Perbuatan korupsi adalah bersifat universal, artinya di mana-mana dapat terjadi. Korupsi tidak mengenal suku bangsa, barat atau timur, dan bahkan juga agama. Orang berasal dari suku apapun berpeluang melakukan korupsi. Demikian pula, korupsi tidak saja menjadi perilaku orang barat atau orang timur. Buktinya, di barat ada korupsi dan demikian pula di negara-negara timur. Selain itu, korupsi juga tidak mengenal agama, artinya pemeluk agama apapun, sepanjang orang itu ada di pemerintahan atau organisasi, maka berpeluang melakukan tindak kejahatan dimaksud.
Dalam perbincangan tidak resmi di suatu tempat, ada seorang yang merasa kebingungan terkait pemberantasan korupsi. Semula dia yakin bahwa dengan mengerti ayat-ayat kitab suci, maka seseorang akan mampu mengendalikan dirinya dan menjauh dari perbuatan tercela tersebut. Atas keyakinannya itu, semua ayat yang terdapat pada kitab suci yang isinya melarang perbuatan korupsi dikumpulkan, kemudian diperbanyak dan selanjutnya dibagikan dan dijelaskan kepada para pejabat pemerintah, namun ternyata di antara mereka masih saja menyelewengkan uang negara.
Seorang dosen dan juga sekaligus pendakwah yang menyampaikan keprihatinannya dimaksud semula yakin bahwa seseorang yang mengerti tentang ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci, akan mengikutinya. Mereka tidak akan korupsi oleh karena kitab suci melarangnya. Namun apa yang terjadi, seseorang yang telah mengerti larangan itu saja juga berani mengingkari. Rupanya dengan mengungkapkan kekesesalannya itu, ia mengajak berdiskusi, tentang bagaimana cara yang tepat memberantas korupsi. Orang yang telah paham terhadap larangan, dan bahkan juga mengetahui resikonya, baik di dunia dan di akherat kelak, ternyata masih berani melanggarnya.
Merespon atas kekesalan tersebut, seorang dosen dan juga pendakwah tersebut, saya ajak membayangkan sesuatu kejadian yang mudah diingat. Saya mengatakan kepadanya, kita seringkali melihat seseorang yang begitu berani mengambil resiko ketika sedang menginginkan sesuatu. Keberanian itu terlihat melalui kasus sederhana berikut. Kita melihat anak-anak kecil di sawah yang sedang mencari ikan atau belut. Hanya sekedar ingin mendapatkan belut atau ikan yang harganya tidak seberapa, mereka berani beresiko digigit ular atau paling tidak badannya menjadi kotor terkena lumpur. Mereka berani mengorbankan badannya sendiri kotor hanya untuk memperoleh seekor belut.
Contoh lain, ada seseorang yang membakar ikan di api yang menyala-nyala, atau merebus di air yang mendidih. Api dan air yang mendidih, tentu sangat membahayakan bagi siapapun. Akan tetapi seseorang yang menginginkan untuk segera mencicipi ikan yang dibakar atau direbus dimaksud, berani beresiko mengambil ikan dari api yang menyala-nyala atau air yang mendidih. Mereka mengetahui umpama tangannya terkena api atau air yang sedang mendidih akan sangat berbahaya. Resiko dimaksud tidak membuat mereka mengurungkan niatnya, tetapi tetap berusaha mengambil ikan yang sedanag dibakar atau direbus dimaksud.
Masih merupakan contoh lainnya, yaitu siapa yang tidak mengerti terhadap bahaya melakukan jual beli narkoba. Melakukan perdagangan narkoba hukumannya amat berat, hingga sampai dihukum mati. Resiko melakukan perdagangan barang terlarang tersebut telah diketahui oleh semua orang. Peringatan di berbagai tempat dapat dibaca melalui tulisan dan bahkan juga diperdengarkan di setiap pesawat terbang, kereta api, dan kendaraan umum lainnya menjelang berhenti. Selain itu ceramah, khutbah, dan media apa saja memperingatkan atas larangan tersebut. Akan tetapi, apa yang terjadi, pelanggaran perdagangan obat terlarang di mana-mana masih saja diabaikan.
Sebenarnya masih banyak lagi penyimpangan yang mendatangkan resiko berat, sekalipun sudah diketahui akibatnya, tetapi masih saja dijalankan, mulai dari yang berskala kecil hingga yang besar. Kesediaan menghindar dari perbuatan terlarang dan atau tercela bukan hanya oleh karena mengetahui resiko yang berat, tetapi rupanya ada factor atau kekuatan lainnya. Faktor atau kekuatan dimaksud adalah berada di dalam hati setiap orang. Seseorang yang hatinya bersih, baik ada peraturan yang melarang atau tidak, ada ancaman atau tidak, atau ada resiko atau tidak, maka sesuatu yang dirasakan tidak boleh dilakukan, akan ditinggalkan begitu saja. Perilaku seseorang digerakkan oleh hati yang bersangkutan.
Oleh karena itu, manakala ayat-ayat kitab suci, peraturan, tata tertib, dan semacamnya telah diterima oleh hati seseorang, maka yang bersangkutan akan mematuhinya. Mungkin saja selama ini peraturan, peringatan, ayat-ayat dari kitab suci tersebut hanya sebatas diterima oleh otaknya. Pikiran biasanya digunakan untuk menghitung tentang untung atau rugi, efektif dan efisien, ketahuan orang atau tidak, dan seterusnya, sehingga ketika hitungan itu masih memungkinkan selamat, larangan dimaksud tetap dilaksanakan. Hal itu berbeda ketika yang mempertimbangkan adalah suara hati. Hati yang sehat selalu mengajak kepada kebaikan, kemuliaan, dan keluhuran. Oleh karena itu, gerakan memberantas korupsi akan lebih efektif jika yang disentuh adalah hatinya dan bukan sekedar otaknya. Sekalipun peringatan telah menggunakan ayat-ayat kitab suci, tetapi ketika yang disentuh hanya pikiran atau otaknya dan bukan hatinya, maka larangan korupsi itu masih saja diingkari. Wallahu a'lam