Akhir-akhir ini orang kampus terusik atas penilaian bahwa riset yang dilakukan masih dianggap kurang, baik kualitas maupun kuantitasnya. Perbandingan antara jumlah perguruan tinggi dan publikasi hasil penelitiannya masih tidak seimbang. Jumlah perguruan tinggi di Indonesia, mungkin sudah terlalu banyak, ----baik negeri dan swasta, sudah lebih dari 4000. Terkait dengan besarnya jumlah itu, tidak lagi dikatakan berkekurangan, sebaliknya justru sudah berlebihan. Kekurangannya terletak pada kualitasnya, terbukti karya-karya hasil penelitiannya masih belum banyak yang menjadi bahan perbincangan.
Seharusnya hasil penelitian itu adalah merupakan sesuatu yang baru. Orang juga akan senang memperbincangkannya. Akan tetapi pada keyataannya, hasil penelitian hanya menjadi bahan koleksi di perpustakaan yang belum tentu dibaca dan atau bahkan hanya disimpan di gudang. Kita lihat di kampus-kampus sudah kaya disertasi dan juga hasil penelitian. Akan tetapi kekayaan itu seolah-olah belum dianggap penting. Ketika laporan penelitian, tesis, maupun disertasi selesai, maka segera disimpan di tempatnya dan menjadi barang yang dianggap kurang menarik.
Kebiasaan yang semakin menguat pada masyarakat saat ini adalah adanya budaya formalisme. Apa saja didekati secara formal, tidak terkecuali terkait dengan penelitian dan kegiatan ilmiah. Mengikuti budaya formalisme, maka yang terpenting adalah pekerjaan, tugas, dan atau bebannya terselesaikan. Padahal tatkala ukuran yang digunakan hanyalah selesai, maka orientasi pada kualitas menjadi tidak mudah dikembangkan. Akibatnya, hasilnya tidak menarik, terasa tidak penting, dan juga menjenuhkan. Orang tidak mau membaca hasil penelitian dan karya-karya ilmiah, oleh karena hasilnya sudah dapat diperkirakan sebelumnya.
Budaya formalisme itu sebenarnya amat membahayakan, dan apalagi di dunia pendidikan. Seseorang disebut lulus secara formal tetapi semampuannya masih jauh dari ukuran itu. Mereka disebut berijazah pada jenjang pendidikan tertentu, tetapi ijazah yang dipegangnya belum menggambarkan kualitas dirinya. Seseorang bergelar akademik, yaitu sebagai sarjana, master, dan bahkan Doktor, tetapi penampilannya sehari-hari belum menunjukkan bahwa dirinya seorang sarjana atau Doktor. Hal demikian itu terjadi dari adanya budaya formalisme itu. Mungkin saja pengakuan kampusnya baru sebatas formalitas, dan begitu pula kegiatan akademiknya, termasuk kegiatan penelitiannya.
Mengubah orientasi kegiatan dari sebatas persifat formalitas kepada kegiatan yang serius atau sungguh-sungguh atau bersifat bersifat substantif, ---dalam bahasa ibadah disebut khusu', adalah tidak mudah. Orang pada umumnya lebih memilih sesuatu yang mudah, yaitu menangkap pada aspek yang bersifat fisik atau penampakan luarnya. Menangkap aspek yang bersifat substantif, isi, dan bahkan inti atau ruhnya, selalu tidak mudah. Itulah sebabnya tidak selalu dilakukan. Padahal riset atau penelitian dilakukan adalah untuk mencari pengetahuan yang bersifat baru dan mendalam yang belum diketahui sebelumnya. Namun tidak jarang yang diperoleh baru sebatas yang yang tampak luar, kulit, dan bahkan formalnya. Memang tidak semua yang formal tidak baik, akan tetapi jika menjadi formalitas, maka hal itu sangat membahayakan.
Apa saja yang dikerjakan sebatas formalitas akan mengorbankan kualitas. Sedangkan sesuatu yang tidak berkualitas dan apalagi bersifat semu, seolah-olah, seakan-akan, dan sejenisnya maka tidak akan memberi arti banyak pada kehidupan, bahkan dapat menyesatkan. Penelitian yang dilakukan hanya sebatas seakan-akan, semu, atau seolah-olah, disamping tidak akan menarik, juga disebut dapat menyesatkan itu. Budaya formalisme, tidak terkecuali dalam penelitian dan bahkan penyelenggaraan pendidikan pada umumnya, seharusnya dihindari sejauh mungkin. Orientasi yang demikian itu akan merugikan, baik terhadap kehidupan hari ini dan apalagi pada masa depan. Wallahu a'lam