposisi sama. Para mubaligh bukan dipandang lebih tinggi dibanding orang lain, kecuali dalam ketaqwaannya. Yaitu orang-orang yang telah menjalankan kebaikan atau mampu memelihara dirinya sendiri. Orang yang belum mampu memelihara dirinya sendiri tidak seharusnya mengajak orang lain. Itulah sebabnya terdapat perintah di dalam al Qur'an agar seseorang menjaga diri sendiri dan keluarga dari ancaman api neraka.
Jam'iyyatul Islamiyah sebagai sebuah organisasi dakwah di dalamnya terhimpun orang-orang yang berusaha memperbaiki dirinya sendiri sebelum mengajak orang lain. Menganggap bahwa dirinya sendiri belum baik. Sementara itu, menjadikan semakin baik dirasakan bukan perkara mudah. Agar seseorang tidak menyalahkan orang lain, tidak tinggi hati atau tidak sombong, tidak bakhil, terjauh dari penyakit iri hati, dengki, hasut, permusuhan, menganggap orang lain rendah, dan seterusnya, adalah semuanya pasti tidak mudah
Sudah menjadi kenyataan bahwa melawan berbagai jenis penyakit hati dimaksud bukan perkara mudah. Seseorang pasti tidak mau dirinya disalahkan, berkekurangan, dikalahkan, dan kelintasan orang lain. Manakala hal itu terjadi maka segera marah. Mengatasinya tidak mudah dan tidak akan mungkin dapat meminta pertolongan orang lain. Penyakit yang mencelakakan itu selalu berada pada dirinya sendiri. Oleh karena itu yang bersangkutan sendiri yang seharusnya melawannya. Bahkan orang lain tidak mengetahui bahwa seseorang sedang dilanda penyakit hati itu, kecuali tampak dari gejalanya saja.
Maka menjadi tepat, bahwa setiap orang seharusnya sibuk memperbaiki dirinya sendiri dan bukan disibukkan untuk memperbaiki orang lain. Berdakwah seharusnya ditujukan kepada dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum ditujukan kepada orang lain. Orang-orang yang terhimpun pada organisasi Jam'iyyatul Islamiyah berkeyakinan sebagaimana digambarkan itu, yaitu berusaha melihat dan memperbaiki apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri.
Di dalam Islam, seseorang dianjurkan agar lebih menyibukkan diri untuk bermuhasabah atau berinstropeksi dibanding menghitung kekeliruan atau kesalahan orang lain. Bersibuk memperbaiki atau mengubah diri sendiri lebih diutamakan dibanding mengubah orang lain. Seseorang sebenarnya tidak memiliki kekuatan apapun untuk mengubah orang lain. Mereka hanya sebatas bisa diajak bermusyawarah dan tidak mungkin dipaksa untuk diubahnya. Wallahu a'lam